Headlines News :

Latest Post

Tampilkan postingan dengan label cerita legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita legenda. Tampilkan semua postingan

Asal Mula Bledug Kuwu

Konon kabarnya bahwa tanah Pulau jawa ini sudah dikuasai oleh Kerajaan Galuh yang diperintah Prabu Sindulaya Sang Hyang Prabu Watu Gunung. Pusat pemerintahannya berada di Jawa Barat, karena dianggap mempunyai peranan penting terhadap raja-raja di luar Jawa. Beliau memang berhasil mengangkat nama Galuh menjadi termasyhur dan juga rakyatnya hidup makmur. Prabu Watu Gunung dikaruniai empat orang putra, yaitu Dyah ayu Dewi menjadi ratu di Nusatembini, Pangeran Adipati Dewata Cengkar, Dewata Pemunah Sakti menjadi adipati di Madura, dan yang terakhir Pangeran Adipati Dewata Agung menjadi adipati di Pulau Bali. Rakyat Galuh cenderung tidak senang terhadap salah seorang pangeran yaitu Pangeran Adipati Dewata Cengkar. Tingkah lakunya yang kasar terhadap rakyat kecil dan suka menganiaya orang sangat tidak mencerminkan sebagai seorang pangeran. Lebih-lebih terhadap salah satu kegemarannya yang suka memakan daging manusia. Hal tersebut menjadikan rakyat Galuh yang dulunya hidup tenteram berubah menjadi kekhawatiran terhadap keselamatan mereka. Kemudian bagi rakyat yang hatinya kecil, seraya pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mencari perlindungan. Perubahan keadaan yang dirasakan oleh rakyat Galuh menjadikan Sang Hyang Watu Gunung mulai bertandang. Lebih-lebih yang menjadi biang keladinya adalah anaknya sendiri, sehingga Sang Prabu seperti dicoreng mukanya. Dengan rasa malu yang tidak dapat ditebus dengan nilai uang, seketika memerintahkan Patih untuk menghadapkan Dewata Cengkar ke istana.

Prabu Watu Gunung sangat murka kepada Dewata Cengkar. Dewata Cengkar yang tidak terima pergi begitu saja meninggalkan istana tanpa pamit. Dia bersama para pasukan yang masih setia kepadanya melarikan diri ke arah timur di waktu tengah malam. Mereka terus berjalan ke timur. Perjalanan mereka terhenti di saat mereka sampai di tempat yang sangat indah dan berlokasi sangat strategis. Tempat tersebut tepatnya di Pegunungan Kendeng. Dewata Cengkar mulai membangun bangunan seperti istana. Dia mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Medang Kamolan. Untuk membantu urusan pemerintahan diangkat seorang temannya dari Galuh yang bernama Arya Tengger menjadi Patih dan seorang lagi bernama Ruda Peksa menjadi Tumenggung. Setelah Prabu Dewata Cengkar berhasil mengangkat nama Medang Kamolan menjadi termasyhur dan rakyat menjadi makmur. Medang Kamolan termasuk sudah bisa melupakan rasa balas dendamnya kepada Prabu Watu Gunung. Karena bujukan Patih Arya Tengger dan Ruda Peksa dendam Prabu Dewata Cengkar tersulut kembali. Dengan kemampuan prajurit Medang Kamolan yang sudah perkasa Dewata Cengkar menyerbu Kerajaan Galuh.

Kisah tragis bagi Prabu Watu Gunung, sejak peristiwa Dewata Cengkar makan daging manusia rakyat Galuh banyak yang meninggalkan kampung halamannya. Secara berangsur-angsur diikuti oleh warga yang lain dan tidak mau kembali lagi ke kampung halamannya. Akibatnya, menjadikan Prabu Watu Gunung menjadi murung. Kerajaan Galuh semakin lemah karena prajuritnya banyak yang meninggal dan penggantinya sulit dicari. Dalam kondisi yang kronis semacam itu datang serangan dari prajurit Medang Kamolan yang dipimpin sendiri oleh rajanya. Prajurit Galuh menjadi kalang kabut karena tidak ada persiapan, pertempuran tidak bisa dielakkan. Pada saat prajurit Galuh hampir kalah dan terpojok, sudah ada yang melapor kepada Prabu Watu Gunung untuk minta bantuan. Prabu Watu Gunung sangat terkejut ketika laporan itu menyebutkan nama Dewata Cengkar. Prabu Watu Gunung matanya memerah dan pada saat itu pula memerintahkan pasukan istana untuk turun ke medan perang menghadapi putranya sendiri. Sesampainya di medan perang Prabu Watu Gunung seraya turun dari kudanya menghadapi langsung Prabu Dewata Cengkar.

“Dewata Cengkar, apakah demikian caranya seorang anak membalas budi terhadap orang tua? Aku ini ayahmu, besok yang memiliki Galuh juga kamu, tetapi caranya tidak seperti ini.”
“Aku sudah tidak butuh pidatomu lagi. Ayo sekarang lawan aku!”
“Sabarlah Dewata Cengkar, perbuatanmu ini tidak direstui oleh Yang Maha Agung. Terkutuk kamu nantinya.”
“Jangan banyak bicara lagi, sekarang serahkan Galuh padaku!”
“Iya, tapi jangan sekarang.”

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh Prabu Watu Gunung, Dewata Cengkar seketika mengangkat gada di tangannya dan langsung dihantamkan tepat pada tubuh Prabu Watu Gunung. Bersama dengan pukulan itu, terdengar suara menggelegar sambil mengeluarkan asap dan cahaya yang menyilaukan. Kemudian dengan hilangnya asap dan cahaya tersebut hilang pulalah tubuh Watu Gunung beserta kerajaan dan rakyat Galuh, kemudian berubah menjadi hutan belantara. Dari dalam hutan terdengar suara kutukan Prabu Watu Gunung.

“Dewata Cengkar, semua sudah terlanjur. Dengan sifat-sifatmu yang seperti binatang, nantinya akan menjadi kenyataan.”

Mendengar kutukan itu sebenarnya Dewata Cengkar merasa takut dan menyesal. Tetapi Arya Tengger dan Ruda Peksa masih bisa menguasai perasaan Dewata Cengkar kemudian sadar kembali dan melihat para prajurit menyanjung atas kemenangannya. Atas kemenangannya itu rakyat Medang sudah mendengar. Mereka sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk merayakan kemenangan Prabu Dewata Cengkar. Para pegawai sibuk mempersiapkan semua kebutuhan untuk upacara menyambut kedatangan para prajurit dan rajanya yang pulang dari medan perang. Lain lagi dengan kesibukan para wanita, karena tugasnya membuat masakan, sudah barang tentu berusaha untuk bisa menghidangkan makanan yang enak-enak. Tetapi naas bagi seorang wanita yang jari kelingkingnya terpotong, kemudian lari merawatnya menuju kamar obat. Setelah selesai wanita itu kembali lagi ke pekerjaannya. Betapa terkejutnya, potongan jari kelingkingnya tidak ditemukan lagi, termasuk daging yang diiris-iris semuanya sudah matang menjadi masakan.

Pesta untuk memeriahkan dimulai. Singkat cerita ternyata Prabu Dewata Cengkar tidak sengaja yang memakan potongan jari tersebut. Dia teringat kegemarannya di masa lalu yaitu memakan daging manusia. Setelah acara usai, Prabu Dewata memerintahkan Arya Tengger untuk mencari daging manusia yang akan dijadikan santapannya. Mula-mula yang dijadikan santapan adalah para narapidana. Setelah di penjara narapidana habis tak tersisa, berganti ke para pemuda kampung. Dewata Cengkar merasa bosan dan meminta Arya Tengger mencari daging wanita muda. Sebenarnya rakyat Medang Kamolan sudah hampir habis karena banyak yang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Mereka meninggalkan Medang karena merasa takut jikalau mendapatkan giliran menjadi santapan Dewata Cengkar berikutnya. Arya Tengger dan Ruda Peksa merasa kebingungan kemana mereka harus mencari. Beruntung salah seorang anak buah Ruda Peksa menemukan ada seorang wanita muda bernama Roro Cangkek di rumah Kaki Grenteng. Arya Tengger meminta para prajurit untuk terus mengawasi rumah Kaki Grenteng, jangan sampai Roro Cangkek lolos. Di sisi lain ada seseorang bernama Ajisaka datang menuju Jawa bersama dua orang abdinya, Dora dan Sembada. Mereka bermaksud datang ke Jawa untuk menyebarkan agama. Sebelum menginjakkan kaki di tanah Jawa, mereka singgah di Nusa Majedi (Pulah Bawean). Ajisaka melanjutkan perjalanan menuju tanah Jawa hanya bersama Dora. Sembada ditinggal di Nusa Majedi untuk menjaga barang-barang terutama keris pusaka Ajisaka. Ajisaka berpesan kepada Sembada, keris yang dititipkan jangan sampai diserahkan kepada siapapun kecuali Ajisaka sendiri yang mengambilnya.

Saat Ajisaka dan Dora sampai di tanah Jawa, mereka heran karena para rang-orang berbondong-bondong pergi meninggalkan Medang. Sepertinya mereka ketakutan. Ajisaka melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu rumah. Mereka singgah di tempat itu. Rumah itu adalah rumah Kaki Grenteng. Dengan pintu terbuka Kaki Grenteng sekeluarga menerima kehadiran mereka. Pada suatu ketika, Ajisaka mohon izin kepada Kaki Grenteng untuk ke kamar kecil. Sebelum masuk ke kamar kecil, Ajisaka bertemu dengan Roro Cangkek. Kecantikan Roro Cangkek membuat Ajisaka tertarik. Saat dia berada di kamar kecil, Ajisaka mengeluarkan air seninya. Air seni itu ternyata diminum seekor ayam jago milik Roro Cangkek. Keesokan harinya, prajurit Medang datang ke rumah Kaki Grenteng untuk membawa Roro Cangkek dan dijadikan santapan bagi Dewata Cengkar. Para prajurit mendobrak pintu rumah dan membawa paksa Roro Cangkek. Ayah dan ibu tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah dibuat pingsan oleh para prajurit dengan benda keras. Dora juga tidak bisa berbuat sesuatu karena sudah dalam keadaan terikat. Ajisaka yang masih bebas dengan kecerdikannya berusaha mengelabuhi para prajurit. Ajisaka mengatakan bahwa Roro Cangkek mempunyai penyakit menular. Para prajurit berhasil dikelabuhi dan melepaskan Roro Cangkek. Sebagai gantinya Ajisaka bersedia dikorbankan. Ajisaka dihadapkan kepada Dewata Cengkar.

“Hai anak muda, tahu maksudnya kau dibawa kemari?”
“Belum paduka.”
“Kau akan kujadikan santapanku.”
“Hamba bersedia paduka, tapi perkenankan hamba meminta sesuatu kepada paduka sebagai permintaan terakhir.”
“Katakan saja! Akan kupenuhi.”
“Hamba minta sebidang tanah seluas sorban yang saya ikatkan di kepala hamba ini paduka.”
“Hanya itu? Baiklah akan kukabulkan.”
“Tapi hamba minta paduka sendiri yang mengukurnya.”
“Baiklah.”

Hari eksekusi itu tiba. Ajisaka dibawa ke alun-alun. Pengukuran dilakukan sendiri oleh Dewata Cengkar. Ajaib, sorban itu tidak habis-habis digelar. Dewata Cengkar terus menggelar sampai di tebing Laut Kidul. Karena kelelahan, Dewata Cengkar terpeleset dan tergantung di tebing yang bawahnya adalah Laut Kidul.

“Ajisaka, aku menyerah, aku mengaku kalah. Baiklah, Medang sekarang kuserahkan padamu asalkan kau selamatkan aku.”

Permintaan itu tidak dituruti Ajisaka. Ajisaka malah melepaskan tangan Dewata Cengkar yang menggantung di tebing. Dewata Cengkar terjatuh masuk ke Laut Kidul. Anehnya, Dewata Cengkar berubah wujud menjadi seekor buaya putih. Dari laut terdengar suatu ancaman dari Dewata Cengkar kepada Ajisaka. Dia mengancam akan memakan anak cucunya yang lengah berada di Laut kidul akan dimakan Buaya Putih. Setelah dinobatkan menjadi raja Medang Kamolan, Ajisaka mengutus Dora pergi kembali ke Nusa Majedi mengambil pusaka yang dijaga oleh Sembada. Setibanya di Nusa Majedi, Dora menemui Sembada dan menjelaskan bahwa ia diperintahkan untuk mengambil pusaka Ajisaka. Sembada tidak mau memberikan pusaka tersebut karena ia berpegang pada perintah Ajisaka. Akhirnya kedua abdi itu bertempur. Karena keduanya sama-sama sakti, peperangan berlangsung seru, saling menyerang dan diserang, sampai keduanya sama-sama tewas.

Karena tak kunjung kembali, Ajisaka menyusul Dora ke Nusa Majedi. Betapa terkejutnya, yang ditemukan malah kuburan mereka berdua yang berarti mereka sudah mati. Ia sangat menyesal mengingat kesetiaan kedua abdi kesayangannya itu. Kesedihannya mendorongnya untuk menciptakan aksara untuk mengabadikan kedua orang yang dikasihinya itu, yang bunyinya adalah sebagai berikut:

ha na ca ra ka
Ana utusan (ada utusan)
da ta sa wa la
Padha kekerengan (saling berselisih pendapat)
pa dha ja ya nya
Padha digdayané (sama-sama sakti)
ma ga ba tha nga
Padha dadi bathangé (sama-sama mejadi mayat)
Setelah Ajisaka menjadi raja, Medang Kamolan menjadi kerajaan yang makmur. Rakyat bebas dari ketakutan kanibalisme yang dilakukan Dewata Cengkar. Di sisi lain, aneh, ayam jago yang dulunya meminum air seni Ajisaka itu bertelur layaknya ayam betina, tetapi hanya satu. Telur itu oleh Rara Cangkek dirawat dan disembunyikan di dalam lumbung padi.

Lumbung padi yang setiap hari padinya selalu diambil untuk dimakan sepertinya padi di dalamnya tidak habis-habis. Hal ini menyebabkan kecurigaan Kaki Grenteng. Setelah diselidiki ternyata terdapat ular raksasa. Ular raksasa itu dapat berbicara layaknya manusia dan mengaku anak dari Ajisaka. Ular itu meminta dipertemukan dengan Ajisaka. Oleh Kaki Grenteng diberitahukan bahwa Ajisaka sudah menjadi raja di Medang Kamolan. Seketika ular tersebut mohon pamit untuk pergi menuju Medang Kamolan. Sesampainya di sana ular tersebut tidak diperlakukan dengan ramah. Para prajurit berusaha melawan ular itu. Ular itu tetap memaksa masuk dan akhirnya dipertemukan dengan Ajisaka. Mulanya Ajisaka tidak mau mengakui ular tersebut sebagai anaknya. Kemudian ular tersebut menceritakan asal-usulnya. Ajisaka sejenak berpikir. Ajisaka memberikan suatu syarat kepada ular tersebut jika ular tersebut sanggup mengalahkan buaya putih musuhnya yang berada di Laut Kidul maka Ajisaka bersedia mengakuinya sebagai anak. Seketika ular tersebut pamit dan berangkat menuju Laut Kidul. Sesampainya di sana, pertarungan langsung terjadi. Dengan mengerahkan segala kesaktian yang dimiliki, Ular tersebut dapat mengalahkan dan membunuh buaya putih tersebut. Sebagai bukti ular tersebut sudah membunuh buaya putih, dia membawa kepala buaya putih.

Sesuai dengan perintah Ajisaka, ular tersebut tidak boleh lewat di atas tanah ketika kembali ke Medang. Ular tersebut lewat menyusuri bawah tanah. Karena dirasa sudah sampai, ular tersebut muncul ke permukaan. Rupanya belum sampai dan masih jauh. Tempat pertama ia muncul ke permukaan ini adalah di Jono, kemudian muncul lagi di Crewek dan yang ketiga kalinya muncul di Kuwu. Kemunculan yang ketiga ini terjadi keanehan. Karena di dalam tanah ular tersebut sudah kelelahan, dengan sekuat tenaga dia muncul ke permukaan dan berubah menjadi seorang anak kecil yang lumpuh dan linglung. Sejak saat itu ia dinamai Jaka Linglung. Beruntung dia ditolong oleh seorang dukun bayi sampai keadaannya pulih. Anak kecil yang linglung setelah berpamitan dengan mbah dukun kembali menengok lubang yang digunakan untuk keluar dari bumi. Setelah sampai di dekatnya terjadi keajaiban lagi, tangan dan kakinya seketika menjadi satu melekat dengan badan mengembang terus hingga menjelma menjadi seekor ular raksasa seperti semula. Kemudian masuk lubang yang ada di depannya untuk melanjutkan perjalanan menuju Medang Kamolan. Lubang bekas masuknya Jaka Linglung tak lama kemudian pulih kembali, penuh berisi lumpur yang disusul dengan suara Bledug…bledug…. begitu seterusnya sampai sekarang. Sejak saat itu tempat tersebut dinamakan Bledug Kuwu.

Sesampainya di Medang Kamolan, Ajisaka bersedia mengakui Jaka Linglung sebagai anak karena sudah berhasil mengalahkan buaya putih. Tidak mungkin Jaka Linglung ditempatkan di istana. Ajisaka mengambil kebijakan Jaka Linglung ditempatkan kebun istana bersama teman-temannya sesama binatang. Binatang-binatang ini hidup rukun satu sama lain. Setelah selang beberapa hari, Jaka Linglung sudah tidak diperhatikan. Dia sudah jarang dikasih makan. Hal ini membuat ia merasa kelaparan. Rasa lapar yang tak tertahankan ini membuat dia terpaksa memakan temannya sendiri sesama binatang. Kelakuan Jaka Linglung ini diketahui penjaga kebun dan melaporkannya kepada Prabu Ajisaka. Ajisaka marah dan menghukum Jaka Linglung. Dia dipindahkan ke Hutan Klampis. Jaka Linglung tidak boleh makan kecuali ada makanan sendiri yang datang ke mulutnya. Pada suatu hari ada 9 anak penggembala yang sedang menggembala kambing di Hutan Klampis. Jaka Linglung tidak bisa makan dan kelaparan. Dia membuka mulutnya sehingga kelihatan seperti gua. Tubuhnya dimasukkan ke dalam tanah. Hujan turun dengan lebatnya. 9 anak tadi mencari tempat perlindungan. Mereka berlindung di dalam mulut Jaka Linglung yang dikira gua itu. Salah satu dari kesembilan anak tadi ada yang kudisan. Karena 8 orang tadi takut ketularan, mereka mengusir anak kudisan tadi. Anak kudisan berlindung di bawah pohon besar. Setelah hujannya reda, anak kudisan itu mencari teman-temannya. Dia kaget ketika teman-temannya sudah tidak ada, yang ada hanyalah seekor ular yang mulutnya berlumuran darah.

Anak itu segera berlari ketakutan dan mengatakan kepada para orang tua teman-temannya bahwa anak mereka sudah tewas dimakan ular. Peristiwa ini dilaporkan kepada Prabu Ajisaka. Ajisaka marah besar lagi. Jaka Linglung dimarahi habis-habisan. Hal ini membuat Ajisaka bingung hukuman apa yang harus diberikan. Ajisaka kemudian mengundang Kaki Grenteng sekeluarga ke istana. Setelah dirapatkan akhirnya Ajisaka menghukum Jaka Linglung dengan cara dipantek tubuhnya dan mulutnya dicengkal sehingga tidak bisa mengatup lagi. Jaka Linglung menghembuskan nafas terakhir di tempat itu. Roro Cangkek yang melihat penyiksaan itu tidak kuasa menahan tangis. Tempat dimana Jaka Linglung dihukum terakhir itu sekarang bernama Bumi Kesongo.

Legenda Sendang Sani di Pati

Desa Sani tidak begitu dikenal oleh masyarakat kebanyakan. Walaupun begitu Desa Sani mempunyai kenangan tersendiri yang tidak mudah dilupakan oleh penduduknya. Desa Sani sebenarnya berasal dari sebuah sendang yang ditempati oleh seekor bulus, penjelmaan dari seorang abdi Sunan Bonang.
Pada Zaman dahulu, khususnya di Jawa, banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Khususnya kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah. Di Demak terkenallah para wali yang giat menyebarkan agama islam. Para Wali itu berjumlah sembilan orang dengan sebutan “Wali Songo”. Di antara kesembilan wali itu terdapatlah seorang wali bernama Sunan Bonang. Pada suatu hari Sunan Bonang akan pergi ke Gunung Muria untuk menjumpai Sunan Muria. Beliau ditemani oleh dua orang abdinya. Di tengah perjalanan beliau merasa haus dan kegerahan karena matahari yang begitu teriknya bersinar. Kemudian beliau menyuruh salah seorang abdinya mencari air untuk minum dan wudlu.

Abdi tersebut diberi petunjuk oleh Sunan Bonang untuk mencari sumber air di bawah sebuah pohon rindang. Untuk memudahkan pekerjaan, Sunan Bonang membekali abdinya dengan sebuah tongkat sakti untuk ditancapkan di bawah pohon tersebut. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, abdi itu pun berhasil menemukan pohon rindang seperti yang diinginkan oleh Sunan Bonang. Dengan segera ditancapkannya tongkat sakti ke tanah. Dan ajaib! Dari tempat itu keluarlah air yang memancar terus-menerus. Maka dalam waktu yang singkat tempat itu telah menjadi sebuah sendang. Karena gembiranya lupalah ia akan pesan Sunan Bonang. Ia segera turun ke sendang untuk minum dan mandi , menghilangkan dahaga dan kegerahannya.

Karena dirasa abdinya tak junjung kembali, maka Sunan Bonang memutuskan untuk mencarinya. Setelah mencarinya kesana kemari, akhirnya ditemukan juga abdinya itu. Betapa terkejutnya Sunan Bonang ketika melihat abdinya sedang asyik mandi. Maka dengan segera ditegurnyalah abdi itu. Dikutuknya abdi itu, “Lho kamu saya suruh, tidak membawa air, malah mandi seperti Bulus”. Maka dalam sekejap saja abdi Suanan Bonang berubah menjadi seekor bulus. Ketika bulus bercermin di air sendang, menangislah ia melihat bentuk tubuhnya dari manusia menjadi seekor bulus. Ia minta maaf kepada Sunan Bonang, tetapi perkataan atau kutukan tidak mungkin ditarik kembali. Tidak mungkin sudah meludah dijilat balik, demikian pepatah mengatakan. Abdi Sunan Bonang yang telah menjadi bulus tidak diperkenankan ikut menuntaskan perjalanan ke Gunung Muria. Ia disuruh tinggal di sendang untuk menjaga sendang tersebut.

Sunan Bonang berujar, “Aku namakan sendang ini Sendang Sani dan kelak tempat ini akan diberi nama desa Sani”. Setelah berujar demikian maka Sunan Bonang pun kembali menuntaskan perjalanan bersama abdinya yang seorang lagi. Beliau melanjutkan perjalanan ke Gunung Muria untuk berunding dengan Sunan Muria mengenai masalah keagamaan. Demikian sekelumit cerita tentang asal-usul desa Sani. Tentang kebenarannya belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang Sendang itu masih tetap asri seperti dulu.

Untuk menghormati penghuni sendang tersebut, maka oleh masyarakat dibuatkanlah suatu tempat khusus. Konon, barang siapa yang berani mengganggu tempat tinggal bulus tersebut, maka orang yang mengganggunya akan jatuh sakit. Dari cerita di atas hendaknya kita dapat mengambil hikmah. Bahwa apabila kita mendapat suatu kepercayaan untuk melaksanakan suatu pekerjaan hendaknya kita laksanakan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pepatah mengatakan “Sekali Lancang, seumur hidup orang tak akan percaya”. Sekali orang melakukan kesalahan atau berdusta orang tidak akan mempercayainya lagi.

Asal Mula Nama Kabupaten Jepara

Asal mula nama Jepara berasal dari perkataan Ujung Para, Ujung Mara dan Jumpara yang kemudian menjadi Jepara, yang berarti sebuah tempat pemukiman para pedagang yang berniaga ke berbagai daerah. Menurut buku “Sejarah Baru Dinasti Tang (618-906 M) mencatat bahwa pada tahun 674 M seorang musafir Tionghoa bernama I-Tsing pernah mengunjungi negeri Holing atau Kaling atau Kalingga yang juga disebut Jawa atau Japa dan diyakini berlokasi di Keling, kawasan timur Jepara sekarang ini, serta dipimpin oleh seorang raja wanita bernama Ratu Shima yang dikenal sangat tegas. Jepara baru dikenal pada abad ke-XV (1470 M) sebagai bandar perdagangan yang kecil yang baru dihuni oleh 90-100 orang dan dipimpin oleh Aryo Timur dan berada dibawah pemerintahan Demak. Kemudian Aryo Timur digantikan oleh putranya yang bernama Pati Unus (1507-1521). Pati Unus mencoba untuk membangun Jepara menjadi kota niaga. Pati Unus dikenal sangat gigih melawan penjajahan Portugis di Malaka yang menjadi mata rantai perdagangan nusantara. Setelah Pati Unus wafat digantikan oleh ipar Faletehan / Fatahillah yang berkuasa (1521-1536). Kemudian pada tahun 1536 oleh penguasa Demak yaitu Sultan Trenggono, Jepara diserahkan kepada anak dan menantunya yaitu Ratu Retno Kencono dan Pangeran Hadirin (suami). Namun setelah tewasnya Sultan Trenggono dalam Ekspedisi Militer di Panarukan Jawa Timur pada tahun 1546, timbulnya geger perebutan tahta kerajaan Demak yang berakhir dengan tewasnya Pangeran Hadiri oleh Aryo Penangsang pada tahun 1549.Kematian orang-orang yang dikasihi membuat Ratu Retno Kencono sangat berduka dan meninggalkan kehidupan istana untuk bertapa di bukit Danaraja. Setelah terbunuhnya Aryo Penangsang oleh Sutowijoyo, Ratu Retno Kencono bersedia turun dari pertapaan dan dilantik menjadi penguasa Jepara dengan gelar NIMAS RATU KALINYAMAT.

Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat (1549-1579),Jepara berkembang pesat menjadi Bandar Niaga utama di Pulau Jawa, yang melayani eksport import. Disamping itu juga menjadi Pangkalan Angkatan Laut yang telah dirintis sejak masa Kerajaan Demak. Sebagai seorang penguasa Jepara, yang gemah ripah loh jinawi karena keberadaan Jepara kala itu sebagai Bandar Niaga yang ramai, Ratu Kalinyamat dikenal mempunyai jiwa patriotisme anti penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan pengiriman armada perangnya ke Malaka guna menggempur Portugis pada tahun 1551 dan tahun 1574. Adalah tidak berlebihan jika orang Portugis saat itu menyebut sang Ratu sebagai “RAINHA DE JEPARA’ SENORA DE RICA”, yang artinya Raja Jepara seorang wanita yang sangat berkuasa dan kaya-raya.

Serangan sang Ratu yang gagah berani ini melibatkan hamper 40 buah kapal yang berisikan lebih kurang 5.000 orang prajurit. Namun serangan ini gagal, ketika prajurit Kalinyamat ini melakukan serangan darat dalam upaya mengepung benteng pertahanan Portugis di Malaka, tentara Portugis dengan persenjataan lengkap berhasil mematahkan kepungan tentara Kalinyamat.Namun semangat Patriotisme sang Ratu tidak pernah luntur dan gentar menghadapi penjajah bangsa Portugis, yang di abad 16 itu sedang dalam puncak kejayaan dan diakui sebagai bangsa pemberani di Dunia.

Dua puluh empat tahun kemudian atau tepatnya Oktober 1574, sang Ratu Kalinyamat mengirimkan armada militernya yang lebih besar di Malaka. Ekspedisi militer kedua ini melibatkan 300 buah kapal diantaranya 80 buah kapal jung besar berawak 15.000 orang prajurit pilihan. Pengiriman armada militer kedua ini di pimpin oleh panglima terpenting dalam kerajaan yang disebut orang Portugis sebagai ““QUILIMO”.Walaupun akhirnya perang kedua ini yang berlangsung berbulan-bulan tentara Kalinyamat juga tidak berhasil mengusir Portugis dari Malaka, namun telah membuat Portugis takut dan jera berhadapan dengan Raja Jepara ini, terbukti dengan bebasnya Pulau Jawa dari Penjajahan Portugis di abad 16 itu. Sebagai peninggalan sejarah dari perang besar antara Jepara dan Portugis, sampai sekarang masih terdapat di Malaka komplek kuburan yang di sebut sebagai Makam Tentara Jawa. Selain itu tokoh Ratu Kalinyamat ini juga sangat berjasa dalam membudayakan SENI UKIR yang sekarang ini jadi andalan utama ekonomi Jepara yaitu perpaduan seni ukir Majapahit dengan seni ukir Patih Badarduwung yang berasal dari Negeri Cina.

Menurut catatan sejarah Ratu Kalinyamat wafat pada tahun 1579 dan dimakamkan di desa Mantingan Jepara, di sebelah makam suaminya Pangeran Hadirin. Mengacu pada semua aspek positif yang telah dibuktikan oleh Ratu Kalinyamat sehingga Jepara menjadi negeri yang makmur, kuat dan mashur maka penetapan Hari Jadi Jepara yang mengambil waktu beliau dinobatkan sebagai penguasa Jepara atau yang bertepatan dengan tanggal 10 April 1549 ini telah ditandai dengan Candra Sengkala TRUS KARYA TATANING BUMI atau terus bekerja keras membangun daerah.

Asal Mula Desa Wirun

Ing kabupaten Pati ana desa sing diarani desa Wirun. Desa Wirun ana ing kecamatan Winong kabupaten Pati propinsi Jawa Tengah. Sejarah ngadege desa Wirun ana ing jaman Majapahit. Nalika jaman semana ana wanita sing Jenenge Lasiah utawa sing diundang kanthi jeneng mbah Ndhawik. Nalika semana Lasiah lagi nggoleki kang mase sing jenenge Citra Bangsa Lan Rante Wulung, Citra Bangsa uga lagi mbabad alas ana ing kabupaten Pati. Citra Bangsa wis mbabad alas Sing diwenehi jeneng Alas Mojorembun, dijenengake Majarembun amarga ing alas kuwi ditemokake wit Maja ing jaman Majapahit. Desa Mojorembun uga isih sakelurahan karo desa Wirun. sawise mubeng anggone nggoleki Citra Bangsa lan ketemu ing Mojorembun, dheweke uga mbabad alas ing sisihe alas sing dibabad Citra Bangsa. Nalika mbabad alas Lasiah uga ndhuduk sumur ana ing tengah sawah, lan ing sisishe sumur kuwi ana wit ase singumure wis tuwa banget lan nganti saiki sumur lan wi asem kuwi iseh. Sumur kuwi diarani sumur sawah, amarga panggonane ing tengah sawah. Nadyan sumur kuwi digawe lan ora disemen nanging banyu ing sumur kuwi tetep bening lan ora tau asat nadyan lagi etiga dawa. Uga banyu ing sumur kuwiora asin kaya sumur-sumur liyane sing ana ing desa,. Mula akeh wong sing padha ngangsu kanggo ngombe, lan sing ngangsu sing sumur kuwi ora mung wonng saka desa wirun nanging uga saka desa-desa sisihe. Sumur kuwi sing dadi peninggalane. Lan ana ing cedhake sumur kuwi Lasiah di Makamke.
Desa kuwi dijenengke desa Wirun amarga nalika kuwi Lasiah pinter miru jarik. Amarga kepintarane miru jarik, mula desa kuwi dijenengake desa wirun. Amarga kepinterane miru jarik, akeh wong sing kepengin njaluk lan njukuk sarta nduweni jarike Lasiah. Jarik sing di wiru Lasiah keprungu tekan ngendi-endi, saengga akeh wong sing kenal karo Lasiah amarga kepinterane mau. Mula akeh wong sing padha mara Salah sijine sing kepengin nduweni jarike Lasiah yaiku Danyang (wong sing mbabad alas ngedegake desa) Pulorejo (Mbingung), danyang Bumiharjo (Mbothok) lan Dhanyang desa Tanggel.

Amarga ora diwenehi mula wong-wong kuwi pada tumindak serik lan nduweni kekarepan sing ala. Saengga padha meksa supaya diwenehi jarike. Pungkasane jarike Lasiah dicolong. Ngerti yen jarike dicolong, Lasiah susah lan nesu. Saengga kakane uaga melu nesu, muka kakange njaluk karo Lasiah supaya bisa nemukake jarike. Lasiah pamitan karo kakange kanggo nggoleki lan ngoyak wong sing nyolong jarike. San saya suwe Lasiah ngerti sapa wonge sing nyolong jarike. Wong sing nyolong jarike yaiku danyang Mbingung. Mula kanthi tekad sing kuat Lasias ngoyak danyang Mbingung kanggo njaluk supaya jarike mbalik.

Ana ing tengah sawah (alas) lasiah perang karo danyang Mbingung. Ing peperngan kuwi danyang mbingung kalah lan mlayu. Lan lasiah kasil njukuk jarike sing dicolong. Nanging kanca-kancane padha ora trima lan padha ngoyak Lasiah, Lasiah mlayu ndhelik ana ing tengah alas. Ngerti yen adhine lagi dioyak-oyah, Cirtra Bangsa nggoleki Lasiah ana ing alas. Sawise ketemu, lasiah didhelikake. Amarga Lasiah iseh digoleki mula Lasiah nyamar supaya wong-wong padaha ora ngerti. Sawise wis ora geger maneh Lasiah bali ana ing desa Wirun. Lasiah banjur ngomong yen wong Wirun ora kena rabi karo wong Mbingung. Mula nganti wektu sing suwe ora ana sing wani nglanggar omongane mau. Nanging kairing majune jaman siki wis ana sing nglanggar pantangan kuwi. Lasiah uga ngomong yen sumur ing tengah sawah kuwi banyune ora asin, ora kaya banyu ing sumur-sumur liyane ing desa. Amarga yen sumur kuwi asin mula ora ana sing bakal ngangsu lan oara bakal ana sing ngopeni.

Sawise kuwi Lasiah nerusake anggone mbabad alas kanggo nggedhekake desane. Lan nglestarekake uga nularake kepinterane miru jarik karo anak putune. Amarga pinter Lasiah (mbah Ndhawik) pinter miru jarik mula yen ana reja-rejane jaman desa kiwi dijenengka desa Wirun. Mula kuwi Lasiah njaga lan nduweni tanggung jawab sing abot supaya jarike ora ilang maneh. Lsiah susah yen jarike ilang maneh. Kanggo ngormati perjuangane Lasiah sing ngadegake lan mbabad alas ing tanah Wirun, mula yen saben taun dianakake tasyukuran lan kirim donga. Tasyukuran kuwi diarani sedekah bumi, utawa nyedekahake asil bumi, lan ngresiki desa biyasane dianakake saben sasi Apit. Lan dianakake tanggapan, biyasane kethoprak sing dhuwite saka dhuwit sing dikumpulake dening warga desa Wirun.

Legenda Desa Bonang

Kejadian peristiwa ini masa kerajaan Demak. Menurut cerita tutur tinular sesepuh pada masa kerajaan Demak, Sunan Bonang mendapat undangan dari Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang sebelumnya menjabat menjadi Bupati Demak. Sunan Bonang menjalani perjalanan melewati jalan laut lan darat. Perjalanan lewat laut dijalani dengan menaiki perau. Sunan Bonang juga termasuk salah satu wali sanga yang menyebarkan ajaran islam di tanah jawa.Sunan Bonang juga termasuk orang yang membantu berdirinya kerajaan dan Masjid Demak. Saat melakukan perjalanan darat, Sunan Bonang bertemu sama pemuda yang namanya Raden Said di alas Jatiwangi. Raden Said diusir sama orang tuanya dari kadipaten Tuban karena ketahuan suka merampok harta dari tuan tanah dan hartawan yang kaya. Uang rampokan itu lalu dibagikan sama fakir miskin.

Masyarakat menamakan dia dengan sebutan Brandal Lokajaya. Di sana Sunan Bonang di hadang sama Raden Said mau di rampok harta bendanya, tapi Sunan Bonang hanya membawa tongkat yang pegangannya terbuat dari emas.Setelah dekat, Raden Said menghadang langkah Sunan Bonang yang memakai baju jubah putih.

“Orang tua, kelihatannya kamu tidak buta, kamu juga masih kuat berjalan, tapi kenapa kamu menggunakan tongkat?” tanya Raden Said.

“Memakai tongkat ini saya tidak akan kesasar walau aku berjalan di tempat yang gelap.” Jawab orang tua itu.

“Tapi sekarang masih siang, tanpa memakai tongkat itu kamu masih bisa berjalan dengan baik.” Bantah Raden Said. Orang tua itu lalu memandang Raden Said.

“Tongkat itu adalah pegangan, orang hidup atau berjalan harus mempunyai pegangan supaya tidak berjalan di jalan yang sesat.”.

“Saya mau melihat tongkatmu,” Tanya Raden Said.

“Dari melihat nanti bisa mempunyai rasa ingin memiliki. Tidak baik punya keinginan ingin memiliki kepunyaan orang lain.” Kata orang tua itu.

Tanpa bicara lagi Raden Said merebut tongkat itu sampai orang tua itu terjatuh di tanah. Raden Said lalu memandangi tongkat itu, aneh, tongkat yang asalnya bergagang emas berubah menjadi kayu biasa.

Sunan Bonang dengan susah payah berdiri sambil menangis. Raden Said tambah heran.

“Jangan menangis,orang tua, ini tongkatmu saya kembalikan.” lalu Raden Said memberikan tongkat yang di pegangnya.

“Saya menangis bukan karena tongkatku kamu ambil, tapi saya menyesal dan merasa berdosa, Karana saya jatuh dan tidak sengaja saya mencabut rumput yang tidak salah.”

“Cuman sebatang rumput saja kamu merasa berdosa,?” Tanya Raden Said.

“Rumput juga ciptaannya Allah. Saya mencabut rumput ini tanpa ada gunanya, kalau saya mencabut untuk pakan ternak itu tidak masalah tapi kalau tidak ada gunanya itu dosa.”

Raden Said kaget mendengar ucapan filosofis itu.

“Kenapa kamu tega bertindak kasar sama orang tua.”?

“Aku pengen harta.” Jawab Raden Said.

“Untuk apa?” Tanya orang tua.?

“Mau saya berikan untuk fakir miskin.” Jawab Raden Said.

“Sangat baik niatmu, tapi kamu memakai cara yang salah, jawab orang tua itu.

“Apa maksudmu?”

“Allah suka sama pekerjaan yang baik dan cuma mau menerima amal dari pekerjaan yang baik dan halal.” Jawab orang tua itu.

Raden Said tambah kaget mendengar ucapan itu.

“Jelasnya, Allah tidak menerima pemberian dari bayang yang haram. Jadi sia-sialah pemberian yang kamu berikan dari hasil merampok selama ini. Kalau kamu ingin harta. ini ambillah! itu barang halal!” dengan menunjuk pohon aren yang ada di sebelahnya.

Seketika pohon aren itu menjadi emas. Ranting, daun, buah, semuanya menjadi emas. Lalu Raden Said mengeluarkan ilmunya. Dikiranya orang tua itu menggunakan ilmu sihir. Sebab kalau orang tua itu memakai ilmu sihir pasti bisa di tangkal. Tapi orang tua itu tidak menggunakan ilmu sihir. Pohon itu bener-bener sudah berubah menjadi emas. Raden Said kaget, dia mencoba memanjat pohon itu, mau mengambil buah yang berhilau itu. Belum sampai atas, buah itu sudah pada rontok dan mengenai kepala Raden Said sampai pingsan.

Ketika Raden Said sadar. Pohon aren itu kembali asal. Buah yang tadi rontok berwarna emas sekarang menjadi hijau seperti buah aren biasa. Raden Said kebingungan, mencari orang tua yang tadi merubah pohon aren menjadi emas itu. Tapi orang tua itu sudah tidak ada kelihatan lagi. Raden Said punya pikiran kalau orang tua itu tadi sakti yang mempunyai ilmu tinggi. Mungkin dari golongan para ulama’ atau para wali.

Seketika Raden Said mengejar orang tua tadi. Dia kepingin menjadi muridnya.Sesudah bersusah payah mengejar, baru bisa melihat bayangan orang tua itu dari kejauhan. Orang tua itu hanya berjalan pelan-pelan, tapi Raden Said belum bisa mengejarnya. Sesudah Raden Said mempercepat larinya,Raden Said baru bisa menyusul orang tua itu di pinggir sungai.
“Ada apa kamu mengejarku?” Tanya orang tua itu.


“Maukah kamu menerimaku menjadi muridmu” Tanya Raden Said.

Orang tua itu tidak lain adalah Sunan Bonang beliau mau menerima Raden Said menjadi muridnya, dengan syarat raden Said harus melewati ujian kesetiyaan. Sunan Bonang menancapkan tongkatnya di pinggir kali dan Raden Said diperintahkan menunggui tongkat itu sampai Sunan Bonang kembali lagi.

“Apa sanggup kamu menerima syarat itu,?” Tanya Sunan Bonang.

“Sanggup Kanjeng Sunan.” Jawab Raden Said. Lalu Sunan Bonang meneruskan perjalanannya menuju Masjid Demak. Raden Said kaget melihat Sunan Bonang berjalan di atas air seperti berjalan biasa di daratan. Tambah mantep niat Raden Said untuk berguru sama Sunan Bonang. Setelah menyebrangi sungai Sunan Bonang meneruskan perjalanan.Sesudah berjalan Sunan Bonang merasa kelelahan dan ingin beristirahat, pada saat Sunan Bonang beristirahat, beliau mendengar ada orang yang sedang bermain bonang. Sebab di pemukiman itu banyak para pengrajin yang sedang mambuat bonang dari kuningan, salah satu perangkat gamelan dari jawa yang di gunakan untuk nggiringi suatu pagelaran seni.

Sejak itu desa kasebut dikenal dengan nama BONANG sampai sekarang. Desa bonang juga berdiri masjid, masjid itu menurut crita adalah adik dari Masjid Demak. Berdirinya Masjid Al-Karomah itu juga ada campur tangan dari Sunan Bonang, pada saat beristirahat di pemukiman tersebut, pada waktu shalat dzuhur, Sunan Bonang mau shalat, tapi tidak ada Masjid, lalu Sunan Bonang mengajak para warga bersama-sama mendirikan Masjid hingga menjadi Masjid Al-Karomah itu.

Sunan Bonang lupa sama Raden Said yang sedang menunggui tongkat di pinggir sungai (kali). itu sudah berbulan-bulan lamanya bahkan sudah tahunan. Sesudah ingat, Sunan Bonang lalu kembali untuk menemui Raden Said. Sunan Bonang ingin tau kesetiyaan Raden Said dalam menunggui tongkat tersebut. Sunan Bonang kaget ketika melihat Raden Said yang tetep setya menunggui tongkat tersebut di pingir sungai (kali) sambil semedi.

Menurut sumber lain Raden Said berdoa sama Allah agar ditidurkan seperti Allah menidurkan tujuh pemuda di Goa Kahfi bertahun-tahun. Doanya Raden Said dikabulakan Allah. Itu sebabnya Raden Said bisa tidur bertahun-tahun lamanya sampai badannya dipenuhi ranting dan dedaunan. Sunan Bonang baru bisa membangunkan sesudah beliau mengumandangkan suara adzan. Sesudah Raden Said terbangun dia diajak ke tempat Sunan Bonang. Disana dia di berikan pelajaran agama tingkat tinggi. Dengan kepintaran dan ketekunan Raden Said dalam belajar dia bisa mewarisi semua ilmu Sunan Bonang. 

Karana Raden Said pernah bertapa di pinggir sungai (kali) bertahun-tahun lamanya, maka sesudah Raden Said menjadi Wali, dia disebut dengan sebutan Sunan Kalijaga. Baju Takwa, Perayaan Sekaten, Grebeg Maulud, Layang Kalimasada, Lakon Wayang Petruk Dadi Raja, itu semua adalah ciptaannya Sunan Kalijaga.

Jejak Prabu Angling Dharma

Prabu Angling Dharma adalah seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Salah satu keistimewaan beliau adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata. Beliau bersama patihnya, Batik Madrim mampu menjadikan Mlowopati menjadi besar dengan memenangi beberapa peperangan penting.
Selain itu beliau juga dikenal sebagai seorang raja yang arif dan bijaksana juga tersohor bisa menundukan bangsa jin.Tersohor juga dengan berbagai macam benda pusaka peninggalanya seperti : Keris Polang Geni, Panah Pasopati, dan lain sebagainya.

Akan tetapi siapa yang tahu bahwa makam dan beberapa peninggalan penting dari Prabu Angling Dharmo berada di kota Pati Jawa Tengah, tepatnya di desa Mlawat (Mlowopati) kecamatan Sukolilo. Kalau dari desa saya, kira-kira berjarak 15 Km-an. Selain itu, di sana juga terdapat makam sang Patih, Batik Madrim. Terdapat juga gua yang sangat dalam yaitu gua Eyang Pikulun Naga Raja Guru Prabu Angling Darma juga tempat pemandian yang sampai sekarang masih di sakralkan oleh penduduk setempat. Dan desa Mlawat sampai sekarang masih menjadi salah satu objek wisata sebagai peninggalan bersejarah yang kerap dikunjungi wisatawan.

Tapi sungguh perihal ini, sepertinya sangat perlu diadakan penelitian lebih lanjut dan kemudian menjadi bagian kekayaan sejarah Indonesia karena semua tertuliskan dan didukung data-data yang valid. Selama ini tentang keberadaan makam Prabu Angling Dharma masih simpang siur karena hanya bersifat sejarah dari mulut ke mulut. Mungkin jika Anda adalah warga Bojonegoro akan menolak dengan keras dan bersikukuh mengatakan bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di Bojonegoro. Jika tidak demikian, sebutan “Laskar Angling Dharma” sebagai warga Bojonegoro mungkin akan ditarik kembali.

Prabu Angling Dharma memang pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janji sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati yang mati bunuh diri. Dianggap melanggar janji saat Dewi Uma dan Dewi Ratih menguji keteguhan janji itu dengan cara menyamar menjadi nenek-nenek dan gadis cantik menyerupai Dewi Setyowati. Dan runtuhlahlah iman sang Prabu. Kemudian beliau dikutuk kedua kalinya oleh seorang putri raksasa yang cantik dan pemakan manusia sebagai burung Belibis. Dan pada perjalanan selanjutnya sampailah beliau di Wonosari, Bojonegoro dan kisah selanjutnya beliau memperistri Dewi Srenggono, Trusilo, dan Mayangkusuno dan kemudian mempunyai beberapa putra.

Dan hal terpenting yang perlu dicatat adalah sang Prabu pernah kembali ke kerajaan Mlowopati beserta istri dan putranya karena saat itu Mlowopati diserang Raja Raksana Pancadnyono. Dan atas kembalinya sang Raja Mlowopati, dimenangilah peperangan itu walaupun Batik Madrim dan pasukanya sempat kwalahan. Akan tetapi belum diketahui secara pasti apakah sang Prabu menetap di Mlowopati sampai akhir hayat atau tidak. Sehingga sampai saat ini masih menjadi perdebatan yang panjang perihal letak makam Prabu Angling Dharma.

Selain di Bojonegro, tak sedikit yang menganggap bahwa makam Angling Dharma terdapat di tanah Sunda beserta kerajaanya. Dan lebih menarik lagi oleh beberapa orang juga disebutkan Angling Dharma pernah di Temanggung (lereng Gunung Sumbing), tepatnya di daerah Kedu, arah ke Parakan.

Walaupun demikian, saya masih meyakini bahwa makam Prabu Angling Dharma berada di desa Mlawat, kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jateng. karena di sana juga terdapat Sendang Nogorojo dan Sendang Nogogini (Nogogini adalah istri dari Naga Pertala, sahabat Angling Dharma).

Salam KWS_Pati....

Kayu Tengsek

Kayunya amat keras dan awet, banyak ditemukan dilereng gunung berapi dengan tinggi mencapai 40 m dan diameter 50 cm, batangnya lurus dan bulat. Karena banyak diburu orang, sekarang makin langka, dibedakan antara Tesek biasa dan Tesek Wulung, yang pertama kayunya putih, disana sini diwarnai cerat-cerat atau poleng hitam. Tesek lainnya wulung, kulitnya berwarna coklat tapi lama lama menjadi hitam. Menurut kepustakaan, kayu ini tenggelam di air dan jika diletakan diair mengalir maka ia akan berjalan melawan arus, kayu ini bagus disimpan orang yang sabar dan tidak mudah marah karena bila digunakan untuk memukul walau hanya digunakan sebagai mata cincin, bahayanya tetap ada, orang bisa pingsan sampai mati. Kayu ini biasa dibuat cincin, pipa, tangkai tombak, gantungan kunci dll.

Tuahnya : 

Tahan lama dalam air, diwaktu banjir mengamuk ia bisa tahan jika memakai kayu ini, juga dipercaya anti tanah sangar, anti hama tumbuhan dan anti ilmu hitam, anti upas atau entup (sengatan lebah). Wanita dan Pria boleh memakai kayu ini dan kayu ini bersifat laki-laki, jodoh kayu ini adalah kayu setigi. Kayu Setigi yang terkenal dari Gunung Lawu atau Merapi.

Sejarah Turunnya Asma' Suryani


(Asma’ Suryani telah dilancarkan secara resmi pada 11.11.2011(Jum'at)serentak dengan keilmuan Asma Sunge Rajeh.(mohon maaf Asma Suryani ini diijazahkan hanya khusus bagi Muslim)

Pada zaman dahulu, era perjuangan bangsa Indonesia banyak diantaranya para Alim Ulama’, & Kyai Sepuh mempunyai segudang Ilmu Hikmah yang pada masa itu di gunakan untuk perjuangan melawan bangsa Penjajah ( Belanda, Jepun, Portugis,) diantara Ilmu para Kyai tersebut adalah Asma’ Suryani (kadangkala orang menyebutnya Asma’ Perang ), Asma’ inimenurut lagendanya dimiliki oleh ulama besar dan tokoh pejuang proklamasi, beliau adalah Kanjeng Pangeran Diponegoro, beliau berguru pada seorang ahli filosofi arab untuk memperoleh ilmu ini.

Pada suatu hari beliau berjalan-jalan sampai di suatu daerah, daerah tersebut sunyi dan hening, ternyata keheningan tersebut kerana keserakahan dan kebiadaban belanda, betapa kagetnya beliau ketika melihat orang belanda menganiaya seorang Indonesia, lalu beliau mengambil kacang hijau dan berdo’a, memohon kepada pada Allah dengan membaca asma’ suryani, kemudian menyebarkan kacang hijau tersebut ke sekumpulan tentera belanda tersebut dan atas izin-NYA seketika itu juga kacang hijau tersebut berubah jadi ratusan tentera. Kemudian tentera belanda tersebut kocar-kacir.
Inilah Asma yang sangat ampuh warisan para Waliyullah, yang merupakan senjata pamungkas Kanjeng Pangeran Diponegoro.

Dalam khazanah ilmu Hikmah, Asma Suryani merupakan salah satu ilmu tingkat tinggi yang sangat popular di jagat spiritual dan sampai saat ini masih banyak diburu orang. Namun sampai saat ini hanya sebahagian kecil saja yang baru betul-betul menguasainya dengan sempurna. Asma ini mempunyai getaran energi yang sangat kuat, makanya harus hati-hati ketika mengamalkannya supaya tidak mendatangkan kesan negatif bagi yang mengamalkannya.

Untuk memiliki ilmu ini sangat mudah sekali, namun diperlukan keyakinan yang sangat kuat, juga keikhlasan dan kepasrahan total supaya energi yang masuk dapat diterima dengan penuh dan betul-betul menyatu dengan jiwa dan raga. Proses pengijazahannya pun sangat sederhana dan cepat hanya memerlukan waktu sekitar 30 minit saja.

Asma Suryani adalah ilmu hikmah yang bersumber dari kekuatan do’a.Namun demikian kekuatannya sangat dahsyat melebihi amalan-amalan yang berkhodam sekalipun. Bahkan uniknya dapat langsung digunakan dan dibuktikan .

Asma Suryani merupakan satu ilmu hikmah yang sangat ditakuti oleh manusia dan jin, kerana manusia/jin yang terkena ilmu ini akan lumpuh seperti tak bertulang hanya dengan ucapan jadi kenyataan,sekali sentuh (apabila memukul) lawan pingsan dan terpental sungguh sangat dahsyat. Kekuatan ilmu ini berbeza dengan ilmu lain yang penggunanya harus dengan olah nafas (tahan nafas) dan lain-lain. Tapi ilmu ini penggunaannya cukup dengan bacaan saja.

Setelah Kami bangkitkan Daya Batin yang ada di dalam tubuh Anda dan kami selaraskan dengan Asma Suryani, tanpa ritual-ritual yang memberatkan, dalam waktu seketika, Insya Allah Anda mempunyai kemampuan yang sangat dahsyat untuk 1000 hajat dan siap difungsikan untuk semua tujuan positif apapun dalam hidup Anda, diantaranya :
  • Mempengaruhi fikiran (Telepati)
  • Kewibawaan tingkat tinggi.
  • Selalu berpengaruh dan berkuasa atas diri siapapun.
  • Sorot mata tajam memancarkan daya pengaruh.
  • Getar suara menembus batin bawah sedar lawan bicara.
  • Sentuhan tangan mengandung energi penunduk.
  • Pengasihan umum dan khusus.
  • Memancarkan aura daya pikat, daya tarik dan daya pesona yang luar biasa.
  • Meluluhkan hati seseorang.
  • Dicintai dan disayang semua orang.
  • Disayang atasan disegani bawahan.
  • Keberanian luar biasa.
  • Meredam amarah siapapun.
  • Pelarisan usaha apa saja.
  • Mudah dipercaya orang lain.
  • Mengobati kerasukan.
  • Mengubati penyakit medik dan non medik.
  • Selamat dari serangan senjata tajam.
  • Selamat dari niat jahat siapapun.
  • Menundukkan musuh.
  • Meningkatkan power ilmu yang sudah ada.
  • Keselamatan di darat, laut dan udara.
  • Meneutralkan tempat keras/berpuaka.
  • Menangkal hipnotis, gendam, dan energi negatif apapun.
  • Ditakuti segala macam makhluk halus.
  • Pagar rumah, kedai, kilang, kebun, dll.
  • Menjinakkan haiwan buas.
  • Panglimunan (tak terlihat bila terdesak).
  • Membuat benda jadi bertuah.
  • Mengisi kekuatan pada orang lain.
  • Menghentam musuh jarak jauh.
  • Mempertajam indra ke-enam.
  • Menumbuhkan bakat metafizik/spiritual.
  • Putar giling sukma ( mengembalikan kekasih,tunang, suami/istri, yang berpaling ke lain hati)
Semua khasiat tersebut dapat terjadi semata-mata bila ada izin dari Allah SWT, disertai dengan KUNCI tatacara yang benar sesuai dengan tradisi pengijazahan keilmuan Asma’ Suryani.Keilmuan Asma’ Suryani sangat baik bila digabungkan dengan Asma Sunge Rajeh.


Keris Taming Sari

Keris Tamingsari adalah salah satu dari keris yang pernah dimilikki oleh Panglima Islam Tamingsari yang melayani dan mengabdi kepada kerajaan Majapahit yang bukan islam, beliau adalah seorang anggota pertapaan khusus untuk menuntut ilmu materi. Keris milik Empu sipolan dari perguruan tanah jawa adalah milik pribadi guru Si Tamingsari si Empu sipolan. Keris ini telah diwariskan kepada anak murid kesayangan Empu sipolan yakni Si Tamingsari agar dijaga dan dipelihara oleh Tamingsari. Keris tersebut mengandung hikmah kekuatan untuk dibawa berperang seperti kebanyakan keris keris lain yang bisa mengebalkan tubuh dari dapat penyiksaan yang dilakukan oleh senapan besi dan lain lain.

Keris Tamingsari telah diwafa'kan dengan cara rahasia untuk diisi dengan pemuda jin perang dari bangsa khadam jin perang yang kebal seperti yang ada pada kebanyakan batu batu tertentu atau peralatan senjata lain di zaman dahulu. Senjata ini telah dirancang khusus oleh Empu sipolan yang menjadi guru Tamingsari dengan pengisian hikmah kebal kulit yang bisa di cubakan setiap saat tanpa menunggu saat darurat. Wafa 'ini sedikit berbeda dengan wafa' tulisan kertas atau huruf huruf biasa, dampaknya tidak hanya saat darurat saja. Keris Tamingsari adalah satu satunya senjata yang bisa menyebabkan si pemakainya menjadi kebal dengan merasakan resapan halus dan kebas di seluruh tubuh serta menambah kekuatan tubuh untuk bergerak aktif dan tangkas selama berjam jam tanpa henti. Hal ini tidak dapat diperoleh melalui latihan jasmani kebanyakan tetapi hanya dapat di peroleh melalui meditasi tertentu yang dapat menyatukan gelombang gelombang tertentu sehingga dapat disatukan ke bilah senjata terpilih.


Keris Tamingsari bukanlah sebuah keris yang dibuat dari besi sehingga ada yang mengabarkan terbuat dari 99 jenis besi termasuk besi yang diambil dari kaabah, seperti sangkaan kita dan saya sendiri sebelum ini. Sebenarnya keris Tamingsari terbuat dari 'Inti Kayu Kelor', orang jawa menyebutnya dengan panggilan 'Galeh Kelor'. Pokok 'kelor' sebenarnya menghasilkan buah yang bisa digunakan untuk merawat beberapa penyakit serius tertentu, dan ia sangat dikenal oleh kebanyakan orang jawa dan india mamak, malbariperubatan tradisional yang sangat penting. Galeh atau Teras kayu ini jika umurnya telah matang dan berpuluhan tahun hidup akan memiliki inti yang keras dan berbisa jika terkena kulit manusia maupun binatang dengan menggunakan beberapa metode tertentu. Teras kayu ini berwarna hitam pekat dan sedikit warna kekayuan. sebagai bahan
Di kalangan orang jawa, kayu galeh kelor ini banyak yang memilikkinya karena terpercaya sangat disukai oleh bangsa khadam jin timbulan perang, pemuda jin kebal perang dan khadam jin perang yang bersifat permanen selama pemilik masih menerapkan ritual tertentunya.


Banyak kanuragan dan paranormal yang mengetahui khasiat kayu ini pasti memakainya dijari sebagai cincin kecil berwarna hitam dalam bentuk empat segi tepat. Pemakai biasanya sangat merahasiakan jenis dan khasiat batu cincin dari galeh kelor. Kisah tentang khasiat dan rahasia kayu teras kelor ini sangat dimengerti oleh orang majapahit dan kanuragan serta paranormal dari kepulauan Indonesia. Maka tidak heran jika Empu si fulan tidak menyia nyiakan galeh kelornya untuk dijadikan sebilah keris yang mengguncang Tanah Melayu diakhirnya nanti. Teras kelor atau galeh kelor memiliki sejarah mistiknya yang tersendiri. Pernahkah saudara sidang pengunjung mendengar sapi lando ..? Maka sejarah sangat erat dengan sapi lando dan sekalian isi perut sapi lando. Biar sahabat sahabat kita dari Marang, pewaris kesultanan Demak Bintara memberikan komennya tentang sapi lando.
Biasanya si pemakai yang diserang, jika dapat membalas balik dengan satu pukulan ke penyerangnya dan tepat pada sasaran pasti akan menggelepar dan berbuih mulutnya akibat terkena bisa galeh kelor yang sangat terkenal sebagai senjata pukulan bersarung cincin di jari. Ia menyamai bisanya dengan kekuatan bisa Kelabang sayuta yang di pakai oleh pewaris ilmu hitam zaman dahulu. Kayu ini sangat mahal harganya dan jika ada dijual di pasar sekalipun hanya sebesar kuku jari. Kayu galeh kelor yang sudah matang dan tua sangat jarang tersedia.


Adapun keris Tamingsari itu pula berwarna hitam. Pangkal kerisnya hanya selebar 1 inci setengah. Keris ini panjangnya hanya sejengkal lebih saja, tidak kurang dari itu dan tidak lebih dari yang demikian sebutnya dan tidak jua ia sama seperti keris yang lain. Oleh itu keris Tamingsari sering tidak terlihat saat diselit akan dia di pinggang pahlawan.
Keris Tamingsari berwarna hitam mirip seperti warna Keris Tamingsari dalam hayalan M. Nasir cerita Puteri Gunung Ledang. Telah dikabarkan oleh mereka bahwa Hulu keris dan sarungnya berwarna kekuning kuningan seperti warna kayu jua. Wallaahu a'lam bissawab.
Keris Tamingsari dirancang oleh Empu Si polan khususnya untuk membocorkan perut panglima panglima yang kebal, dimana mereka memakai khadam jin kebal kebanyakan. Jika mereka menerima penghargaan kekebalan tubuh akibat kersani dibawah kulit dan didarah kembali jadinya, maka Keris Tamingsari tidak dapat menembusnya karena khadamnya lebih tinggi kedudukannya pada dari khadam jin kebal yang kebanyakan. Artinya khadamnya itu lebih kuat.


Adapun klaim mereka bahwa keris Tamingsari itu telah di buang ke sungai adalah suatu berita yang terkhilaf. Bahwa keris tersebut telah menjadi rebutan di kemudian hari oleh para kerabat di raja sultandirekakan cerita agar tidak lagi dicari orang tertentu termasuk tentara dari Majapahit yang menginginkan kembali keris tersebut.Perintah itu di peroleh dari Patih Gajah Mada yang ternyata bukan islam. sehingga
Pada hari Bentara menyerahkan keris Tamingsari ke Hang Tuah sebagai ucapan terimakasih karena akhirnya Tamingsari terbunuh juga sebenarnya mereka tidak tahu bahwa keris itu memiliki pengaruh besar pada si pemakainya. Adalah bahwa Tamingsari handal sehandalnya serta kebal pula tubuhnya dari senjata, tidak pernah walau sekali beliau membukakan akan segala rahasianya. Jika jika mereka menyadari hal ini pasti keris itu akan jadi milik kerajaan Majapahit itu sendiri pada sifat keluarbiasaannya. Pada waktu itu jarang sekali diketemukan pahlawan yang kebal tubuhnya tidak lut senjata, sangat jarang sekali. pada waktu itu juga sangat sulit menemukan senjata kebal. Jika ada sekalipun pasti mulut tidak senang bicara. Khawatir terlalu banyak perampok. Sedangkan keris Nagasasra dan Sabukinten yang dijaga dengan baik sanggup dirampok orang. Nagasasra Sabukinten adalah salah satu keris yang mewarisi ilmu kebal dan memiliki sinar pancaran cahaya tiga warna yang sangat menakutkan jin segala khadam perang. (Sesuai dgn nama kawulo gusti) dan (muhibbah). Ini adalah informasi dari alam sana.


Keris Tamingsari tidak berapa terlihat bila diselipkan dipinggang. Karena ukurannya yang lebih kecil dan pendek dibandingkan ia dengan keris pahlawan pahlawan jawa yang lain.
Hang Tuah telah menerima sinyal spiritual yang dikenal orang sebagai ilmu firasat batin. Dengan pengetahuan itu beliau sendiri dapat mengenal kesaktian keris yang digenggam erat oleh pahlawan islam siTamingsari. Sampai akhirnya Hang Tuah mengabarkan perihal keris itu di Jakarta. maka banyak yang menginginkannya. Khadam keris Tamingsari telah kembali ke tempat asalnya sejak berada di lain negeri. Kini ia keris itu bersemayam di salah sebuah negeri di Tanah Melayu sampai tahun 2009. Setelah itu dikabarkan bahwa keris Tamingsari telah dibawa keluar dari simpanannya dan tercecer katanya sehingga tahun ini ia tidak dikembalikan. Begitu menurut kabarnya.


Maka mereka menambahkan bahwa keris itu sudah tidak akan kembali lagi kecuali mungkin akan ditemukan orang pilihan tuhan, raja segala raja. Mohon Ampun, Sembah patik harap diampun. Bukan hamba berniat tetapi inilah kebenaran yang patik dengar di balik awan mahkota yang merinin. Ampun Tuanku. Keris puaka itu dahulu menjadi buruan raja dan segala panglima. Maka diserahkan kembali oleh Hang Tuah kepada Sultan karena itulah rahasia agungnya kota Melaka di zaman Tuah. Hang Tuah lalu berkelana membawa diri. Pertemuannya dengan khidir as lebih berharga dari keris Tamingsari ...
Wallahu a'lam bissawaab.

Perjalanan Keris Mpu Gandring

Keris Mpu Gandring adalah senjata pusaka yang terkenal dalam riwayat berdirinya Kerajaan Singhasari di daerah Malang, Jawa Timur sekarang. Keris ini terkenal karena kutukannya yang memakan korban dari kalangan elit Singasari termasuk pendiri dan pemakainya, ken Arok.Keris ini dibuat oleh seorang pandai besi yang dikenal sangat sakti yang bernama Mpu Gandring, atas pesanan Ken Arok, salah seorang tokoh penyamun yang menurut seorang brahmana bernama Lohgawe adalah titisan wisnu. Ken Arok memesan keris ini kepada Mpu Gandring dengan waktu satu malam saja, yang merupakan pekerjaan hampir mustahil dilakukan oleh para "mpu" (gelar bagi seorang pandai logam yang sangat sakti) pada masa itu. Namun Mpu Gandring menyanggupinya dengan kekuatan gaib yang dimilikinya. Bahkan kekuatan tadi "ditransfer" kedalam keris buatannya itu untuk menambah kemampuan dan kesaktian keris tersebut. Setelah selesai menjadi keris dengan bentuk dan wujud yang sempurna bahkan memiliki kemampuan supranatural yang konon dikatakan melebihi keris pusaka masa itu. Mpu Gandring menyelesaikan pekerjaannya membuat sarung keris tersebut. Namun belum lagi sarung tersebut selesai dibuat, Ken Arok datang mengambil keris tersebut yang menurutnya sudah satu hari dan haris diambil. Kemudian Ken Arok menguji Keris tersebut dan terakhir Keris tersebut ditusukkannya pada Mpu Gandring yang konon menurutnya tidak menepati janji (karena sarung keris itu belum selesai dibuat) selebihnya bahkan dikatakan untuk menguji kemampuan keris tersebut melawan kekuatan supranatural si pembuat keris (yang justru disimpan dalam keris itu untuk menambah kemampuannya). Dalam keadaan sekarat, Mpu Gandring mengeluarkan kutukan bahwa Keris tersebut akan meminta korban nyawa tujuh turunan dari Ken Arok. Dalam perjalanannya, keris ini terlibat dalam perselisihan dan pembunuhan elit kerajaan Singhasari yakni :

Terbunuhnya Tunggul Ametung
Tunggul Ametung, kepala daerah Tumapel (cikal bakal Singhasari) yang saat itu adalah bawahan dari Kerajaan Kadiri yang saat itu diperintah oleh Kertajaya yang bergelar "Dandang Gendis" (raja terakhir kerajaan ini). Tumapel sendiri adalah pecahan dari sebuah kerajaan besar yang dulunya adalah Kerajaan Jenggala yang dihancurkan Kadiri, dimana kedua-duanya awalnya adalah satu wilayah yang dipimpin oleh Airlangga.
Ken Arok membunuh Tunggul Ametung untuk mendapatkan istrinya yang cantik, Ken Dedes. Ken Arok sendiri saat itu adalah pegawai kepercayaan dari Tunggul Ametung yang sangat dipercaya. Latar belakang pembunuhan ini adalah karena Ken Arok mendengar dari Brahmana Lohgawe bahwa "barang siapa yang memperistri Ken Dedes akan menjadi Raja Dunia".
Sebelum Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, keris ini dipinjamkan kepada rekan kerjanya, yang bernama Kebo Ijo yang tertarik dengan keris itu dan selalu dibawa-bawanya kemana mana untuk menarik perhatian umum. Bagi Ken Arok sendiri, peminjaman keris itu adalah sebagai siasat agar nanti yang dituduh oleh publik Tumapel adalah Kebo Ijo dalam kasus pembunuhan yang dirancang sendiri oleh Ken Arok. Siasatnya berhasil dan hampir seluruh publik Tumapel termasuk beberapa pejabat percaya bahwa Kebo Ijo adalah tersangka pembunuhan Tunggul Ametung. Ken Arok yang saat itu adalah orang kepercayaan Tunggul Ametung langsung membunuh Kebo Ijo yang konon, dengan keris pusaka itu.

Terbunuhnya Ken Arok
Setelah membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok mengambil jabatannya, memperistri Ken Dedes yang saat itu sedang mengandung dan memperluas pengaruh Tumapel sehingga akhirnya mampu menghancurkan Kerajaan Kediri. Ken Arok sendiri akhirnya mendirikan kerajaan Singhasari.
Rupanya kasus pembunuhan ini tercium oleh Anusapati, anak Ken Dedes dengan ayah Tunggul Ametung. Anusapati, yang diangkat anak oleh Ken Arok mengetahui semua kejadian itu dari ibunya, Ken Dedes dan bertekat untuk menuntut balas. Anusapati akhirnya merancang pembalasan pembunuhan itu dengan menyuruh seorang pendekar sakti kepercayaannya, Ki Pengalasan.
Pada saat menyendiri di kamar pusaka kerajaan, Ken Arok mengamati pusaka kerajaan yang dimilikinya. Salah satu pusaka yang dimilikinya adalah keris tanpa sarung buatan Mpu Gandring yang dikenal sebagai Keris Mpu Gandring. Melihat ceceran darah pada keris tersebut, ia merasa ketakutan terlebih lebih terdengar suara ghaib dari dalam keris tersebut yang meminta tumbal. Ia ingat kutukan Mpu Gandring yang dibunuhnya, dan serta merta mebantingnya ke tanah sampai hancur berkeping-keping. Ia bermaksud memusnahkannya. Namun ternyata keris tersebut melayang dan menghilang. Sementara Anusapati dan Ki Pengalasan merancang pembunuhan tersebut, tiba-tiba keris tersebut berada di tangan Anusapati. Anusapati menyerahkan keris kepada Ki Pengalasan yang menurut bahasa sekarang, bertugas sebagai "eksekutor" terhadap Ken Arok. Tugas itu dilaksanakannya, dan untuk menghilangkan jejak, Anusapati membunuh Ki Pengalasan dengan keris itu.

Terbunuhnya Anusapati
Anusapati mengambil alih pemerintahan Ken Arok, namun tidak lama. Karena Tohjaya, Putra Ken Arok dari Ken Umang akhirnya mengetahui kasus pembunuhan itu. Dan Tohjaya pun menuntut balas.
Tohjaya mengadakan acara Sabung Ayam kerajaan yang sangat digemari Anusapati. Ketika Anusapati lengah, Tohjaya mengambil keris Mpu Gandring tersebut dan langsung membunuhnya di tempat. Tohjaya membunuhnya berdasarkan hukuman dimana Anusapati diyakini membunuh Ken Arok. Setelah membunuh Anusapati, Tohjaya mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Anusapati.
Tohjaya sendiri tidak lama memerintah. Muncul berbagai ketidak puasan baik dikalangan rakyat dan bahkan kalangan elit istana yang merupakan keluarganya dan saudaranya sendiri, diantaranya Mahisa Campaka dan Dyah Lembu Tal. Ketidakpuasan dan intrik istana ini akhirnya berkobar menjadi peperangan yang menyebabkan tewasnya Tohjaya. Setelah keadaan berhasil dikuasai, tahta kerajaan akhirnya dilanjutkan oleh Ranggawuni yang memerintah cukup lama dan dikatakan adalah masa damai kerajaan Singashari. Sejak terbunuhnya Tohjaya, Keris Mpu Gandring hilang tidak diketahui rimbanya.

Sejarah Gunung Merapi

Sewaktu Pulau Jawa diciptakan para desa, keadaannya tidak seimbang. Karena miring ke barat. Ini disebabkan di ujung barat terdapat Gunung Jamurdipo.

Atas prakarsa Dewa Krincingwesi, gunung tersebut dipindahkan ke bagian tengah agar terjadi keseimbangan. Pada saat yang bersamaan, di tengah Pulau Jawa terdapat dua empu kakak beradik, yakni Empu Rama dan Permadi. Keduanya tengah membuat keris pusaka Tanah Jawa. Mereka oleh para dewa telah diperingatkan untuk memindahkan kegiatannya tetapi keduanya bersikeras. Mereka tetap akan membuat pusaka di tengah Pulau Jawa. Maka, Dewa Krincingwesi murka. Gunung Jamurdipo kemudian diangkat dan dijatuhkan tepat di lokasi kedua empu itu membuat keris pusaka. Kedua empu itu, akhirnya meninggal. Terkubur hidup-hidup karena kejatuhan Gunung Jamurdipo. Untuk memperingati peristiwa tersebut, Gunung Jamurdipo kemudian diubah menjadi Gunung Merapi. Artinya, tempat perapian Empu Rama dan Permadi. Roh kedua empu itu kemudian menguasai dan menjabat sebagai raja dari segala makhluk halus yang menempati Gunung Merapi.
Mitos tentang asal-usul Gunung Merapi ini ternyata juga muncul dengan versi lain di Korijaya. Menurut cerita yang terjadi di sana, ketika di dunia ini belum terdapat kehidupan manusia kecuali para dewa di Kahyangan, keadaan dunia pada saat itu tidak stabil, miring dan tidak seimbang. Batara Guru lantas memerintahkan para dewa untuk memindahkan Gunung Jamurdipo yang semula terletak di Laut Selatan, agar Pulau Jawa menjadi seimbang. Gunung itulah yang kemudian dijadikan batas utara Jogyakarta. Sebelum Batara Guru memerintahkan para dewa untuk memindahkan gunung itu, Empu Rama dan Permadi diutus membuat keris pusaka Tanah Jawa. Padahal gunung itu akan dipindahkan di tempat kegiatannya. Karena kedua empu itu diperintah Batara Guru, tak maulah mereka pindah dari situ. Sebab, ada sabda pandhita ratu, datan kenging wola-wali. Artinya, perkataan ratu tidak boleh berubah-ubah atau plin-plan.

Maka, terjadilah pertempuran. Empu Rama dan Permadi menang atas dewa-dewa. Mendengar hal itu, Betara Guru lantas memerintahkan Batara Bayu agar kedua empu itu dihukum. Dikubur hidup-hidup karena membangkang Jamurdipo. Akhirnya, menurut mitos itu, Jamurdipo ditiup dari Laut Selatan oleh Batara Bayu dan terbang kemudian jatuh tepat di atas perapian. Kejadian ini akhirnya mengubur mati kedua empu yang dinilai pembangkang itu. Karena dipindahkan ke perapian, maka Gunung Jamurdipo akhirnya dinamakan Gunung Merapi. Kedua empu itu akhirnya menjadi penguasa makhluk halus yang tinggal di Merapi.
Sesudah peristiwa itu, Barata Narada diutus Batara Guru untuk memeriksa Gunung Merapi. Ternyata ia menemukan ular naga yang belum menghadap para dewa karena terhalang air mata gunung yang bernama Cupumanik. Narada kemudian membawa Cupumanik menghadap para dewa. Cupumanik yang menyebabkan semuanya jadi terlambat, akhirnya dihukum mati. Tetapi Batara Guru murka melihat kenyataan, bahwa Cupumanik menggunakan kesaktiannya sehingga hukuman mati itu tak membawa hasil.

Oleh Batara Guru tubuh Cupumanik kemudian diangkat dan dibanting di atas tanduk lembu Andini. Andini adalah kendaraan pribadi Batara Guru. Tubuh Cupumanik hancur lebur, berantakan dan dari tubuhnya muncul seorang putrid cantik. Namanya Dewi Luhwati. Akibat bantingan yang luar biasa itu, salah satu tanduk Andini patah menjadi dua. Sedang kecantikan Dewi Luhwati membuat Batara Guru terpesona dan jatuh cinta.

KI AGENG SELO

Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja – raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Dati II Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg). Menurut cerita dalam babad tanah Jawi ( Meinama, 1905; Al – thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki – laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian. Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikimpoikan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkimpoian antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kimpoi dengan Ki Ageng Ngerang.

Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya . Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi – bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja – raja besar yang menguasai seluruh Jawa . Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. ( Altholif : 35 – 36 ) . Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja – raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata : Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ). Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya : Sela. Selanjutnya cerita tentang Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad sebagai berikut : Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar – benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak – enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “ bledheg “ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek – kakek. Kakek itu cepat – cepat ditangkap nya dan kena, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak. Oleh Sultan “ bledheg “ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun – alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “ bledheg “ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek – nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg “ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “ bledheg : tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “ bledheg hancur berantakan.

Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “ Bende “ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “ Bende “ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah. Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “ kesrimpet “ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde . Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun – turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).

Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba ( Wanasaba ), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki – laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kimpoi dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama – sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya ( Jaka Tingkir ). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. ( M. Atmodarminto, 1955 : 1222 ) . Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja – raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja – raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja – raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat. Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak – arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing – masing. Menurut Shrieke ( II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar “. Bahkan data – data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja – raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang . Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa – sisa bekas kraton tua ( Reffles, 1817 : 5 ). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi .

Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber – sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut . Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam – makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. ( Graaf, 3,1985 : II ). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam – makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata – rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.

DEWI RAYUNGWULAN

Beberapa abad yang silam, di sekitar Gunung Muria bagian tenggara berdiri sebuah kadipaten. Tepatnya di daerah JawaTengah di sekitar kota Pati sekarang. Nama kadipaten itu adalah Carangsoka. Daerahtrya subur makmur, rakyat hidup dan bahagia dan sejahtera. Tanah dan wilayah Carangsoka meliputi sungai Juwana sampai pantai Jawa Tengah bagian utara timur.
Adapun yang menduduki tahta adalah Raden Puspahandungjaya, yang seorang adipati arif dan bijaksana, sehingga sangat dicinta segenap rakyatnya. Adipati Puspahandungjaya mempunyai istri seorang wanita yang ayu patuh anggun, penuh setia dan serta bakti kepada sang suami, yang dikenal sebagai Sang Prameswari. Dalam menjalankan roda pemerintahan Adipati Puspahandungjaya didukung para oleh punggawa Kadipaten Carangsoka. Mereka secara sungguh-sungguh bekerja penuh tanggung jawab, disiplin, dan penuh kejujuran. Para punggawa Kadipaten Carangsoka adalah : Ki Ageng Singapadu di Desa Nguren sebagai patih merangkap jaksa, Raden Sukmayana sebagai penguasa wilayah Majasemi, Kembangjaya di Bantengan Trangkil sebagai ahli perang siasat yang sangat disegani, Sondong Makerti di Wedarijaksa merupakan prajurit yang ahli beladiri, dan Singanyidra adalah prajurit pilihan Kadipaten Carangsoka.

Adipati Puspahandungjaya dengan Sang Prameswari sangat bahagia. Apalagi setelah dikaruniai seorang puteri yang cantik dan jelita, yang diberi nama Dyah Ayu Dewi Rayungwulan. Dewi Rayungwulan saat usianya meningkat remaja, kecantikan dan keayuannya semakin bersinar- sinar.Bicaranya santun, perilakunya sangat sopan sehingga menjadi buah bibir setiap ralgyat di Kadipaten Carangsoka, dan merupakan bahan pembicaraan para adipati serta pangeran dari kadipaten-kadipaten tetangga. Ketika Dewi Rayungwulan telah dewasa, para pangeran dari kadipaten tetangga ingin mempersunting. Mereka ingin mendapat kesempatan untuk meminangnya. Namun karena pengaruh Puspahandungjaya Sang Adipati yang berwibawa, tidak sembarang pangeran berani mengemukakan pangeran hasratnya, kecuali Josari anak tunggal Adipati Yudapati dari Kadipaten Paranggaruda. Terdorong rasa ingin meminang Dewi Rayungwulan untuk dijodohkan dengan Pangeran Josari, sang Adipati Yudapati menyuruh patihnya yang bernama Singapati disertai beberapa demang membentuk rombongan menuju Kadipaten Carangsoka dengan membawa emas, intan dan pakaian yang indah sebagai tanda pinangan. Mereka diterima oleh Adipati Puspahandungjaya dengan ramah dan sangat terbuka. Para utusan merasa senang dengan penerimaan tulus penuh kehangatan. Suasana Kadipaten C arangsoka sangat nyaman, bila dibandingkan dengan suasana Paranggaruda. Patih Singapati menyampaikan maksud kedatangannya yaitu ingin meminang Dewi Rayungwulan yang akan dijodohkan dengan pangeran Josari putra mahkota Kadipaten Paranggaruda. Sebagai seorang adipati yang bijaksana, maka pinangan dari Kadipaten Paranggaruda tidak langsung diterima, namun keputusannya diserahkan sepenuhnya kepada putrinya. Sebab yang berhak untuk memberi jawaban adalah Dewi Rayungwulan. Adipati Puspahandungjaya mempersilakan Patih Singapati serta tamu yang lain beristirahat dulu di tempat yang sudah disediakan. Sang Adipati minta waktu sehari semalam untuk menentukan keputusan dari putrinya.

Dewi Rayungwulan tampak tegang dan cemas. Kebimbangan mencekam sangat kuat jelas tersirat pada raut mukanya. Dewi Rayungwulan tidak segera menanggapi apa yang ingin dikehendaki orang tuanya, karena dalam hati sang putri tidak mau menerima pinangan itu.
Dewi Rayungwulan tidak ingin mempunyai seorang suami yangberperilaku tidak terpuji. Menurut sumber yang dapat dipercaya, Pangeran Josari mempunyai cacat fisik, watak yang sombong dan congkak. Setiap hari senang berfoya-foya menghamburkan uang negara, sementara sebagian besar rakyatnya tengah menderita. Adipati Puspahandungjaya dan Prameswari bisa memahami kecemasan hati putrinya, seraya menyetujui apapun keputusan yang ingin diambil Dewi Rayungwulan. Seandainya sang putri menolak, kedua orang tuanya tidak akan keberatan. Asal menolaknya secara halus, agar Adipati Yudapati maupun Pangeran Josari tidak merasa tersinggung sehingga dapat menimbulkan kemarahan. Sebab orang tua manapun tentu tidak tega membiarkan anaknya menjadi istri dari seorang lelaki yang budi pekerti dan perangainya tidak terpuji. 


Hati Dewi Rayungwulan merasa bahagia begitu mengetahui kedua orang tuanya tidak memaksakan kehendaknya. Pada saat yang tepat Dewi Rayungwulan akan mengemukakan jawaban yang sekiranya sangat berat untuk Pangeran Josari. Dewi Rayungwulan selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa memohon agar dapat menemukan jawaban untuk Pangeran Josari. Jawaban harus benar dan tepat, sebab salah memberi jawaban akan berdampak pada kelangsungan kehidupan dalam tangga- rumah.

Pangeran Josari

Pangeran Josari adalah anak tunggai Adipati Yudapati, penguasa Kadipaten Paranggaruda. Adipati Yudapati termasuk penguasa yang sangat disegani oleh para kawula negeri dan seiuruh rakyat di kadipaten Paranggaruda. Tanah dan wilayah Paranggaruda meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pengunungan Kendeng Utara yang berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Untuk melancarkan tugas-tugas pemerintahan Adipati Yudapati dibantu oleh para Punggawa Kadrp aten P aranggaruda yaitu : Singapati sebagai patih, Yuyurumpung penguasa wiiayah Kemaguhan, Ki Singabangsa di Kedalon, Ki Gagakpati di Tlogomojo, Ki Dandangwiring, Ki Kudasuwengi di Jembangan, dan Ki Sondong Majeruk. Mereka adaiah tokoh prajurit handal di Kadipaten Paranggaruda. Adipati Yudapati menaruh harapan besar kepada putra satu-satunya yaitu Pangeran Josari sebagai calon penggantinya sebagai penerus penguasa Kadipaten Paranggaruda.

Adipati Yudapati menyediakan empat abdi khusus untuk mengurusi Pangeran Josari. Kesehariannya segala permintaan Pangeran Josari kecil selalu dituruti. Mulai bangun tidur pagi sampai menjelang tidur malam. Semua kebutuhan dilayani oleh para abdi kadipaten. Para abdi antara satu dengan yang lain mempunyai tugas sendiri-sendiri yaitu bertugas merawat kamar, menyuapi setiap makan, memandikan setiap hari dan mengajak bermain-main. Pelayanan yang berlebih-lebihan mengakibatkan kehidupan Pangeran Josari kecil menjadi manja dan kerdil jiwanya. Ia tidak pemah merasakan penderitaan, lapar dan tidak mengerti susahnya hidup sehingga hidup ini dianggap indah terus. Apabila membutuhkan pada sesuatu tinggal minta dan saat itu pula para abdi siap melayaninya. Ketika sang Pangeran Josari usianya menjelangdewasa mulai tampak perilakunya yang kurang terpuji. Setiap hari senang menghambur-hamburkan uang untuk berfoya-foya, temperamental, dan berwatak sombong. Keangkuhan tersebut karena Pangeran Josari merasa anak yang seorang adipati kaya raya. keinginan Semua bisa jiwa dipenuhi karena mempunyai uang banyak. Dalam jiwa Pangerang Josari sudah terpatri semboyan uang adalah segalanya. Beberapa hari kemudian. Patih Singapati danpengiringnya tel ah tiba kembali di Kadipaten Paranggaruda. Mereka disambut dengan tidak sabar oleh Adipati Yudapati. Pangeran Josari dengan bertolak pinggang sangat angkuh ingin segera mendengar jawaban penguasa dari Carangsoka.

Patih Singapati dengan duduk bersimpuh di depan Adipati Yudapati melaporkan bahwa Adipati Puspahandungjaya menerima pinangan. Namun Dewi Rayungwulan minta pinangan syarat adalah seperangkat gamelan yang berbunyi sendiri. Apabila persyaratan dipenuhi maka Dewi Rayungwulan akan menerima pinangan Pangeran Josari dari Paranggaruda.
Pangeran Josari mendengar ucapan Patih Singapati, wajahnya mendadak merah padam. Persyaratan tersebut sulit diwujudkan, dan hanya bentuk penolakan secara halus. Pangeran Josari jengkel dan marah, tangannya mengepal danbergetar. Adipati Yudapati mengenal betul tabiat putranya yang pemah tidak mau bersusah payah bila menginginkan sesuatu. Maunya apa yang dikehendaki segera dipenuhi tanpa harus berjuang dan berkorban. Namun, Adipati Yudapati memang sangat menyayangi putera tunggalnya itu bahkan sangat memanjakannya dengan berlebihan. Adipati Yudapati segera memanggil para abdi yangi merupakan ahli dalam pencarian gamelan. Lalu, diperintahkan Yuyurumpung Kemaguhan dan Singapati untuk mencari hingga ketemu seperangkat gamelan yang dapat berbunyi sendiri. Setelah memberi salam hormat Yuyurumpung dan Singapati mohon diri melaksanakan tugas Sang Adipati Yudapati. Singapati dan Yuyurumpung seteiah menerima tugas dari SangAdipati Yudapati hatinya merasa was-was. Tugas tersebut dianggap sangat aneh dan berat untuk berhasil. Namun, tugas seberat apapun dari atasan itu tidak boleh ditolak. Mengenai berhasil dan tidak itu jangan dijadikan kendala. Yang penting setiap tugas harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan Patih Singapati dan Yuyurumpung mencari informasi tentang keberadaan dalang yang mempunyai gamelan seperangkat yang bisa berbunyi sendiri. Seluruh daerah Kadipaten Paranggaruda dikelilingi bahkan sampai ke kadipaten tetangga. Namun usaha yang keras tetap dijalankan hingga ditemukannya seperangkat gamelan sebagai syarat pinangan yang diminta oleh Dewi Rayungwulan.

Sementara para abdi memeras keringat mencari gamelan yang bisa berbunyi sendiri, pangeran Josari bersenang-senang dengan para sahabatnya. Berfoya-foya dan bersuka ria
dengan para dayang-dayang kadipaten, yang terpaksa menurutinya meskipun hatinya sangat tidak menerima, semua keinginan Pangeran Josari harus dituruti. Bila ada yang coba-coba membangkang maka tak segan-segan pangeran Josari bertindak kasar, sehingga para abdi banyak yang tidak kuat menerima perlakuan yang semena-mena.
 
DMCA.com
*Layanan ini disediakan oleh PT Globalj4v4 Sdn. | Halaman Awal ini juga disediakan oleh PT Globalj4v4 Sdn. | Semua layanan lain yang tidak memiliki tanda “*” akan menuju ke situs web pihak ketiga, yang kontennya mungkin tidak sesuai dengan undang-undang di wilayah Anda. Anda, bukan PT Globalj4v4 Sdn, bertanggung jawab penuh atas akses ke dan penggunaan situs web pihak ketiga.
Hak Cipta © 2020 PT Globalj4v4 Sdn (Co. Reg. BlogID. 2825584887500486077). Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Kampus Wong Sinting | Globalj4v4 | Globalw4r3 | Google