Headlines News :

Latest Post

Tampilkan postingan dengan label serat dewa ruci. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label serat dewa ruci. Tampilkan semua postingan

Aksara Jawa


Huruf atau carakan Jawa yakni ha na ca ra ka dan seterusnya merupakan sabda pangandikanipun) dari Tuhan YME di tanah Jawa.


A. Pembukaan Huruf Jawa
1. Huruf Ha
Berarti ‘hidup’, atau huruf berarti juga ada hidup, sebab memang hidup itu ada, karena ada yang menghidupi atau yang memberi hidup, hidup itu adalah sendirian dalam arti abadi atau langgeng tidak terkena kematian dalam menghadapi segala keadaan. 




Hidup tersebut terdiri atas 4 unsur yaitu:

  1. Api
  2. Angin
  3. Bumi
  4. Air
2. Huruf Na
Berari ‘nur’ atau cahaya, yakni cahaya dari Tuhan YME dan terletak pada sifat manusia.

3. Huruf Ca

Berarti ‘cahaya’, artinya cahaya di sini memang sama dengan cahaya yang telah disebutkan di atas. Yakni salah satu sifat Tuhan yang ada pada manusia. Kita telah mengetahui pula akan sifat Tuhan dan sifat-sifat tersebut ada pada yang dilimpahkan Tuhan kepada manusia karena memang Tuhan pun menghendaki agar manusia itu mempunyai sifat baik.

4. Huruf Ra
Berarti ‘roh’, yaitu roh Tuhan yang ada pada diri manusia.

5. Huruf Ka
Berarti ‘berkumpul’, yakni berkumpulnya Tuhan YMEyang juga terletak pada sifat manusia.

6. Huruf Da
Berarti ‘zat’, ialah zatnya Tuhan YME yang terletak pada sifat manusia.

7. Huruf Ta
Berarti ‘tes’ atau tetes, yaitu tetes Tuhan YME yang berada pada manusia.

8. Huruf Sa
Berarti ‘satu’. Dalam hal ini huruf sa tersebut telah nyata menunjukkan bahwa Tuhan YME yaitu satu, jadi tidak ada yang dapat menyamai Tuhan.

9. Huruf Wa

Berarti ‘wujud’ atau bentuk, dalam arti ini menyatakan bahwa wujud atau bentuk Tuhan itu ada dalam manusia yang setelah bertapa kurang lebih 9 bulan dalam gua garba ibu lalu dilahirkan dalam wujud diri.

10. Huruf La
Berarti ‘langgeng’ atau ‘abadi’, la yang mengandung arti langgeng ini juga nyata menunjukkan bahwa hanya Tuhan YME sendirian yang langgeng di dunia ini, berarti abadi pula untuk selama-lamanya.

11. Huruf Pa
Berarti ‘papan’ atau ‘tempat’, yaitu papan Tuhan YME-lah yang memenuhi alam jagad raya ini, jagad gede juga jagad kecil (manusia).

12. Huruf Dha
Berarti dhawuh, yiatu perintah-perintah Tuhan YME inilah yang terletak dalam diri dan besarnya Adam, manusia yang utama.

13. Huruf Ja
Berarti ‘jasad’ atau ‘badan’. Jasad Tuhan YME itu terletak pada sifat manusia yang utama.

14. Huruf Ya
Berarti ‘dawuh’. Dawuh di sini mempunyai lain arti dengan dhawuh di atas, karena dawuh berarti selalu menyaksikan kehendak manusia baik yang berbuat jelek maupun yang bertindak baik yang selalu menggunakan kata-katanya “Ya”.

15. Huruf Nya
Berarti ‘pasrah’ atau ‘menyerahkan’. Jelasnya Tuhan YME dengan ikhlas menyerahkan semua yang telah tersedia di dunia ini.

16. Huruf Ma
Berarti ‘marga’ atau ‘jalan’. Tuhan YME telah memberikan jalan kepada manusia yang berbuat jelek dan baik.

17. Huruf Ga
Berarti ‘gaib’, gaib dari Tuhan YME inilah yang terletak pada sifat manusia.

18. Huruf Ba
Berarti ‘babar’, yaitu kabarnya manusia dari gaibnya Tuhan YME.

19. Huruf Tha
Berarti ‘thukul’ atau ‘tumbuh’. Tumbuh atau adanya gaib adalah dari kehendak Tuhna YME. Dapat pula dikatakan gaib adalah jalan jauh tanpa batas, dekat tetapi tidak dapat disentuh, seperti halnya cahaya terang tetapi tidak dapat diraba atau pun disentuh, dan harus diakui bahwa besarnya gaib itu adalah seperti debu atau terpandang. Demikianlah gaibnya Tuhan YME itu (micro binubut).

20. Huruf Nga
Berarti ‘ngalam’, ‘yang bersinar terang’, atau terang/gaib Tuhan YME yang mengadakan sinar terang.

Demikianlah huruf Jawa yang 20 itu dan ternyata dapat digunakan sebagai lambang dan dapat diartikan sesuai dengan sifat Tuhan sendiri, karena memang seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa Jawa yang menggunakan huruf Jawa itupun merupakan sabda dari Tuhan YME.

Huruf atau carakan Jawa yakni ha na ca ra ka dan seterusnya merupakan sabda pangandikanipun dari Tuhan YME di tanah Jawa.

B. Penyatuan Huruf atau Aksara Jawa 20

1. Huruf Ha + Nga
Hanga berarti angan-angan.
Dimaksudkan dengan angan-angan ini ialah panca indra yaitu lima indra, seperti:
  • Angan-angan yang terletak di ubun-ubun (kepala) yang menyimpan otak untuk memikir akan keseluruhan keadaan.
  • Angan-angan mata yang digunakan untuk melihat segala keadaan.
  • Angan-angan telinga yang dipakai untuk mendengar keseluruhan keadaan.
  • Angan-angan hidung untuk mencium/membau seluruh keadaan.
  • Angan-angan mulut yang digunakan untuk merasakan dan mengunyah makanan.
2. Huruf Na + Ta
Noto, berarti ‘nutuk’.

3. Huruf Ca + Ba
Caba, berarti coblong (lobang) dan kata tersebut di atas berarti wadah atau tampat yang dimilki oleh lelaki atau wanita saat menjalin rasa menjadi satu; adanya perkataan kun berarti pernyataan yang dikeluarkan oleh pria dan wanita dalam bentuk kata ya dan ayo dan kedua kata tersebut mempunyai persamaan arti dan kehendak yaitu mau.

4. Huruf Ra + Ga
Raga, berarti ‘badan awak/diri’. Kata raga atau ragangan merupakan juga kerangka dan kehendak pria dan wanita ketika menjalin rasa menjadi satu karena bersama-sama menghendaki untuk menciptakan raga atau diri agar supaya dapat terlaksana untuk mendapatkan anak.

5. Huruf Ka + Ma
Kama, berarti ‘komo’ atau biji, bibit, benih. Setiap manusia baik laki-laki atau wanita pastilah mengandung benih untuk kelangsungan hidup; oleh karena itu di dalam kata raga seperti terurai di atas merupakan kehendak pria dan wanita untuk menjalin rasa menjadi satu. Karena itulah maka kata raga telah menunjukkan adanya kedua benih yang akan disatukan dengan melewati raga, dan dengan penyatuan kama dari kedua belah pihak itu maka kelangsungan hidup akan dapat tercapai.

6. Huruf Da + Nya
Danya atau donya atau dunia.
Persatuan kedua benih atau kama tadi mengakibatkan kelahiran, dan kelahiran ini merupakan calon keturunan di dunia atau (alam) donya; dengan demikian dapat dipahami kalau atas kehendak Tuhan YME maka diturunkanlah ke alam dunia ini benih-benih manusia dari Kahyangan dengan melewati penyatuan rasa kedua jenis manusia.

7. Huruf Ta + Ya
Taya atau toya, yaitu ari atau banyu. Kelahiran manusia (jabang bayi) diawali dengan keluarnya air (kawah) pun pula kelahiran bayi tersebut juga dijemput dengan air (untuk membersihkan, memandikan dsb); karena itulah air tersebut berumur lebih tua dari dirinya sendiri disebut juga mutmainah atau sukma yang sedang mengembara dan mempunyai watak suci dan adil.

8. Huruf Sa + Ja
Saja atau siji atau satu. Pada umumnya kelahiran manusia (bayi) itu hanya satu, andaikata jadi kelahiran kembar maka itulah kehendak Tuhan YME. Dan kelahiran satu tersebut menunjukkan adanya kata saja atau siji atau satu.

9. Huruf Wa + Da
Wada atau wadah atau tempat. Berbicara tentang wadah atau tempat, sudah seharusnya membicarakan tentang isi pula, karena kedua hal tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian timbul pertanyaan mengenai wadah dan isi, siapakah yang ada terlebih dahulu. Pada umumnya dikatakan kalau wadah harus diadakan terlebih dahulu, baru kemudian isi, sebenarnya hal ini adalah kurang benar. Yang diciptakan terlebih dahulu adalah isi, dan karena isi tersebut membutuhkan tempat penyimpanan, maka diciptakan pula wadahnya. Jangan sampai menimbulkan kalimat “Wadah mencari isi” akan tetapi haruslah “Isi mencari wadah” karena memang ‘isi’ diciptakan terlebih dahulu.

Sebagai contoh dapat diambilkan di sini: rumah, sebab rumah merupakan wadah manusia, dan manusia merupakan isi dari rumah. Jadi jelaslah bahwa sebenarnya isilah yang mencari wadah. Sebagai bukti dari uraian di atas, dapatlah dijelaskan bahwa: kematian manusia berarti (raga) ditinggalkan isi (hidup). Bagai pendapat yang mengatakan “wadah terlebih dahulu diciptakan” maka mengenai kematian itu seharusnya wadah mengatakan supaya isi jangan meniggalkan terlebih dahulu sebelum wadah mendahului meninggalkan. Hal ini jelas tidak mungkin terjadi, apalagi kalau kematian itu terjadi dalam umur muda dimana kesenangan dan kepuasan hidup tersebut belum dialaminya.

Demikianlah persoalan wadah ini dengan dunia, karena sebelum dunia ini diciptakan (sebagai wadah) maka yang telah ada adalah (isinya) Tuhan YME. Pendapat lain mengatakan kalau sebelum diadakan jalinan rasa maka keadaan masih kosong (awangawung). Tetapi setelah jalinan rasa dilaksanakan oleh pria dan wanita maka meneteslah benih dan apabila benih tadi mendapatkan wadahnya akan terjadi kelahiran. Sebaliknya kalau wadah tersebut belum ada maka kelahiran pun tidak akan terjadi, yang bearti masih suwung atau kosong. Meskipun begitu, “hidup’ itu tetap telah ada demikian pula “isi’, dan dimanakah letak isi tadi ialah pada ayah dan ibu. Maka selama ayah dan ibu masih ada maka hidup masih dapat membenihkan biji atau bibit.

10. Huruf La + Pa
Lapa atau mati atau lampus. Semua keadaan yang hidup selalu dapat bergerak, keadaan hidup tesebut kalau ditinggal oleh hidup maka disebut dengan mati. Sebenarnya pemikiran demikian itu tidak benar, akan tetapi kesalahan tadi telah dibenarkan sehingga menjadi salah kaprah. Sebab yang dikatakan mati tadi sebenarnya bukanlah kematian sebenarnya, akan tetapi hidup hanyalah meninggalkannya saja yaitu untuk mengembalikan semua ke asalnya, hidup kembali kepada yang menciptakan hidup, karena hidup berasal dari suwung sudah tentu kembali ke suwung atau kosong (awangawung) lagi. Akan tetapi sebenarnya dapatlah dikatakan bahwa suwung itu tetap ada sedangkan raga manusia yang berasal pula dari tanah akan kembali ke tanah (kuburan) pula.

Sosok Ajisaka

Sebuah Perenungan tentang Sosok AjisakaKarena kehendak Allah jugalah terjadinya manusia, hewan, pepohonan, kutu walang ataga, yang kesemuanya itu terjadi serta hidup dan dapat dilihat secara nyata wujudnya (ana rupa-wujude). Atas kehendak Allah tersebut yang luluh pada diri manusia, menyebabkan manusia memiliki keluhuran, keimanan, bawa laksana, welas asih, keadilan, ketulusan, eling lan waspada. Kesemuanya itu memberikan manusia kemuliaan (kamulyan) dan kesejahteraan (karahayon). Rasa tersebut juga menghubungkan kehidupan manusia dengan Allah Sang Maha Pencipta.

Ca-ra-ka sendiri pengertiannya adalah memuliakan Allah. Sebab tanpa ada bawana seisinya, apalagi tanpa adanya manusia, tentu tidak akan ada sebutan Asma Allah. Tanpa adanya caraka, tentu pula Hana-Ne tidak akan disebut Hana. Sementara makna Da-ta-sa-wa-la dapat dijelaskan maknanya sebagai berikut. Adanya yang ada (anane dumadi) sumber asalnya adalah Satu, yaitu Dzat Allah. Dari yang kasar dan halus (agal lan alus), wingit (penuh misteri) dan gha’ib, pasti pada dirinya melekat setidaknya secercah Dzat Allah (kadunungan sapletheking Dzat Allah). Artinya, pancaran kun fayakun itu tidak hanya mencipta bawana seisinya, namun terus-menerus memancarkan kasih, mencermati dan meliputi terhadap seluruh kehidupan (ngesihi, nyamadi lan nglimputi sakabehing dumadi).

Allah menciptakan bawana seisinya, khususnya dalam menciptakan manusia, bukan tanpa rencana, namun dengan keinginan dan tujuan yang nyata dan pasti. Titah Allah tidak dapat diingkari dari apa yang sudah ditetapkan menjadi kodrat (pepesthen). Demikian juga seluruh makhluk hidup di dunia (saobah-mosiking dumadi) pasti terkena keterbatasan dan pembatasan (wates lan winates), seperti halnya sakit dan kematian. Namun selain itu, juga melekat dalam dirinya (kadunungan) kelebihan satu dari yang lain, saling ketergantungan, lebih melebihi (punjul-pinunjulan) dan saling hidup-menghidupi (urip-inguripan).

Baik dalam rupa, wujud, warna dan sosoknya (balegere dumadi), manusia dapat dikatakan sempurna tiada yang melebihi (kasampurnaning manungsa). Terciptanya manusia yang ditakdirkan (pinesthi) menjadi Wali Allah, menandakan bahwa hanya sosok manusia sajalah yang mampu menjadi Warangka Dalem Yang Maha Esa (wakil Tuhan di dunia). Kelahiran manusia dalam wujud raga-fisik dan bentuk badan itu merupakan sari-patining bawana. Maka, menjadi keniscayaan jika manusia mampu menggunakan dayanya guna mengungkap rahasia alam.

Kelahiran hidup manusia, merupakan wujud dari sukma, yang dalam proses mengada dan menjadi (being and becoming) terbentuk dari sari-pati terpancarnya Dzat Allah (dumadi saka sari-pati pletheking Dzat Allah). Oleh sebab itu, manusia mampu mengkaji dan menelusuri, menggali dan mencari serta meyakini dan mengimani adanya Allah (nguladi, ngupadi, ngyakini lan ngimani marang kasunyataning Allah), sebab sukma sejati manusia itu berasal dari Sana (sabab suksma sajatining manungsa asale saka Kana). Selanjutnya Pa-dha-ja-ya-nya, maknanya bahwa sawenehing kang dumadi atau apa pun dan siapa pun tidak akan dapat hidup sendiri, sebab ia akan senantiasa menjalani hidup dan kehidupan bersama, sebagaimana keniscayaan
fitrahnya, bahwa: panguripaning dumadi tansah wor-ingaworan -dalam kehidupan manusia selalu saling pengaruh mempengaruhi— selain juga punya ketergantungan satu sama lain. Begitu juga hidup manusia, bahwa perangkat badaning manungsa tidak mungkin secara parsial dapat hidup sendiri-sendiri. Artinya, ana raga tanpa sukma/nyawa tidak mungkin bisa hidup, tetapi ana sukma tanpa raga juga tidak bisa dikatakan hidup, karena tidak bisa bernafas.

Jika seluruh anggota badan makarti semua, baru disebut urip kang sejati. Daya hidup (sang gesang) akan melekat (built-in) pada setiap diri-pribadi seseorang, yaitu rupa, wujud berikut segala tingkah-lakunya. Dapat dikatakan daya hidup akan luluh pada dirinya (sing kadunungan). Semua yang berwujud dan hidup pasti bakal tarik- enarik, saling bersinergi (daya-dinayan), sehingga menimbulkan daya-daya, seperti: daya
adem-panas, positif-negatif, luhur-asor, padhang-peteng, dan kesemuanya itu senantiasa berputar silih berganti (cakra manggilingan).

Semua inti dari interaksi tersebut ada pada diri manusia, di mana inti tadi sebenarnya telah terserap dari badan manusia sendiri. Maka dapat disimpulkan, bahwa obah-mosiking jagat/alam, juga terjadi pada obah-mosiking manungsa secara pribadi. Di mana ketika terjadi gonjang-ganjinging jagat/ alam, kejadian pada manusia juga demikian adanya. Ketika manusia bertingkah-laku angkara-murka, merusak dan sebagainya, jagat/alam juga berada dalam ancaman bahaya, misalnya musibah banjir, lahar, tanah longsor, banyaknya kecelakaan dan sebagainya.

Makanya, manusia harus selalu ingat akan kewajiban pokoknya, yaitu: Hamemayu-Hayuning Bawana. Artinya, kanthi adhedhasar sarana sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu sebetulnya manusia dapat nyidhem atau menghindari kerusakan alam semesta, selain juga bisa nyirep dahuruning praja (memadamkan kerusuhan negara).

Ikatan manusia dengan Allah Swt., berupa keyakinan dan kepercayaan yang diwujudkan dalam panembah lan pangesti seperti ditulis dalam tuntunan kalam, yang disebut agama, mewajibkan manusia manembah (sembahyang, samadi) hanya tertuju kepada Yang Satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Ketika manusia manembah melalui sembah rasa, harus dengan seluruh sukma (roh, moral) kita, bukan badan raga yang penuh dengan kotoran (nafsu duniawi). Sebetulnya sembah raga itu hanya sarengating lahir, agar supaya umat manusia taat dan manembah marang Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Manusia itu paling dipercaya ngembani asmaning Allah, maka manusia harus menduduki rasa kemanusiaannya. Untuk itu, manusia harus bisa menempatkan diri pada citra keTuhanannya. Allah telah menciptakan apa saja untuk manusia, jagat sak isine, tinggal bagaimana manusia bekti marang Allah Kang Maha Esa. Tergantung manusianya, seberapa besar tanggung jawabnya marang Kang Maha Kuasa, sebab bawana beserta seluruh isinya adalah menjadi tanggung jawab manusia.

Yang terakhir, Ma-ga-ba-tha-nga dapat dijelaskan maknanya, kurang-lebih sebagai berikut. Manungsa kang kalenggahan wahyuning Allah, manungsa kang manekung ing Allah Kang Maha Esa dadi daya cahyaning Allah lan rasaning Allah luluh pada sukma manusia. Jagat (alam) tergantung pada sejarah umat manusia yang disebut awal dan akhir, juga menjadikannya jantraning manungsa. Hakikatnya gelaring alam/jagat itu, juga gelaring manungsa. Jadi di dunia ini ora bakal ana lelakon, ora ana samubarang kalir, kalau tidak ada gerak kridhaning manungsa. 
Setelah ada manusia, sakabehing wewadi, sakabehing kang siningit lan sinengker wus kabukak wadine –semua telah jelas, semua telah menjadi nyata.

Wis ora dadi wadi, amerga wis tinarbuka;
Wis ora ana wingit, amerga wis kawiyak;
Wis ora ana angker, amerga wis kawuryan.

Artinya, kalau semua sudah kamanungsan/konangan —kalau semua telah menjadi kenyataan— berarti tugas kewajiban manusia di dunia telah selesai. Sudah sampai pada perjanjian pribadining manungsa dan sudah titi mangsa harus pulang marang pangayuning Pangeran. Dari tidak ada menjadi ada (ora ana dadi ana) menjadi tidak ada lagi (ora ana maneh). Artinya, sakabehing dumadi yen wis tumekaning wates kodrate, mesti bakal mulih marang mula-mulanira lan sirna. Awal-akhire, artinya sangkan paraning dumadi wis khatam/tamat. Kalau umat manusia sudah tidak ada lagi -kang dadi asmaning Allah-juga tidak akan disebut (kaweca), ana.

Demikianlah, kurang lebih hasil perenungan saya selama ini dalam menggali makna filosofis yang terkandung dalam ajaran Aji Saka: “Ha-na-ca-ra-ka”. Betapa pun kita mengagungkan ke-adiluhung-an karya sastra Jawa, seperti Serat Wulangreh, Serat Wedhatama, atau pun filsafat Ha-na-ca-ra-ka, apabila tanpa penghayatan dan meresapi nilai-nilai substansial yang terkandung di dalamnya serta usaha mengembangkannya, tentulah tidak akan bermakna bagi kehidupan sastra Jawa masa kini dan masa depan, apalagi terhadap budaya Indonesia Baru yang harus kita bangun.

Sastra Jawa mengandung wulang-wuruk kejawen, yang jika dilakukan penelitian lebih suntuk akan bisa digali ajaran kehidupan yang mampu memberi pencerahan pikir dan rasa untuk direnungkan di malam hari. Kesemuanya itu seakan meneguhkan makna peninggalan Aji Saka yang diungkapkan Sri Susuhunan Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi: “… Nora kurang wulang-wuruk, tumrape wong tanah Jawi. Laku-lakuning ngagesang, lamun gelem anglakoni. Tegese aksara Jawa iku guru kang sejati”.

Babad Caringan

Sarasilah Caringin ini adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin yang sejarahnya telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini dan kehadirannya dirasakan melalui pengucapan nama penuh hormat serta diketahui melalui segala petilasan peninggalan mereka Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara dari trah Kalijaga dan Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi dan tidak ketinggalan pula para pahlawan perkasa dari Mataram disertai dengan banyak para tokoh dari wetan lainnya Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin yaitu jejak dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di kecamatan ini. Dari trah Kalijaga datanglah Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlangbuwana yang menikah dengan Setiyadiningsih atau Hadityaningsih yaitu putri yang di petilasan Cileungsi disebut Kembang Cempaka Putih dan pada petilasan Babakan diberi gelar Dewi Kembang Kuning maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai Elang Bangalan yang telah datang dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur.

Kemudian daripada itu Elang Bangalanpun menurunkan empat orang anak yang tertua adalah Arya Sancang di Garut-Pameungpeuk diikuti oleh Eyang Badigul Jaya Pancawati, Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati maka ketiga anak yang lebih muda itu turut menjadi cikal bakal Caringin serta meninggalkan kenangan di Pasir Karamat yang diluhurkan.

Anak tertua Eyang Badigul Jaya adalah Ayah Iming, yaitu Kyai Haji Sulaiman yang makamnya masih dapat ditemukan di Kebun Tajur Anak yang kedua dinamakan Umaenah, yaitu istri Eyang Ranggawulung atau Rangga Agung maka suaminya itulah yang menjadi leluhur di Cimande-Tarik Kolot Anak yang ketiga dinamakan Romiah yang dinikahi oleh Eyang Buyut Umang, yaitu sebagaimana ia disebut di Caringin, karena di Cinagara ia disebut Aki Degle adapun Eyang Buyut Umang itu adalah putra Ki Kastiwa, cucu Ki Kaswita, cicit Suwita, dan turunan pahlawan Jaka Sembung, yaitu suami Roijah gelar Bajing Ireng sedangkan Eyang Buyut Umang sendiri juga telah menurunkan dua orang anak, yaitu Aki Eming yang dipusarakan di makam Gede di Tonggoh dan Aki yang dipusarakan di Cipopokol Hilir, Pasir Muncang Selanjutnya, anak keempat Badigul Jaya adalah Samsiah, yang menikah dengan Aki Kartijan dan anak kelima adalah Amsiah yang menikah dengan Bayureksa yang disebut juga Reksabuwana, yaitu putra Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Mataram ialah pahlawan perkasa yang petilasannya terdapat di Tanjakan Ciherang maka Bayureksa dan Amsiah menurunkan Ki Ranggagading dan Ki Kumpi yang kedua-duanya dimakamkan di kawasan Cigintung-Caringin Akhirnya, anak kelima Aki Badigul Jaya adalah ibu Esah, yang menikah dengan Aki Bangala yaitu putra Aki Jepra atau Ki Kartaran, dan cucu Aki Kahir, tokoh dunia persilatan.

Selanjutnya, dari trah Raden Rakhmatullah Sunan Ngampel Denta diturunkanlah Ki Karmagada yang menurunkan Ki Karmajaya, yaitu ayahanda Ki Kartawirya yang berasal dari Jampang-Surade dan telah datang ke Lemah Duhur, untuk menetap di Legok Antrem adapun Ki Kartawirya itu disebut pula Haji Akbar ia menurunkan Marunda dan Marunda menurunkan Murtani dan seterusnya Murtani menurunkan Pitung, jago silat dari Rawa Belong.

Diriwayatkan pula bahwa Ki Kartawirya memiliki istri bernama Nyi Antrem yang namanya telah diabadikan dalam nama Legok Antrem sasaka kami Maka Nyi Antrem itu pun berasal dari satu keturunan dengan suaminya sebab leluhurnya, yaitu Sekh Japarudin, juga berasal dari trah Ngampel Denta Sekh Japarudin menurunkan Ki Kartaji dan Ki Kartaji menurunkan Aji Tapak Ireng selanjutnya Aji Tapak Ireng menurunkan lima orang anak Pertama adalah Aji Wisa Ireng yang juga disebut Haji Aleman Kedua Aji Wisa Kuning, ketiga mbah Ambani, keempat Ki Anom dan kelima ibu Ucu yang diperistri oleh Ayah Haji Abdul Somad, leluhur di Cimande-Tarik Kolot Keluarga dan turunan inilah yang menjadi asal-usul masyarakat di Curuk Dengdeng maka dari Aji Wisa Irenglah ibu Antrem diturunkan ke dunia yaitu ibu Antrem yang telah dipusarakan di kawasan Legok Antrem.

Adapun Ki Karmagada juga menurunkan anak lelaki adik Ki Karmajaya yang kemudian menurunkan Ki Jaka Kadir, yaitu tokoh yang dipusarakan di Leuweung Ki Maun, yang terletak di atas Legok Antrem Seterusnya Ki Jaka Kadir menurunkan Ki Jaka Bledek, leluhur kampung Bendungan di Kampung Tajur Demikianlah itu tentang para leluhur dan pendahulu yaitu mereka semua yang berasal dari trah Ngampel Denta.

Seterusnya sebagaimana diriwayatkan oleh mereka yang mengerti sejarah mengalir pula darah leluhur Siliwangi pada diri para leluhur di Caringin mewarnai jalan kehidupan masyarakat dan memancarkan kesejatian rasa membangkitkan kesucian sikap dan menaikkan kebajikan laku Maka inilah keluarga para jawara yang menghubungkan Siliwangi dan Caringin menghubungkan masa lalu dan masa kini serta mengarahkan masa depan.

Sang Ratu Jaya Dewata Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ratu Subangkarancang dan menurunkan tiga orang anak, yaitu dua orang lelaki dan seorang wanita anak yang tertua adalah Pangeran Arya Santang, Panembahan Cakrabuwana anak yang kedua adalah Nyi Rara Santang ibunda Syarif Hidayatulah dan anak yang ketiga adalah Kian Santang atau Prabu Sagara atau Sunan Rakhmat Suci di gunung Godog yang disebut Sekh Kuncung Putih di Cibadak-Pangasahan maka ia itulah leluhur seorang tokoh bernama Elang Sutawinata.

Adapun Elang Sutawinata yang disebut di atas menurunkan tujuh orang anak pertama adalah Jaka Sembung yang menikah dengan Roijah gelar Bajing Ireng kedua adalah Jaya Perkosa yang menjadi patih Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang seorang istrinya bernama Mulantri dan salah seorang anaknya pernah hadir di Caringin yaitu yang disebut Aki Palasara, disebut Aki Kabayan, disebut Ki Jambrong yang memiliki petilasan di Kebon Tajur, di atas Legok Antrem, lalu di Legok Jambrong dan juga memiliki petilasan di Legok Batang, di kawasan Citaman, di desa Tangkil Selanjutnya anak ketiga Elang Sutawinata adalah Aki Kahir yang nama-nama dan petilasan-petilasannya akan diuraikan di bawah anak keempat adalah Eyang Ranggawulung leluhur di Tarik Kolot anak kelima Aki Dato di Bantar Jati dan Pondok Pinang anak keenam Sekh Sake di petilasan di Citeureup dan anak ketujuh Pangeran Papag yang menikah dengan Sari(w)uni, putri Ki Hambali.

Sembilan nama dan sembilan petilasan dimiliki anak ketiga Elang Sutawinata Aki Kahir di Bogor-Tanah Sareal, Sekh Majagung di Cirebon Pangeran Jayasakti di Batu Tulis, Gentar Bumi di Pelabuhan Ratu Aki Euneur di Pangasahan, Cikidang, Cipetir dan Eyang Kartasinga-Wirasinga di Tarik Kolot Aki Dalem Macan di Citeureup, Eyang Pasareyan di Cidahu, Cibening, Ciampea dan yang kesembilan dan terakhir adalah Ki Jambrong di Cirebon.

Maka Aki Kahir menurunkan anak lelaki bernama Ki Kartaran yang berganti sebutan menjadi Ki Jepra sekembalinya dari pertempuran di Tegal Jepara ia dipusarakan pada dua petilasan di dua tempat sebuah di Kebun Raya Bogor dan sebuah lagi berupa makam putih di Cimande Hilir Ia menurunkan empat orang anak, seorang lelaki dan tiga orang wanita yang tertua adalah Aki Bangala yang menikah dengan uwak Esah yang kedua dalah Nini Sarinem di Ciherang-Limus Nunggal disebut Sri Asih di Cirebon dan Nini Sarem di Cileungsi suaminya adalah Kyai Ajiwijaya dari Plered-Purwakarta yang ketiga adalah Nini Sayem di Ciherang-Limus Nunggal yang menikah dengan Ki Puspa dari Cirebon yaitu tokoh yang dihubungkan dengan Kuda Puspagati dari petilasan Pasir Kuda di Lemah Duhur dan yang keempat adalah Nini Sarimpen di Garut yaitu istri Banaspati, seorang panglima Panembahan Sabakingkin dari Banten.

Selanjutnya dikisahkan pula bahwa Rangga Wulung, anak keempat Elang Sutawinata menurunkan lima orang anak yang masing-masing disebut sebagai berikut:

Aki Ondang, Aki Buyut, Aki Anom, Aki Suma dan Aki Ace dan diriwayatkan pula bahwa ketika Eyang Rangga Wulung memasuki Caringin ia diiringi oleh Ajengan Kuningan dan Ki Age yang keduanya dimakamkan di Kebun Tajur, di sebelah atas Legok Antrem Kemudian daripada itu berniatlah kami kini untuk mengurutkan garis keturunan Arifin yaitu seorang rekan pengawas di Bina Kertajaga Siliwangi Anom baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibundanya.

Para leluhur dari pihak ibunya adalah sebagai berikut:

Elang Sutawinata menurunkan Ranggawulung, yang menurunkan Ki Ace, yang kemudian menurunkan Ayah Haji Abdul Somad, yang kemudian menurunkan Haji Ajid, yang menurunkan Hajjah Kuraisin, istri Ki Lurah Uji, yang menurunkan ibu Enen, anak angkat Haji Atap, istri bapak Ubeh Subandi.

Sedangkan para leluhur dari pihak ayahnya adalah sebagai berikut:

Elang Sutawinata menurunkan Aki Kahir, yang menurunkan Ki Jepra, yang kemudian menurunkan Nini Sayem di Limus Nunggal Selanjutnya Nini Sayem menurunkan Ki Rasiun, yang menurunkan Ki Sarian, yang menurunkan Ki Jaian dan Ki Jaiin Seterusnya Ki Jaiin menurunkan Ki Haji Muat yang menurunkan Ki Kaeji Haji Akhmali, yang dahulu memiliki Legok Antrem dan juga mendirikan persatuan pencak silat Hibar Karuhun Maka Haji Akhmali itu dahululah yang membawa pengaruh Tarik Kolot ke sekitar desa Cikalang dan dia adalah ayah Ki Haji Barnas, bapak Ubeh Subandi dan adik-adiknya Selanjutnya, dari Cikalang di desa Caringin kami mengalihkan uraian ke pemakaman tua di desa Cinagara, yang terletak dibawah pohon rindang di situ disemayamkan Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan, istrinya Seseorang meriwayatkan kepada kami tentang Mbah Dalem yang dikatakan berasal dari Jawa Timur dan disebut dengan nama Eyang Adeg Daha tetapi seseorang lainnya mengisahkan silsilah Mbah Dalem sebagai berikut:

Dari trah Brawijaya, melalui trah Kalijaga diturunkan Raden Tresna yang disebut juga Pandewulung dari Kudus Ia menurunkan Sekh Japarudin dari Mataram yang menurunkan Sekh Sekh Abdul Muhi dari Pamijahan yang selanjutnya menurunkan Sekh Mohammad Abdul Sobirin, yaitu Mbah Dalem Cinagara pepunden masyarakat di Dukuh Kawung.

Demikianlah itu Sarasilah Caringin sebagaimana telah diuraikan oleh Ki Jumanta dari Cikodok, yang sangat tekun mendalami sejarah sekarang diurutkan pula nama-nama tempat dan desa tempat para Karuhun di pusarakan dalam damai.

Di Lemah Duhur dan Pancawati:

Eyang Kartasinga, Ki Sarian dan Ki Rasiun di Tarik Kolot.

Eyang Ranggawulung dan putra-putranya, beserta ayah Haji Abdul Somad di Tarik Kolot.

Eyang Badigul Jaya, ayah Ursi dan Eyang Ragil di Pancawati.

Eyang Rasiyem di Legok Mahmud.

Aki Anyar dan Nini Siti Mastiyah di Tanjakan Saodah.

Pangeran Jayakarta, putra Wijayakrama, yang memiliki petilasan di Pulo Gadung, berputra Eyang.

Sagiri, yang petilasannya terdapat di Bojong Katon.

Eyang Bangalan di Cikodok, Kampung Legok.

Ki Jaka Kadir dan Ki Jaka Bledek di Legok Antrem.

Nyi Antrem dan Ki Kartawirya di Legok Jambrong.

Ajengan Kuningan, Haji Sulaiman ayah Iming, uwak Esah anak Badigul Jaya, Aki Age, Setyawati Kusumah dari Mataram dan Ki Jambrong anak Jaya Perkosa, semuanya di Kebun Tanjur.

Di Cimahi Jaya:

Tidak ada yang tercatat telah dipusarakan di tempat ini.

Di Pancawati:

Aki Ariyam dan Ki Suwita di Legok Nyenang.

Di Ciherang Pondok:

Nini Amsiah di tengah kawasan desa.

Haji Abdul Kohar atau Mbah Ageng di perbatasan Ciawi.

Nini Sarinem di Blitung-Cikeretek.

Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong di Cibolang.

Di Muara Jaya:

Batara Kresna, Aki Arya Kusuma di Rawayan.

Adipati Wirasembada di Kampung Nyenang, dan mbah Muhi.

Di Pasir Muncang:

Aki Wirakerta dari Kuningan, Nini Antri, putri Ki Anyar, cucu Sekh Asnawi di Cipopokol Girang.

Aki Aliyun di Cipopokol Hilir.

Suryadiningrat, cucu Sekh Malik Ibrahim di Ciburial.

Di Cinagara:

Raden Suryapadang di Kampung Curuk Kalong.

Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan di Dukuh Kawung.

Di Tangkil:

Aki Degel, Haji Muid, dan Ni Jabon, istri Suryadiningrat di Kampung Loji.

Nini Rasa dan Ki Jambrong di Legok Batong, yang juga disebut Aki Palasara.

Di Pasir Buncir:

Batara Karang atau Pangeran Jayataruna dari Ponorogo.

Di Ciderum:

Bango Samparan dari Ponorogo, kakak dalang Asmorondono, dan Ki Kastiwa.

Di Caringin:

Galuh Pakuan atau Walasungsang atau Cakrabuwana; Ki Kartaji; Aji Tapak Ireng; Aji Wisa Ireng, dan Aji

Wisa Kuning di Kampung Curuk Dendeng.

Ki Umang, Aki Ranggading, dan Ki Kumpi di Cigintung.

Di Cimande Hilir:

Reksabuwana atau Bayureksa di tanjakan Ciberang, dan Eyang Bangala.

Demikianlah selesai kami urutkan

sarasilah, nama tokoh dan petilasan di Caringin

Babad Caringin

Ucapkanlah Asma Yang Maha Agung di Pasir Karamat kagumilah alam pada batu besar di Pancawati hormatilah peninggalan yang sangat tua di Pasir Kuda bersemadilah pada goa dengan air terjun di jurang Citaman pergilah menapak tilas kelima tempat Siliwangi di sepanjang Cisalada hingga ke Curuk Merot pelajarilah warisan Cimande pada guru yang rendah hati Kunjungilah Bumi Kawastu untuk merundingkan perjuangan datanglah ke Legok Antrem untuk mempererat persaudaraan dan dengarkanlah dengan teliti isi kisah babad Caringin yaitu Caringin Kurung dari masa lalu dan Caringin Kurung dari masa yang akan datang Kemudian dengan tekad membaja dan semangat membantu negara bersama-sama mengucapkan manggala, sebagaimana telah disusun di Sasaka Antrem:

“Kertajaga Bumi Kawastu, Mugi rahayu di Legok Antrem, Mugi jaya di Tegal Laga, Mejangkeun teras hibar Karuhun”

Semoga semua rela menata dengan jujur, Semoga memperoleh harta rohani dalam bejana budi pekerti yang mendatangkan ketentraman, yang mendatangkan kesejahteraan.

Inilah riwayat babad Caringin, babad yang telah disampaikan dari yang tua kepada yang muda:

Dari ketinggian di Sasaka Jati Pasir Karamat memandang ke bumi Pakuan memohon dan memperoleh terang batin: “Surya Padang Caang Narawangan” menghargai dengan hormat Bukit Baduga di Rancamaya menyaksikan dengan kagum Mandala Keratuan di Batu Tulis melayangkan pikiran ke Watu Gigilang, yang kini terletak di negeri Banten meneliti perjalanan sejarah di dataran yang berada di antara kedua gunung.

Di sini pernah terjadi gejolak dan gemuruh peperangan ketika terdengar kabar berlangsungnya perang antara Pajajaran dan Banten juga ketika kemudian tentara Banten meliwati daerah menuju Cikundul untuk menyerbu Begitu pula para prajurit, perwira dan tokoh-tokoh persilatan yang turut mengalami api perubahan jaman dan bergantinya masa; seterusnya menanamkan ciri dan corak keperkasaan ketika bermukim di Caringin membanggakan keberanian dan kejantanan di samping ketakwaan dan kesalehan yaitu semangat keprajuritan sebagaimana terkandung dalam sasmita-kata:

“Bojong Katon Pasir Bedil Lemah Duhur Pangapungan Pancawati Denda”

Ratusan tahun yang lalu berdiri sebuah tangsi tentara Mataram yaitu di tempat yang sekarang disebut Pasar Caringin yaitu pada jalan yang menuju ke Maseng, Pasir Bogor, lalu Cihideung dan Kota Bogor Jauh sebelum jalan mulai menanjak dan berbelok-belok di situlah bersemayam Tumenggung Wiranegara pemimpin pasukan dari wetan yang gagah perkasa yang sedang berusaha keras menahan pengaruh dari kota di utara sebagai perwira Mataram dan sebagai kusuma bangsa sebagai tokoh perjuangan yang tak lelah berkarya.

Kapan dan bagaimana para perwira Mataram tiba tentunya ditanyakan peristiwanya oleh banyak orang walaupun benar dan tidaknya itu masih sulit ditentukan tetapi beberapa bukti menunjukkannya sebagai kemungkinan.

Pada tahun 1628 dan 1629 tentara Mataram dan Sunda datang menyerbu kedudukan Belanda di Negeri Betawi pada kedua peristiwa itu mereka akhirnya dipukul mundur Karena kalahnya persenjataan dan terbakarnya gudang-gudang makanan ingin kembali ke timur jalan laut terhalang armada kompeni maka terpaksa mengambil jalan darat di sepanjang pegunungan tengah pada peristiwa itulah mereka meninggalkan nama dan bekas.

Rawa Bangke tempat gugurnya ribuan pasukan Matraman tempat mereka bermukim beberapa lama Ragunan yang bukan tidak mungkin berasal dari nama Wiragunan lalu adanya beberapa makam dan petilasan Kuno di Caringin seperti Bayurekso-Reksobuwono di tanjakan Ciherang ia di pusarakan dan ia disebut sebagai anak Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Kartasura.

Kembali kepada periwayatan babad Caringin Kurung katanya tangsi tentara Mataram itu dikurung tembok dan di dalamnya ditanam pohon Caringin atau Beringin yang dengan demikian melahirkan nama Caringin Kurung Menurut kisahnya tempat itu pernah digadaikan kepada Belanda yang menolak untuk menyerahkan kembali ketika hendak ditebus karena itu muncul sengketa yang berkepanjangan yang akhirnya pecah menjadi suatu pertempuran panjang.

Semua kekuatan pribumi baik yang gaib maupun nyata dikerahkan untuk merebut Caringin Kurung dan mengembalikan hak Wiranegara dari kampung Gembrong di belakang Maseng Arya Wiryakusuma membantu juga Suryakancana yang di luhurkan di kabupatian Bogor di Pasir Muncang-Muara Jaya tegak berdiri Batara Kresna Ki Kartaji, Aji Tapak Ireng dan Aji Wisa Ireng di Curuk Dengdeng tidak ketinggalan pula Galuh Pakuan yang dihadirkan untuk memperkuat seluruh pasukan-pasukan pribumi Jaka Kadir dan Jaka Bledek menahan jalan di Legok Antrem Eyang Bangala di Cimande Hilir, Ranggawulung di Pancawati serta Aki Ranggagading dan Ki Kumpi di Cigintung-Caringin hanya satu tokoh pribumi memilih untuk memihak Belanda yaitu Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong, di Cikeretek-Cibolang Dalam adu senjata di hibar Caringin pada medan laga di bumi Pakuan itu karena kehendak Yang Maha Kuasa pasukan pribumi tak berhasil mencapai maksudnya Bersama dengan perjalanan waktu yang mengikis dunia kebendaan lenyap pula tempat dilingkup tembok dimana terdapat pohon beringin itu tetapi rupanya tetap dikenang lalu dilontarkan ke masa depan dijadikan ramalan melalui kata-kata orang tua :

“Lamun geus ngadeg Caringin Kurung, didieu bakal rame, didieu bakal makmur”

Demikianlah babad Caringin Kurung menurut penuturan Ki Jumanta benar tidaknya kiranya hanyalah Tuhan yang mengetahui tetapi satu hal saja hendaknya jangan dilupakan oleh para pewaris ini adalah tanah perjuangan, tanah keperwiraan dan tanah keperkasaan Ini adalah tanah orang yang beribadah, bekerja keras dan membangun kemuliaan Karena itu bangkitlah untuk Caringin, untuk tanah air dan untuk masa depan.

Serat Chentini

Ing ngandhap punika ka-aturaken tetedhakan purwakanipun Serat Centhini, sinawung ing sekar Sinom

1. Sri Narpatmaja Sudibya, talatahingnusma Jawi, Surakarta Hadiningrat, hagnya ring kang wadu Carik,
Sutrasna kang kinanthi, mangunreh cariteng dangu, sanggyaning kawruh Jawa, hingimpun tumrap
kakawin, mrih tan kemba karya dhangan kang miyarsa.

2. Lajere kang cinarita, laksananing Jayengresmi, ya She Adi Amongrogo, atmajeng njeng Sunan Giri,
kontap janma linuwih, Oliya Wali Mujedub, peparenganing jaman, njeng Sultan Agung Matawis,
tinengeran Serat Suluk tambangraras.

3. Karsaning Sang Narpatmaja, babon pangawikan jawi, jinereng dadya carita, sampating karsa marengi,
Nemlikur Saptu Paing, lek Mukharam je warseku, mrakeh Hyang Surenggana, Bathara Yama Dewari,
amawulu wogan su-ajag sumengka.

4. Panca-sudaning Satriya, wibawa lakuning geni, windu adi mangsa sapta, sangkala angkaning warsi,
paksa suci sabda ji ( 1742 ) ingkang pinurwa ing kidung, duk Keraton Majalengka, Sri Brawijaya
mungkasi, wonten Maolana saking nagri Jedah.

5. Panengran She walilanang, praptanira tanah jawi, kang jinujug Ngampeldenta, pinanggih sang maha
resi, areraosan ngelmi, sarak sarengat njeng rosul, nanging tan ngantya lam, linggar saking
Ngampelgadhing, ngidul ngetan anjog Nagri Belambangan.

Serat Centini

Serat Centhini, sebagaimana kita tahu, ditulis oleh sejumlah pujangga di lingkungan Keraton Surakarta
yang diketuai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunagara III, putra mahkota Sunan
Pakubuwana IV. Karya yang terkenal dengan sebutan Serat Centhini atau Suluk Tambangraras-
Amongraga ini ditulis pada tahun 1742 dalam penanggalan Jawa, atau 1814 dalam tahun Masehi. Karya
ini boleh dikatakan sebagai semacam ensiklopedi mengenai dunia dalam masyarakat Jawa.
Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum
baboning pangawikan Jawi, atau katakanlah semacam database pengetahuan Jawa. Jumlah
keseluruhan serat ini adalah 12 jilid. Aspek-aspek ngelmu yang dicakup dalam serat ini meliputi
persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, kerawitan dan tari, tata cara membangun rumah,
pertanian, primbon atau horoskop, soal makanan dan minuman, adat istiadat, cerita-cerita kuna
mengenai tanah Jawa dan lain-lainnya.

Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari
seluruh kisah dalam buku ini, tetapi ia telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang
sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang
“membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodokasi yang standar. Sebaliknya,
dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali”

Islam dalam konteks setempat, tanpa ada semacam kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng”
dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan
antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi”.
Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme”
dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.

Barangkali, Serat Centhini bisa kita anggap sebagai cerminan dari suatu periode di mana hubungan
antara Islam dan kejawaan masih berlangsung dalam watak yang saling mengakomodasikan, dan tidak
terjadi kontestasi antara keduanya secara keras dan blatant. Sebagaimana kita tahu, dalam
perkembangan pasca-kemerdekaan, identitas kejawaan makin mengalami “politisasi” dalam menghadapi
naiknya kekuatan Islam yang cenderung “puritan” dalam kancah politik. Dalam konteks semacam ini,
antara kedua identitas ini (Islam dan Jawa), terdapat hubungan yang tegang dan penuh prasangka.
Ketegangan ini terus berlanjut hingga dalam pemerintahan Orba.

Serat disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran
Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan
Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah
dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga, dan seorang putri bernama
Rancangkapti. Dengan diikuti oleh dua santri, Gathak dan Gathuk, Jayengresmi melakukan “perjalanan
spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojanagara, hutan
Bagor, Gambiralaya, Gunung Pandhan, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung
Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah
Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang. Dalam
perjalanan ini, Jayengresmi seperti mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan
sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuna, dan sejumlah juru kunci makam-makam
keramat di tanah Jawi. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam
pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, alamat bunyi burung gagak dan
prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu bersanggama, perhitungan
tanggal, hingga ke kisah Syeh Siti Jenar.

Jayengsari dan Rancangkapti berkelana dengan diiringi oleh santri Buras ke Sidacerma, Pasuruhan,
Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal,
Pasrepan, Tasari, Gunung Brama, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argapura, Gunung Rawun,
Banyuwangi, terus ke Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma
Banyumas. Dalam perjalanan itu, mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat
tanah Jawi, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan mengenai wudlu, shalat, pengetahuan
(yang terkesan agak bertakik-takik dan njlimet) mengenai dzat Allah, sifat, asma dan afngal-Nya, sifat
dua puluh, Hadis Markum, perhitungan selamatan orang meninggal dunia, serta perwatakan Kurawa dan
Pandawa.

Melihat luasnya daerah serta lingkup pengetahuan yang dipelajari ketiga putra-putri Giri itu, tampak sekali
ambisi penggubah kisah dalam Serat Centhini ini untuk “menerangkan” secara menyeluruh “dunia dalam”
orang Jawa. Dengan demikian, serat ini juga bisa digunakan sebagai titik masuk untuk mengetahui
bagaimana dunia Jawa “plausible” dan bermakna buat orang-orang Jawa sendiri. Sekaligus juga adalah
bagaimana Islam “bermakna” dalam konteks tatanan kosmik mereka.

Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas
unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur baur dengan mitos-mitos di tanah Jawa. Ajaran Islam yang
ortodoks mengenai sifat Allah yang dua puluh, misalnya, diterima begitu saja, tanpa harus membebani
para penggubah ini untuk mempertentangkan ortodoksi itu dengan mitos-mitos dalam khazanah
kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik”, seolah antara alam
“monoteisme” dengan “paganisme”/”animisme” Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan.

Seperti telah dikemukakan di atas, dalam serat ini, Islam memang tidak dipandang semata-mata sebagai
unsur eksternal yang “membebani” unsur lokal, bahkan pertentangan (katakan saja) weltanschauung

antara kedua dunia itu (Islam dan Jawa) sama sekali tidak dipersoalkan. Begitu saja diandaikan bahwa
keduanya commensurable dan saling bisa bertukar tempat. Tetapi, anehnya, dengan cara seperti inilah
Jawa (sebagaimana ditampilkan oleh serat ini) melakukan “resistensi” (atau “domestifikasi”, dalam istilah
Benda) atas Islam. Penggubah serat ini seolah-olah tidak mau tahu bahwa Islam sebagaimana tampil
dalam korpus standar membawa sejumlah “efek ikonoklastik” atas kepercayaan setempat.

Pasca-Centhini: Jawa “baru”?

Bagaimana orang-orang Jawa pada periode-katakan saja-”pasca-Centhini” memahami hubungan antara
Islam dan kejawaan? Adakah perubahan yang mendasar dalam pandangan-pandangan yang
sebelumnya bernada sinkretis itu? Sebuah kesaksian kontemporer dari keluarga Jawa sebagaimana
dituturkan oleh Hersri, layak dikutip di sini (saya ambil dari tulisan Hersri Between the Bars yang dimuat
dalam buku Silenced Voices suntingan John H McGlynn yang terbit baru-baru ini). Cerita Hersri ini
mewakili semacam corak yang umum dalam keluarga Jawa dari kelas bawah. Cerita ini terjadi di tahun
1947/1948.

Hersri adalah orang yang tumbuh dalam keluarga abangan dan tidak mengenal “kesetiaan” yang fanatik
terhadap agama-agama resmi. Sikap yang longgar ini tercermin dalam jawabannya ketika suatu ketika ia
ditanya oleh gurunya di kelas, “Apa agamamu?” Ia kebingungan, karena di rumah tidak pernah
memperoleh pengajaran mengenai kesetiaan yang eksklusif terhadap agama tertentu. Kakaknya yang
sulung dikirim oleh ayahnya ke Sekolah Katolik di Muntilan, bukan dengan kesadaran mendalam agar
anaknya belajar agama itu. Tetapi, Sekolah Katolik di daerahnya lebih menerapkan disiplin yang keras
ketimbang sekolah lain, sehingga dengan demikian ayahnya berharap agar kakaknya yang ndablek itu
bisa dijinakkan. Kakaknya yang lain belajar di Sekolah Taman Siswa. Sementara kakaknya yang nomor
tiga dikirim ke Sekolah Muhammadiyah, juga bukan dengan alasan agar belajar Islam dengan baik, tetapi
karena kakaknya yang satu ini tidak diterima baik di sekolah umum atau Protestan. Bapaknya sendiri
selalu berkata bahwa semua agama adalah baik, dan sering ikut dalam acara selamatan desa yang
biasanya juga menggunakan sejumlah ritual Islam (seperti tahlil, misalnya). Tetapi ia tidak pernah
menjadi Muslim. Terhadap pertanyaan yang membingungkan dari gurunya itu, Hersri akhirnya menjawab,
“Saya mengikuti semua agama yang ada.” Seluruh murid di kelasnya tertawa.

Apakah ini cerminan dari sinkretisme seperti yang disebut di muka? Boleh jadi. Tetapi sikap permisif
secara “teologis” ini lama-lama makin pudar, karena proses yang lain juga sedang berlangsung, yaitu apa
yang sering disebut sebagai “santri-isasi” orang Jawa. Saya pernah mendengar cerita seorang jemaat
Gereja Kristen di kawasan Pulo Mas mengenai proses “baru” yang sedang berlangsung dalam
masyarakat Jawa itu. Dahulu, cerita si jemaat ini, jika ada jenazah di desanya (di Madiun), sudah menjadi
adat yang lazim bahwa seluruh warga desa dari agama apa pun akan mengurusnya. Sekarang, setelah
sejumlah fatwa MUI dikeluarkan mengenai larangan orang Islam terlibat dalam ritual agama lain
(termasuk seremoni kematian, tentunya), pelan-pelan orang makin sadar akan “identitasnya” sebagai
orang Muslim atau Kristen atau yang lain. Orang Jawa makin menyadari bahwa ada gejala lain yang
muncul ke permukaan: gejala untuk menganggap sikap “permisif” secara teologis sebagai hal yang tidak
lagi wajar.

Proses ini, tampaknya sudah berlangsung sejak lama, meskipun resonansinya baru tampak dengan
“keras” akhir-akhir ini. GWJ Drewes (dalam artikel berjudul Indonesia: Mysticism and Activism, yang
dimuat dalam buku suntingan Gustave von Grunebaum, Unity and Variety in Muslim Civilization, [1955]),
pernah mengemukakan pengamatannya di tahun 50-an mengenai proses Islamisasi di tanah Jawa. Ia
mengatakan bahwa,

[T]he Islamization of Indonesia is still in progress, not only in the sense that Islam is still spreading among
pagan tribes, but also in that peoples who went over to Islam centuries ago are living up more and more
to the standard of Muslim orthodoxy.

Kecenderungan yang kita lihat akhir-akhir ini tampaknya memang makin cenderung membenarkan apa
yang dikatakan oleh Drewes itu. Tetapi semacam caveat tetap harus dikemukakan di sini. Jika
kecenderungan makin “ortodoks” di kalangan masyarakat Jawa seperti dikemukakan oleh Drewes itu
benar-benar terjadi, maka harus pula dipertimbangkan kenyataan bahwa dalam pemilu tahun lalu, partai-
partai Islam mengalami kekalahan yang dramatis. PDI-P yang mempunyai basis luas di kalangan
masyarakat Jawa yang abangan, memperoleh suara yang besar.

Apakah yang bisa kita simpulkan dari perkembangan baru ini? Tampaknya memang Jawa-Serat-Centhini
belum menunjukkan tanda-tanda kepudaran, bahkan mungkin semacam resiliensi baru mulai
dikembangkan. Meskipun perkembangan-perkembangan baru yang menuju ke arah Jawa-pasca-
Centhini juga mulai memperlihatkan gejalanya.

Pethikan “Centhini” pupuh 37. Dhandhanggula, gatra 37 – 49 37 duk uripe neng dunya puniki sadina dina
pan wis sakarat miwah sawengi wengine manggung sakaratipun melek turu sakarat ugi mila ngaran
sakarat wong neng dunya iku dene ta ing salaminya urip iku neng dunya tan pegat dening layar segara
rahmat 39. Ing tepine graitanen ugi dene wus aran iku sagara tanpa tepi supradene kaya na tepinipun
ngengkol temen basa puniki kepriye yen kenaa kinira ing kalbu dinuga duga watara saking kira kira
mapan datan keni kajaba kang wus wikan 40. Ing tepining ingkang jalanidhi. sagara rahmat kang tanpa
ombak nanging gumleger alune samun lamun kadulu sawangane resik tur wening mila kang sami layar
tan nganggo parau nyana tan na pakewuhnya yen tinrajang telenge keh parang curi mila arang kang
prapta 42. Mampan arang iya angrawuhi ing warnane ya sagara rahmat tur sadina sawengine wong
aneng dunya iku alalangen aneng jaladri jroning sagara rahmat prandene arang wruh saking kalingan ing
tingal kalimput ing pancabayaning ngaurip mila arang waspada 43. Yen arsa layar maring jaladri sagara
rahmat mawia palwa sarta lawan kamudhine pandoman sampun kantun myang layare dipun abecik
miwah sanguning marga ywa kirang den agung yen tan mangkono tan prapta ing tepine iya sagara
rahmati pan mundhak akangelan 44. Baitane pan eninging galih kemudhine pan anteping tekat sucining
kalbu layare pandomanipun iku pituduhe guru sayekti sangune ngelmu rasa lakune parau kalawabn
murahing Edat yen tumeka aneng tepining jaladri uga sagara rahmat (badhe kalajengaken menawi taksih
wonten ingkang ngersaaken..) Kapethik saking “serat centhini latin 1 Yasandalem kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Anom Amangkurat III (Ingkang Sinuhun Paku Buwana V) jumeneng ing Surakarta (
1820 – - 1823 M) kalatinaken miturut aslinipun dening Karkana Kamajaya, Penerbit yayasan Centhini,
Yogyakarta, 1991

Serat Makutha Raja

Para cendekiawan pada zaman dahulu menyadari bahwa seorang pemimpin, mulai dari tataran yang terendah sampai yang tertinggi, harus memiliki kemampuan memimpin yang baik. Di antara para cendekiawan pada waktu itu yang memperhatikan masalah kepemimpinan ini ialah Pangeran Buminata dari Keraton Yogyakarta. Ia berhasil membuat kitab yang diberi judul Makutha Raja, untuk memberi tuntunan kepada para pemimpin, terutama raja agar dapat menjadi pemimpin yang baik dan disenangi oleh rakyatnya.

Isi Serat
Secara ringkas Serat Makutha Raja berisi tentang bagaimana sikap yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin/raja. Dalam serat ini seseorang yang sedang memegang kendali kepemimpinan diibaratkan sebagai orang yang sedang mengendalikan kuda. Kuda, walaupun hanya seekor binatang, ternyata harus didekati dengan cara-cara tertentu agar dapat dengan mudah dinaiki dan dikendalikan.

Oleh karena kekhasan sifat yang dimiliki oleh seekor kuda ini, maka Pangeran Buminata mengibaratkannya lagi dengan seorang gadis. Sulitnya membuka tali kekang kuda adalah sama dengan sulitnya mendekati seorang gadis. Untuk mendekati seorang gadis, tentunya diperlukan budi yang halus, kata-kata yang manis dan lembut agar mau menerima dengan senang hati. Apabila pendekatan dilakukan dengan cara yang kasar dan tergesa-gesa, maka kemungkinan besar si gadis akan menolak.

Apabila hal ini diterapkan untuk menaklukkan seekor kuda, maka seseorang harus menggunakan akalnya dan harus memperhatikan saat yang tepat untuk mendekati kuda itu. Ia pun sebaiknya menguasai hal ikhwal tentang piranti tali kekang yang digunakan sebagai sarana menaklukkan kuda. Dalam konteks ini, pengertian memahami tali kekang kuda bukanlah tali kekang yang sebenarnya, melainkan memahami segala permasalahan kuda, termasuk faktor dalam atau faktor kejiwaan dari kuda itu.

Sebagai ilustrasi yang lebih konkret, dalam Serat Makutha Raja juga dikemukakan cara-cara mengatasi kebinalan seekor kuda secara bijaksana yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan Syekh Janah Katib. Pangeran Mangkubumi menggunakan cara yang disebut anyana mandra. Dengan cara ini si penunggang kuda selain harus waspada dan berhati-hati, juga dituntut untuk bersikap luwes. Luwes dalam pengertian ini ialah menuruti kehendak kuda. Jika kuda meronta, si penunggang kuda hendaknya bersikap bijaksana sehingga kuda tunduk secara perlahan-lahan dan mengikuti segala perintah si penunggang. Sedangkan, Syekh Janah Katib menggunakan cara yang disebut anyana sanga. Cara yang digunakan oleh Syekh Janah Katib ini lebih mengarah ke jalan makrifat.

Dalam Serat Makutha Raja juga dikisahkan cerita tentang Mas Ketib Anom yang menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut” untuk memecahkan masalah kerajaan. Waktu itu, pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana terjadi suatu peristiwa yang berkaitan dengan Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin. Kyai Cebolek dianggap telah salah menafsirkan inti dari cerita “Bimasuci” yang mengakibatkan keresahan di kalangan ulama kerajaan. Mereka (para ulama) kemudian melaporkan hal ini kepada Raden Demang Urawan (seorang punggawa keraton). Dan, sebagai seorang bawahan Raden Demang Urawan lalu meneruskan laporan itu kepada raja.

Menanggapi laporan itu, raja memutuskan bahwa Kyai Cebolek tidak bersalah. Ia hanya dianggap salah menafsirkan makna tamsil dalam cerita “Bimasuci”. Keputusan raja yang menganggap Kyai Cebolek tidak bersalah itu mendapat sanggahan dari seorang ulama Kudus, yakni Mas Ketib Anom. Sanggahan ulama itu sempat sejenak menggegerkan istana. Namun, Mas Ketib Anom menegaskan bahwa keberaniannya menyanggah keputusan raja adalah semata dilakukan demi kewibawaan raja sendiri.

Sebagai jalan keluar mengatasi permasalahan ini, Mas Ketib Anom mengusulkan agar Kyai Cebolek atau Kyai Haji Ahmat Muntamangkin tidak dihukum secara fisik, melainkan diberi kesempatan untuk mengubah sikapnya. Menurut Mas Ketib Anom, hukuman fisik tidak ada gunanya, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi khalayak umum. Sebagai contoh, dikemukakan pemberian hukuman kepada Syeh Siti Jenar (hukuman pancung), Pangeran Panggung di Pajang (bakar) dan terhadap Kyai Amongraga (dibuang ke laut). Semuanya itu ternyata tidak bermanfaat karena yang dihukum hanya fisik, sedangkan ideologi yang dianut tetap lestari. Tampak di sini bahwa Mas Ketib Anom dengan bijaksana telah menerapkan ajaran “mengendalikan kuda secara arif, luwes dan lemah lembut”.

Serat Darmo Wasito

Nenek moyang kita banyak memberikan ajaran-ajaran luhur yang tidak hanya diwariskan dalam tradisi lisan seperti ungkapan dan dongeng, tetapi ada pula yang dituangkan dalam karya tulis berbentuk “tembang macapat”. Ajaran-ajaran luhur tersebut pada zamannya banyak dikaji, dihayati dan diamalkan sebagai pedoman hidup. Salah satu dari karya tulis yang dituangkan dalam bentuk tembang macapat adalah Serat Darmo Wasito yang dikarang pada tahun 1878 M oleh KGPAA Mangku Negara IV. Serat Darmo Wasito terdiri dari: 12 pada (bait) Dhandhanggula, 10 pada Kinanthi, dan 20 pada Mijil. Sebagai catatan, serat ini pernah diterbitkan dalam huruf Jawa oleh Nurhopkelop Jakarta pada tahun 1953.

Isi Serat Darmo Wasito
Secara ringkas isi serat Darmo Wasito dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ajaran agar Hidup Sukses
Dalam Serat Darmo Wasito, apabila orang ingin hidup sukses, maka ia harus: (a) menikah, sebagai sarana untuk melestarikan kehidupan; (b) melaksanakan asthagina, yaitu: nut ing jaman kelakone (harus pandai menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang sedang dihadapi), rigen (pandai bekerja dengan efektif dan efisien), gemi (hemat), weruh etung (selalu penuh perhitungan dalam memanfaatkan penghasilannya untuk waktu sekarang, maupun yang akan datang), taberi tatanya (rajin bertanya sehingga pengetahuannya selalu bertambah), nyengah kayun (dapat mengendalikan diri sehingga tidak banyak berbuat kesalahan), dan nemen ing sedya (bila mempunyai niat harus dilakukan secara sungguh-sungguh); (c) jangan suka utang, sebab akan turun wibawanya; (d) jangan menjadi orang miskin, sebab orang miskin akan banyak mengalami kesusahan dan kurang dihargai dalam pergaulan; (e) jangan malas bekerja agar dijauhkan dari kesusahan; (f) melaksanakan sikap-sikap utama, yaitu: luruh (pandangan mata tidak liar dan hanya melihat seperlunya), trapsila (selalu bersikap sopan), mardawa (selalu ramah terhadap orang lain dan berbicara dengan lemah lembut); manut mring caraning bangsa (tindakan seharusnya selalu berwawasan kebangsaan dan tidak berdasarkan atas suku bangsanya sendiri), andhap asor (selalu bersikap rendah hati), meneng (tidak banyak berbicara atau mengobral bualan), prasaja (penampilan harus wajar dan tidak berlebih-lebihan), tepa selira (memiliki tenggang rasa yang tinggi), eling (selalu ingat akan baik-buruk, ingat kepada kedudukan, ingat kepada dirinya sebagai makhluk Tuhan), dan ulat batin (melakukan kegiatan pembinaan rohani agar mendapatkan jalan keutamaan); dan (g) melaksanakan catur upaya, yaitu: anirua kang becik (meniru hal-hal yang baik dan jauhkan yang buruk); nuruta ngguua kang nyata (percaya kepada kenyataan), dan miliha kang pakoleh (memilih hal-hal yang tepat dan menguntungkan).

2. Ajaran agar Menjadi Abdi (Negara) yang Baik
Untuk menjadi abdi (negara) yang baik, maka seseorang harus memiliki sifat-sifat, seperti: sregep (rajin dan tidak membuat kecewa yang memberi tugas), pethel (suka bekerja), tegen (ulet bekerja dan telaten sehingga membuat puas orang yang menyuruh), wekel (bekerja dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab), dan ngati-ati (bekerja secara berhati-hati).

3. Ajaran agar Menjadi Isteri yang Baik
Ajaran-ajaran dalam Serat Darmo Wasito untuk seorang isteri adalah: (1) agar menjadi seorang isteri yang dihargai dan dicintai oleh suaminya, maka ia harus: nurut (apa yang dikehendaki oleh suami dilakukan dengan penuh kesabaran dan dapat menyelesaikannya dengan baik), condhong (kehendak suami harus didukung, merawat apa kesukaannya dan tidak membicarakan kejelekannya di muka umum), reksa (menjaga segala milik suami dan tahu jumlah serta rinciannya), nastiti (tahu asal muasal sebuah barang dan kegunaannya serta dapat menggunakan dengan baik nafkah yang diberikan oleh suami), nyimpen wadi (pandai menyimpan rahasia suami dan keluarga); (2) agar dapat berhasil dalam hidup berumah tangga, seorang isteri hendaknya bersikap: berhati-hati dalam segala hal, mengenal sifat-sifat keluarga dan famili sehingga dapat menyesuaikan diri, mengerti acara suami sehari-hari dan dapat membantu jika diperlukan, jika memberi saran atau mengemukakan pendapat harus mencari waktu yang tepat, paham akan tugasnya sebagai seorang isteri, jangan menggunakan atau memanfaatkan barang-barang milik suami tanpa seizinnya, pandai merawat barang-barang milik suami, dan meskipun suami memberi keleluasaan, tetapi tetap melakukan segala hal sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Serat Salokatama


Naskah Serat Salokatama dikarang oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ariya Mangku Nagara IV pada 1799 Jawa atau 1870 M. Serat Salokatama dikarang dalam bentuk tembang mijil, seluruhnya ada 31 “pada” (bait), sudah pernah diterbitkan oleh Nurhipkolep Jakarta 1953 dengan huruf Jawa. Saloka berarti perumpamaan atau ceritera sedang tama berarti utama atau baik. Salokatama berarti perumpamaan atau ceritera yang utama atau yang baik. Ini terungkap pada bait terakhir dari tembang tersebut yang berbunyi: Itij panawunging ruwiyadi yang artinya: telah selesai uraian ceritera yang baik.




Isi Serat Salokatama

Adapun intisari isi Serat Salokatama selengkapnya seperti pemaparan berikut ini.

Yang dilihat oleh pengarang adalah sesuatu yang tidak pada tempatnya dan selalu mengganggu pikirannya. Umumnya orang yang punya kemauan sering tidak mawas diri, berbuat tak terkendali dan akhirnya mendapatkan “nistha”. Orang muda suka menonjolkan dirinya agar orang lain takut dan menghargai. Mereka tidak tahu bahwa perbuatannya itu banyak yang menertawakan, membuat orang lain tidak senang dan musuhnya menjadi bersyukur karenanya. Tampaknya seperti seorang pemberani, tingkah lakunya dibuat-buat, sehingga tampak seperti seorang jahil atau penjahat. Kelak ika mereka telah berhenti dari perbuatan itu, orang tetap tidak percaya bahwa mereka orang baik-baik.

Andai kata orang hidup itu dua kali, tidak ada orang takut mati serta tak ada orang yang kecewa. Tetapi karena hidup hanya satu kali, banyak yang kecewa hidupnya, sehingga kadang-kadang ingin bunuh diri. Tetapi bunuh diri sebenarnya lebih sengsar, makamnya tidak boleh dicampur dengan leluhur dan orang banyak. Orang yang membunuh orang dosanya amat besar, tetapi masih lebih besar dosa orang yang bunuh diri, sehingga “nistha” melebihi matinya lutung atau kera.

Membersihkan dosa tidak ada cara lain kecuali minta maaf kepada semua yang disakiti hatinya. Jika lebih tua dan lebih tinggi berbaktilah. Jika lebih muda tetapi lebih tinggi, dengan salam takzim dan bahasa yang halus. Semuanya adalah usaha untuk menghilangkan kemarahan. Jika malu dengan berkata langsung, tulislah surat yang manis. Kemudian minta maaf dan bertobat kepada Tuhan. Juga jangan lupa menghormati leluhur agar tidak mendapatkan dosa dari padanya. memang orang berbuat baik itu berat, berbeda dengan orang yang akan berbuat jelek selalu lebih mudah.

Umumnya orang di dunia ini, baik yang tinggi maupun yang rendah martabatnya tidak suka mengalah meskipun bukan berarti kalah yang sebenarnya. Dan lagi pada umumnya orang jika dipuji dan didukung pendapatnya akan suka hatinya serta jauh dari sakit hati.

Umumnya orang yang tidak tahu akan budi baik, jika ada sesuatu hal yang diceriterakan yang buruk dahulu, sebabnya memang tidak sampai pemikirannya. Jika kita ingin mendapatkan kemuliaan agar terlaksana kita harus berani rendah hati, minta pertolongan dan doa restu.

Jika suatu ketika cita-cita kita gagal, jangan terkejut dan lalu menyalahkan dirinya sendiri sejadi-jadinya. Mohonlah petunjuk kepada Tuhan, rasakan apa kekurangan kita. Karena Manusia ini semuanya kekasih Tuhan, Jika mempunyai cita-cita, mohonlah kepada Tuhan, pasti akan dikabulkan. Jika belum berhasil, barangkali memang belum waktunya.

Ibaratnya buah durian muda jika dipanjat sukar memetiknya, dan jika sudah dipetik tidak dapat dimakan, padahal usahanya mati-matian. Lain halnya jika sedikit demi sedikit, sabar menunggu, jika sudah waktunya akan jatuh sendiri, mudah memetiknya dan enak dimakan.

Demikian juga orang mencari kemuliaan, Jika terlalu dipaksakan kadang-kadang sampai kehabisan akal, segala jalan ditempuh dan tidak segan-segan menggunakan cara yang tidak baik, misalnya dengan menggunakan magis. Jika berhasil, umumnya kurang baik, tidak tahan lama dan tidak lestari. Ini persamaannya seperti memetik durian muda tadi.

Lain halnya dengan orang yang berusaha dengan jalan yang baik. Pada malam hari selalu memohon kepada Tuhan. Sehari-harinya tingkah lakunya baik, rajin, jujur, rendah hati, bicara manis, patuh pada atasan, cinta kepada sesama. Umumnya yang melaksanakan seperti itu, sudah selayaknya jika yang dicita-citakan berhasil. Hal itu anugerah nyata dari Tuhan. Kehidupanya selamat tidak dirundung kesusahan dan kadang-kadang dapat menurun ke anak-cucu.

Ibarat ingin memetik buah durian yang masak di pohon, jika mempunyai cita-cita harus ada usahanya tidak cukup hanya dipikir saja. Tuhan tidak akan mengabulkan bagi yang tidak berusaha.

Babad Nitik

Naskah asli Babad Nitik tersimpan di Perpustakaan (Widyabudaya) keraton Yogyakarta. Babad ini ditulis di atas kertas berukuran folio, dengan tinda hitam, berhuruf Jawa dengan bahasa Jawa Bercampur Kawi, digubah dalam bentuk tembang macapat. Penulisnya tidak diketahui, tetapi diterangkan bahwa ditulis atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu penulisannya disebutkan dengan Sengkalan “Resi nembah ngesthi tunggal” (1867 Jw/1936 M). Babad Nitik (Sultan Agung) yang seluruhnya terdiri dari tiga puluh lima pupuh tembang itu berisikan pengalaman Sultan Agung sejak masih menjadi putera mahkota, pelantikannya sebagai Sultan dan masa pemerintahannya yang berpusat di keraton Kerto. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi putera mahkota, beliau mengadakan perjalanan ke seluruh Jawa, Asia Tenggara, Timur Tengah, bahkan ke dasar laut dan alam kedewataan. Semua perjalanan itu dilaksanakan secara gaib. Seperti kita ketahui pada zaman dahulu keyakinan yang hidup dalam masyarakat kita bahwa raja itu bukan manusia biasa, melainkan manusia dewa yang memiliki kelebihan-kelebihan dari manusia biasa. Pada zaman Sultan Agung berkuasa, agama Islam sedang berkembang pesat di atas dasar budaya Jawa sebelum itu. Seorang raja yang berwibawa dan berpredikat “Gung Binathara” adalah raja yang berkualitas manusia-dewa sekaligus Khalifatullah. Dalam babad tersebut diceritakan bahwa Sultan Agung pergi ke Mekkah untuk minta pengakuan sebagai Khalifatullah. Perjalanan putera mahkota Mataram (sebelum dinobatkan) ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara dalam rangka “nitik” atau menjajagi keadaan daerah yang dikunjungi tersebut, dalam upaya pengembangan kekuasaan kelak jika telah memegang tampuk pemerintahan. Rupanya dengan alasan itulah maka babad ini dinamakan Babad Nitik.

Sang putera mahkota Mataram yang bergelar Pangeran Adipati itu selalu mampu menundukkan negara-negara yang dikunjungi dengan kesaktiannya sendiri. Kemudian raja dan rakyat dari negara yang sudah tunduk itu bersedia masuk Islam. Cerita ini mirip dengan hikayat Amir Hamzah (di Jawa terkenal dengan nama Wong Agung Menak) dalam menyebar atau mengembangkan Islam. Hal ini untuk membuktikan atau menunjukkan bahwa Sultan Agung adalah Khalifatullah. Di samping itu Babad Nitik juga berisi hal-hal yang berbau mistik, seperti: Sulatan Agung kawin dengan Dewi Ratu Kidul. Begitu juga Sultan dapat terbang ke Kadewataan (Surga) dan bertemu dengan tokoh-tokoh dari dunia pewayangan, yakni Pandawa yang dipandang sebagai leluhur. Pergi ke Mekkah hanya dalam beberapa menit dan sebagainya. Hal itu semuanya untuk menunjukkan bahwa beliau berkualitas Raja-Dewa-Khalifatullah. Biasanya Babad memang diwarnai oleh hal-hal yang berbau mistik seperti itu. Babad Nitik juga sebenarnya banyak berisi informasi kebudayaan dan kesejarahan. Akan tetapi informasi kesejarahan yang terdapat dalam babad harus diuji betul-betul kebenarannya, dengan cara membandingkan dengan sumber-sumber lain sebab dalam babad banyak sekali hal-hal yang bersifat fiktif.

Beberapa informasi yang dapat dipertimbangkan untuk dikaji lebih jauh sebagai data sejarah dan kebudayaan, diantaranya:

  1. Tentang sifat seorang raja yang baik adalah: (a) pandai memikat para prajurit dengan penghasilan yang cukup, dan tidak menyakiti hatinya; (b) tidak membuat sakit hati rakyat; (c) bijaksana, hati-hati, cepat dalam mengambil keputusan; (d) pandai mendidik rakyat; (e) selalu waspada terhadap tingkah laku rakyatnya; (f) bertanggung jawab; (g) berbudi halus dan luhur; (h) taat beragama dan beribadah; (i) sabar berdasarkan kearifan huum; (k) teguh pendirian; (l) dapat mengelakkan segala godaan; dan (m) menyebarluaskan agama.
  2. Sebagai seorang seniman, beliau menciptakan: (a) tari serimpi; (b) menyempurnakan gamelan dengan menambah instrumen bedug dan saron ricikan; (c) menciptakan gending Andong-andong, Madubrata, Kodok Ngore dan Monggang; dan (d) menciptakan Wayang Gedhog dalam cerita siklus Panji.
  3. Sultan Agung naik tahta tahun 1617. Dalam catatan sejarah, Sultan Agung naik tahta pada tahun 1613, tetapi menurut Babad Nitik baru tahun 1617 karena pada waktu Prabu Hanyakrawati (Raja Mataram II) mangkat belitu tidak ada di tempat dan tidak diketahui sedang berada di mana. Oleh karena itu diangkatlah adiknya yang bernama Pangeran Martopuro. Baru pada tahun 1617 beliau muncul. Pangeran Martopuro turun tahta, lalu pergi ke Bagelen, tidak lama mangkat dan dimakamkan di bukit Sela Bagelen.
  4. Semasa pemerintahannya, beberapa kali ganti pejabat tinggi: (a) Patih: Tumenggung Mandaraka (1617-1623), Tumenggung Singaranu (1623-1645); (b) Pengulu: Wanatara (1617-1619), Pangeran Kepodang (1619-1620), Kyai Serang (1620-1622), Ahmad Kategan (1622-1645); (c) Jaksa: Juru Mayemditi (1617-1623), Kyai Mas Sutamarta (1623-1645).
  5. Sultan Agung memugar makam Tembayat. Pada tahun 1620 Sultan Agung memugar pemakaman Tembayat (Kabupaten Klaten) di mana terdapat makam Pangeran Pandanaran yang telah mengajar Ilmu Paramawidya kepada Sultan Agung dan menjadikan daerah Tembayat bebas pajak (perdikan).
  6. Membangun pemakaman Imagiri. Sultan Agung membangun pemakaman untuk dirinya di bukit Girilaya, sebelah utara-timur Imagiri. Sewaktu pembangunan makam belum selesai Pangeran Juminah (pamannya) meninggal di tempat itu dan dimakamkan di tempat itu juga. Kemudian Sultan Agung membangun pemakaman Imagiri seperti yang masih ada sampai sekarang.
  7. Sultan Agung tidak gagal menyerang Kumpeni. Hasil utamanya adalah semangat juang yang terus berkobar.
  8. Keraton Sultan Agung di Kerto menjadi model. Sultan Agung setelah naik tahta memindahkan keratonnya ke Kerta (sebelah selatan Yogyakarta), keraton itu bagus tetapi tidak berpagar benteng, melainkan hanya berpagar korden dari kain sutera karena Sultan merasa tidak perlu, tidak ada orang yang berani mengganggu keraton raja yang sakti itu.
Kiranya Keraton Kerto inilah yang menjadi model Keraton Surakarta dan Yogyakarta yang masih ada hingga sekarang ini, kecuali bentengnya.

Asthabrata

Berasal dari kata Asto atau Hasto yang artinya delapan, kemudian Baroto yang artinya laku atau perbuatan. Jadi ASTHA BRATA atau Hasto Broto berati delapan laku atau delapan perbuatan. ASTHA BRATA terdapat dalam Sarga XXIV dari wejangan Ramayana kepada Gunawan Wibisono, juga Sri Kresna kepada Arjuna. Diterangkan bahwa seseorang yang ditakdirkan untuk menjadi pemimpin atau raja adalah dalam jiwanya terdapat delapan macam sifat kedewasaan atau delapan macam watak-watak delapan dewa. Kewajiban seorang pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap: 

1. Dewa Surya atau Watak Matahari

Menghisap air dengan sifat panas secara perlahan serta memberi sarana hidup. Pemimpin harus selalu mencerminkan sifat dan sikap semangat kehidupan dan energi untuk mencapai tujuan dengan didasari pikiran yang matang dan teliti serta pertimbangan baik buruknya juga kesabaran dan kehati-hatian.



2. Dewa Chandra atau Watak Bulan
Yang memberi kesenangan dan penerangan dengan sinarnya yang lembut. Seorang pemimpin bertindak halus dengan penuh kasih sayang dengan tidak meninggalkan kedewasaannya.





3. Dewa Yama atau Watak Bintang
Yang indah dan terang sebagai perhiasan dan yang menjadi pedoman dan bertanggung jawab atas keamanan anak buah, wilayah kekuasaannya.






4. Dewa Bayu atau Watak Angin
Yang mengisi tiap ruang kosong. Pemimpin mengetahui dan menanggapi keadaan negeri dan seluruh rakyat secara teliti.







5. Dewa Indra atau Watak Mendung
Yang menakutkan (berwibawa) tetapi kemudian memberikan manfaat dan menghidupkan, maka pemimpin harus berwibawa murah hati dan dalam tindakannya bermanfaat bagi anak buahnya.




6. Dewa Agni atau Watak Api
Yang mempunyai sifat tegak, dapat membakar dan membinasakan lawan. Pemimpin harus berani dan tegas serta adil, mempunyai prinsip sendiri, tegak dengan berpijak pada kebenaran dan kesucian hati.





7. Dewa Baruna atau Watak Samudra
Sebagai simbol kekuatan yang mengikat. Pemimpin harus mampu menggunakan kekuatan dan kekuasaannya untuk menjaga keseluruhan dan keutuhan rakyat serta melindungi rakyat dari segala kekuatan lain yang mengganggu ketentraman dan keamanan secara luas dan merata.




8. Dewa Kuwera atau Watak Kekayaan atau Watak Bumi
Yang sentosa, makmur dengan kesucian rohani dan jasmani. Pemimpin harus mampu mengendalikan dirinya karena harus memperhatikan rakyat, yang memerlukan bantuan yang mencerminkan sentosa budi pekertinya dan kejujuran terhadap kenyataan yang ada.

Sedulur Papat Lima Pancer

Setelah Islam masuk P.JAWA kepercayaan tentang saudara empat ini dipadukan dengan 4 malaikat di dunia Islam yaitu Jibril, Mikail , Isrofil, Ijro’il.
Dan oleh ajaran sufi tertentu di sejajarkan denga ke’empat sifat nafsu yaitu:
Nafsu Amarah, Lawwamah, Sufiah dan Mutmainah.
Pertama Jibril atau dalam bahasa ibrani Gabriel artinya pahlawan tuhan. Jabr’ El
kekuatan tuhan fungsinya adalah penyampai informasi, didalam islam dikenal sebagai penyampai wahyu pada para nabi.
Dalam konsep islam Jawa Jibril diposisikan pada kekuatan spiritual pada KETUBAN.
Ada pandangan yang menyatakan setelah N.Muhammad wafat maka otomatis Jibril menganggur karena beliaulah orang yang menerima wahyu terakhir.
Tapi tidak demikian dalam pandangan Jawa, setiap orang di sertai Jibrilnya.
hakikatnya hanya ada satu Jibril di alam raya ini tapi pancaran cahayanya ada dalam setiap diri. seperti Ruh tidah pernah dinyatakan dalam bentuk jamak didalam Al-Quran. Tetapi setiap diri mendapat tiupan ruh dari tuhan dan ruh tersebut menjadi si A, si B, si C Dst.. satu tetapi terpantul pada setiap cermin sehingga seolah2 setiapm cermin mengandung Ruh, dan manusia sebenarnya adalah cermin bagi sang diri. setiap diri menerima limpahan cahayanya.

Diantara limpahan cahayanya adalah Jibril yang menuntun setiap orang.
Jibril akan menuntunmanusia kejalan yang benar.., yang telah membersihkan dirinya, membersihkan cerminya, membersihkan hatinya.
Jibril lah yang menambahdaya agar teguh dan tebal keimanan seseorang. dalam khasanah jawa Jibril berdampingan dengan Guru sejati, bersanding dengan diri Pribadi.
Jibril tidak mampu mengantarka diri Nabi ke Sidratul Muntaha dalam Mij’raj beliau juga diceritakan ketika Jibril menampakan diri kehadapan rasul selalu ditemani malaikat mulia Lainya yaitu Mikail isrofil Ijroil…
Jelas kiranya bahwa kahadiran ketuban ketika membungkus janin ternyata disertai saudara2nya yang lain.

Ditinjau dari keddudukannya yang keluar paling awal maka disebut sebagai kakak atau kakang ( saudara tua ) si bayi.

begitu bayi lahir maka selesailah sudah tugas ketuban secara fisik. tetapi exsistensi ketuban secara ruhaniah ia tetap menjaga dan membimbing bayi tersebut sampai akhir hayat. secara extensi Jibril diciptakan setelah malaikat Mikail. dan Tali Pusar ada lebih dulu dari pada selaput yang membungkus janin di pintu rahim (cervix) Ke Dua Malaikat Israfil. Menurut hadis malaikat Israfil diciptakan setelah penciptaan Arsy ( Singgasana Tuhan ) disebut sebagai malaikat penggenggam alam semesta, ia meniup Terompet Pemusnahan Dan Pembangkitan. Ia digambarkan menengadah ke atas untuk melihat jadwal kiamat yang ada di Lawh Al Mahfuzh.
Israfil di sepadankan dengan ari-ari, tembuni atau Placenta, Ari-Ari adalah yang memayungi sang janin sampai ketempat tujuan dialah yang memberikan keamanan menyalurkan makanan dan kenyamanan pada janin dengan ari-ari ini kehidupan berlangsung dalam janin.
Exsistensi Ari-ari ini disejajarkan dengan malaikat Israfil Dalam kelahiran janin, Ari-ari diterima sebagai saudara muda ( adik ).

Meskipun jasadnya telah tak ada lagi ari-ari tetap memberikan perlindungan bagi manusia setelah dilahirkan..dari sisi keberadaanya malaikat Israfil dicipta terlebih dahulu dari pada malaikat Mikail dan Jibril As.
Israfil diyakini sebagai Pelita Hati Bagi manusia agar hatinya tetap terang, Itulah sebabnya sejahat-jahatnya manusia masih ada secercah cahaya dalam hatinya tetap ada kebaikan yang dimilikinya meski hanya sebesar debu…

Yang ketiga adalah Malaikat Mikail, Salah satu malaikat yang menjadi pembesar para malaikat.. Tugas malaikat Mikail adalah Memelihara Kehidupan. Dalam hadis diceritakan bahwa malaikat Mikail mengemban tugas memelihara pertumbuhan pepohonan, kehidupan Hewan juga Manusia.. Dialah yang mengatur angin dan hujan dan membagi rejeki pada seluruh mahluk. Pada konsep sedulur papat yang sudah di sesuaikan dengan ajaran Islam, Tali Pusar merupakan Lokus, tempat dudukan bagi malaikat Mikail dia merupakan tali penghubung bagi kehidupan manusia.Zat zat makanan, Oksigen dan Zat yang perlu dibuang dari tubuh janin agar tidak meracuni tubuh janin.

Subhanallah.. dia telah mengatur kehidupan manusia dalam rahim melalui malaikat malaikatnya..

Mikail dipandang orang jawa sebagai saudara yang memberikan sandang, pangan dan papan, Jika seseorang memohon perlindungan tuhan maka Mikail yang akan menjalankan perintah Tuhan untuk melindunginya. Ke Empat adalah Malaikat Ijroil. Malaikat Maut yang dipercaya sebagai yang bertanggung jawab akan Kematian. Kehadirannya amat ditakuti Manusia.. Jika ajal telah tiba maka ia akan Me wafatkan manusia sesuai waktunya..

Dalam konsep sedulur papat Malaikat maut ini ternyata saudara Manusia sendiri bukan orang lain dan ia tidak akan menyalahi tugasnya.. bila seseorang belum sampai ajalnya dia tak akan mewafatkannya.. Dia hadir untuk meringankan penderitaan manusia, saudara sejati pasti melindungi bila yang bersangkutan selalu dijalan yang benar..

Bayangkan bila manusia tidak bisa mati tetapi hidupnya menderita..?

apa tidak tersiksa..? bayangkan bila ada orang yang maumati aja sulitnya bukan main.. Nauzubillah..Ijroil disebut sebagai kekuatan Tuhan yang berada didalam Darah, Dalam kehidupan sehari hari Ijroil bertugas untuk menjaga hati yang suci, Jika hati terjaga kesuciannya maka ketakutan akan hidup menderita dan kematian akan tak ada lagi. Jika ajal telah sampai maka Ijroil mengorganisasi malaikat lainnya, mengorganisasi saudara saudara lainnya untuk mengakhiri hidupnya.

Permana yang memberikan kekuatan pada sang Jiwa diangkat keluar tubuh, sehingga tubuh tak dapat lagi dikendalikan oleh jiwa. Ruh penyambung hidup kita lepas.. tubuh menjadi lunglai lak berdaya dan ini bentuk umum kematian bagi manusia.. loh kok gitu yaa..? Nah yang tidak umum yaaa.. bila Sang Diri Sejati manusia mampu memimpin saudara-saudaranya untuk melepaskan Jiwa manusia kealam Gaib.. Orang demikian sudah mempu menyongsong kematiannya dengan benar, dia memberitahukan pada sanak dan saudaranya kapan kematiannya akan datang.. Semua saudara gaib ini sudah menjadi satu dengan tubuh kita, ketika dalam rahim sendiri-sendiri wujudnya. tapi ketika sang Bayi sudah lahir hanya ada satu wujud. Empat saudara kita tetap menyertai kita dalam wujud Ruh.. dan Tidak Kasat Mata.. Ada kutipan Ayat dalam Al-Quran yang perlu di simak.. ” In Kullu nafsin lamma alayha hafizh” > ‘Setiap diri niscaya ada penjaganya’

Atau ” Wa huwa al-qahir fawq iba’dih wa yusril alaykum hafazhah hatta idza ja’a ahadakum al-mawt tawaffathu rusuluna wahum la yufarrithun” >’ Dialah yang berkuasa atas semua hambanya. Dan dia mengutus kepada kalian Penjaga-Penjaga untuk melindungimu. Jika seseorang sudah waktunya mati, maka utusan-utusan kami itu mewafatkannya tanpa keliru”

Simbolisasi sedulur papat limo pancer dalam perwayangan :

Semar sebagai pamomong keturunan Saptaarga tidak sendirian. Ia ditemani oleh tiga anaknya, yaitu; Gareng, Petruk, Bagong. Ke empat abdi tersebut dinamakan Panakawan. Dapat disaksikan, hampir pada setiap pegelaran wayang kulit purwa, akan muncul seorang ksatria keturunan Saptaarga diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Cerita apa pun yang dipagelarkan, ke lima tokoh ini menduduki posisi penting. Kisah Mereka diawali mulai dari sebuah pertapaan Saptaarga atau pertapaan lainnya. Setelah mendapat berbagai macam ilmu dan nasihat-nasihat dari Sang Begawan, mereka turun gunung untuk mengamalkan ilmu yang telah diperoleh, dengan melakukan tapa ngrame. (menolong tanpa pamrih).

Dikisahkan, perjalanan sang Ksatria dan ke empat abdinya memasuki hutan. Ini menggambarkan bahwa sang ksatria mulai memasuki medan kehidupan yang belum pernah dikenal, gelap, penuh semak belukar, banyak binatang buas, makhluk jahat yang siap menghadangnya, bahkan jika lengah dapat mengacam jiwanya. Namun pada akhirnya Ksatria, Semar, Gareng, Petruk, Bagong berhasil memetik kemenangan dengan mengalahkan kawanan Raksasa, sehingga berhasil keluar hutan dengan selamat. Di luar hutan, rintangan masih menghadang, bahaya senantiasa mengancam. Berkat Semar dan anak-anaknya, sang Ksatria dapat menyingkirkan segala penghalang dan berhasil menyelesaikan tugas hidupnya dengan selamat.

Mengapa peranan Semar dan anak-anaknya sangat menentukan keberhasilan suatu kehidupan? Semar merupakan gambaran penyelenggaraan Illahi yang ikut berproses dalam kehidupan manusia. Untuk lebih memperjelas peranan Semar, maka tokoh Semar dilengkapi dengan tiga tokoh lainnya. Ke empat panakawan tersebut merupakan simbol dari cipta, rasa, karsa dan karya. Semar mempunyai ciri menonjol yaitu kuncung putih. Kuncung putih di kepala sebagai simbol dari pikiran, gagasan yang jernih atau cipta. Gareng mempunyai ciri yang menonjol yaitu bermata kero, bertangan cekot dan berkaki pincang. Ke tiga cacat fisik tersebut menyimbolkan rasa. Mata kero, adalah rasa kewaspadaan, tangan cekot adalah rasa ketelitian dan kaki pincang adalah rasa kehati-hatian. Petruk adalah simbol dari kehendak, keinginan, karsa yang digambarkan dalam kedua tangannya. Jika digerakkan, kedua tangan tersebut bagaikan kedua orang yang bekerjasama dengan baik. Tangan depan menunjuk, memilih apa yang dikehendaki, tangan belakang menggenggam erat-erat apa yang telah dipilih. Sedangkan karya disimbolkan Bagong dengan dua tangan yang kelima jarinya terbuka lebar, artinya selalu bersedia bekerja keras. Cipta, rasa, karsa dan karya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Cipta, rasa, karsa dan karya berada dalam satu wilayah yang bernama pribadi atau jati diri manusia, disimbolkan tokoh Ksatria. Gambaran manusia ideal adalah merupakan gambaran pribadi manusia yang utuh, dimana cipta, rasa, karsa dan karya dapat menempati fungsinya masing-masing dengan harmonis, untuk kemudian berjalan seiring menuju cita-cita yang luhur. Dengan demikian menjadi jelas bahwa antara Ksatria dan panakawan mempunyai hubungan signifikan. Tokoh ksatria akan berhasil dalam hidupnya dan mencapai cita-cita ideal jika didasari sebuah pikiran jernih (cipta), hati tulus (rasa), kehendak, tekad bulat (karsa) dan mau bekerja keras (karya). Simbolisasi ksatria dan empat abdinya, serupa dengan ‘ngelmu’ sedulur papat lima pancer. Sedulur papat adalah panakawan, lima pancer adalah ksatriya
 
DMCA.com
*Layanan ini disediakan oleh PT Globalj4v4 Sdn. | Halaman Awal ini juga disediakan oleh PT Globalj4v4 Sdn. | Semua layanan lain yang tidak memiliki tanda “*” akan menuju ke situs web pihak ketiga, yang kontennya mungkin tidak sesuai dengan undang-undang di wilayah Anda. Anda, bukan PT Globalj4v4 Sdn, bertanggung jawab penuh atas akses ke dan penggunaan situs web pihak ketiga.
Hak Cipta © 2020 PT Globalj4v4 Sdn (Co. Reg. BlogID. 2825584887500486077). Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Kampus Wong Sinting | Globalj4v4 | Globalw4r3 | Google