“Terimakasih atas kebaikan kanjeng syech, sekarang dia sudah bisa menggerakkan telapak kaki dan jari kakinya” jawab si bapak berbinar-binar.“Syukurlah, semoga terus ada perkembanganya. Ali, setelah cukup beristirahat antar bapak ke kandang dan segera ambilkan hati kuda yang kedua”
“Sendiko dawuh , kanjeng syech”. Setelah cukup beristirahat, Ali menggandeng tangan si bapak dan mengajak beliau ke kandang. Bapak Somad terheran-heran, dia merasa seakan-akan tidak ada perubahan apa-apa pada diri kanjeng syekh dan santri-santri beliau, biasa-biasa saja. Kanjeng syekh sama sekali tidak terlihat seperti orang yang kehilangan harta benda. Ekspresi wajah beliau tetap tenang, datar dan biasa-biasa saja. Luar biasa….kuda semahal ini seperti tidak berharga pada diri beliau dan kehilangannya pun sama sekali tidak berpengaruh apa-apa pada diri kanjeng syekh.
“Ini ,pak, hati kudanya, segera bapak bawa pulang karena keluarga bapak sudah menunggu di rumah. Jika sudah waktunya segera bapak kesini untuk pengobatan berikutnya. Bapak jangan segan atau sungkan. Jika bapak segan kemudian mengurungkan niat bapak, itu tandanya bapak kena coba dan kanjeng syech pun demikian”
“Baiklah ,nak, terimakasih” jawab si bapak sambil mengingat-ingat nasehat itu. Si bapak merasa bahwa nasehat itu persis seperti nasehat Ali yang pertama. Dia lewat jalan belakang lagi. Sekarang dia melihat sudah dua istal/kandang kuda yang kosong. Si bapak menghela napas pertanda berat pada batinnya. Sesampai di rumah hati yang kedua segera diberikan. Selang satu minggu tampak si pemuda menaikkan betisnya sedikit demi sedikit. Itu perubahan kedua yang dia dapat. Tampak wajah si pemuda berseri-seri dan ibunya tidak henti-henti berucap sukur. Kini sudah tiga minggu berlalu sepertinya sudah saatnya si bapak untuk kembali lagi mengambil hati yang ketiga. Pagi-pagi beliau berangkat dan sampai diluar pintu gerbang, seperti biasa seorang santri menghampiri beliau: “Mari, pak, silahkan. Kanjeng syekh sudah menunggu bapak” . Benar saja, seperti biasa kanjeng syekh sudah menunggu didepan pintu sambil tersenyum lebar. Si bapak segera mencium tangan kanjeng syech ketika bersalaman.
“Bagaimana, pak, perjalanannya ? Bapak pasti lelah. Silahkan istirahat dulu”.
“Terimakasih kanjeng syekh”
“Bagaimana kabar putranya, sudah ada kemajuan ?”
“Berkat doa dan pertolongan kanjeng syekh anak saya sudah bisa menggerakkan betisnya”
“Syukurlah kalau begitu. Ali….setelah cukup istirahatnya segera ambilkan hati kuda yang ketiga”
“Sendiko dawuh, kanjeng syech”. Kanjeng syech masuk kedalam. Setelah beberapa saat ,Ali menggandeng tangan bapak si Somad dan mengajak beliau ke kandang. Hati ketiga segera diserahkan kepada bapak. “Ini hati yang ketiga,pak, mohon segera dibawa pulang untuk diberikan pada putra bapak karena mereka sudah menunggu bapak. Dan jika sudah waktunya, bapak segera kembali kesini untuk menerima obat yang ke empat. Bapak tidak boleh segan atau sungkan. Jika bapak segan kemudian bapak mengurungkan niat bapak berarti bapak terkena cobaan dan kanjeng syech pun demikian. Semoga selamat sampai di rumah” pesan Ali; santri senior kanjeng syekh.
“Baiklah,nak, terimakasih”. Si bapak segera pulang lewat pintu belakang. Sekarang tiga kandang yang kosong. Bapak Somad menghela napas. Dia berpikir bahwa Ali selalu mengingatkan dia ketika pulang dengan nasehat yang sama. Pasti ada sesuatu dalam ucapan Ali dan tidak mungkin Ali bicara sembarangan kata bapak dalam hatinya. Sampai di rumah hati ketiga segera diberikan. Pada minggu berikutnya, Somad sudah bisa menggerakkan kakinya keseluruhan. Tapi masih belum bisa menggerakkan badannya bagian atas. Demikianlah seterusnya yang dilakukan si bapak untuk putranya. Hati keempat Somad bisa menggerakkan pinggulnya. Hati kelima dia bisa menggerakkan badannya bagian atas. Hati keenam untuk lengan bagian atas. Hati ketujuh untuk lengan bagian bawah. Hati kedelapan untuk telapak tangan dan jari-jarinya. Hati kesembilan Somad bisa menggerakkan bahunya. Kini Somad sudah mampu menggerakkan seluruh anggota badannya hanya tinggal leher yang tidak bisa dia tegakkan. Obat terakhir barangkali yang bisa mengatasi ini kata hati Somad.
“Bapak berangkat besok?”
“Ya, besok ini bapak berangkat. Semoga tidak ada halangan apa-apa karena ini obat terakhir”.
Besok harinya si bapak berangkat. Perjalanan terakhir ini terasa berat sekali, tidak seperti biasanya. Perut si bapak terus terasa lapar dan tenggorokan selalu haus minta minum. Badan lemas dan kaki pegal-pegal. Bertemu dengan orang aneh-aneh dan mendapati pemandangan yang kurang nyaman.Berkali-kali si bapak ingin mengurungkan niatnya dan kembali ke rumah, tapi pada saat itu juga dia teringat pesan Ali yang selalu diulang-ulang ketika dia hendak pulang. Akhirnya sampai juga si bapak di samping pintu gerbang dan seperti biasa seorang santri menyamperi si bapak: “Mari silahkahkan ,pak, kanjeng syech sudah lama menunggu bapak” . Sampai depan pintu kanjeng syech menyambut bapak seperti biasa . Si bapak melirik ke dalam ruang tamu ternyata tamu yang hadir banyak sekali namun kanjeng syech masih menyempatkan diri untuk menyambut si bapak.’ Kedatanganku ini sebenarnya merepotkan kanjeng syech tapi mengapa kanjeng syech mau berkorban demikian besar untuk aku dan putraku padahal kami ini hanya orang miskin dan tidak punya apa-apa. Apa sebenarnya rahasia dibalik semua ini dan apa maksud kanjeng syech sendiri ?’ kata si bapak dalam hati.
“Bagaimana, pak, perjalanannya ? bapak pasti lelah, mari silahkan istirahat sejenak. Oh..iya, bagaimana keadaan putra bapak ? sudah banyak perkembangannya ?”. Bapak tidak menjawab justru malah menangis tersedu-sedu. “Maapkan kami, kanjeng syekh, kami telah banyak sekali merepotkan kanjeng syekh. Bagaimana kami harus membalasnya sedangkan kami tidak punya apa-apa selain nyawa yang ada di badan kami” kata si bapak sambil tersedu-sedu. “Sudah sembilan kuda yang dikorbankan sekarang akan ditambah satu lagi jadi sepuluh. Ya Tuhan……bagaimana kami ini , kanjeng syech, bagaimana kami ini…?” kata si bapak mengiba tidak berdaya.
Kanjeng syech tetap duduk tegak. Tidak tampak perubahan pada wajah beliau selain keteduhan, bagai pohon yang rindang tempat orang berlindung dari sengatan panasnya matahari. Bibir beliau tersungging senyuman dan senyum itu jika dilihat orang yang keras hatinya seperti apapun akan tunduk khusyuk.
“Tidak…tidak ada yang direpotkan. Kami dan para santri semua rela menolong putra bapak. Harapan kami nantinya putra bapak bisa sembuh kelak menjadi anak yang soleh, itu saja”
“Terikasih atas pertolongan kanjeng syech. Putra saya sekarang sudah semakin membaik. Tinggal leher yang belum bisa dia gerakkan” jawab si bapak terbata-bata sambil menyeka air mata.
“Syukurlah kalau begitu. Semoga dengan hati yang kesepuluh ini putra bapak pulih seperti sedia kala. Ali, jika sudah cukup istirahatnya segera antar bapak ke kandang dan ambil hati kuda yang kesepuluh”
“ Sendiko dawuh, kanjeng syech”. Setelah dirasa cukup Ali segera menggandeng tangan si bapak dan mengantarnya ke kandang. Kuda kesepuluh pun disembelih kemudian hatinya dan diserahkan ke bapak Somad.
“Ini hati kesepuluh, pak, segera bapak bawa pulang dan berikan ke putra bapak semoga dia segera pulih seperti sediakala. Dan nantinya jika masih ada hal-hal yang perlu bapak sampaikan kepada kanjeng syech segera bapak kemari dan jangan segan atau sungkan. Jika bapak segan kemudian mengurungkan niat bapak , berarti bapak kena coba dan begitu pula kanjeng syekh”
“Baik, nak, akan selalu saya ingat pesan anak”. Bapak itu segera pulang lewat jalan biasanya, sekarang dia melihat sepuluh kandang kuda yang kosong. Si bapak menangis melihat pemandangan itu. Ini semua karena aku jerit hatinya. Ibu si pemuda sudah menunggu di depan pintu. “Kok lama sekali pulangnya, pak, nggak kayak biasanya ? ada apa , pak ? kanjeng syech bilang apa ?” tanya ibu cemas. Si bapak tidak menjawab, dia langsung bersungkur sujud sebagai tanda syukur karena lulus dari satu perjalanan berat. Pulang pergi yang biasanya dia tempuh selama 5 hari kini harus dilaluinya dua kali lipat alias sepuluh hari perjalanan. Kalau bukan karena pertolongan Tuhan, perjalanan ini tidak mungkin berhasil ia lalui.
“Kanjeng syech menyampaikan salam kepada kalian semua dan ini hati kuda yang kesepuluh segera berikan pada Somad” jawab bapak singkat. Hati itu segera dimasak kemudian diberikan pada Somad selama satu minggu.
“Wahai Tuhan, apa sebenarnya yang akan Engkau berikan pada Somad sehingga Engkau beri cobaan seberat ini pada dia. Wahai Tuhan , Engkau Maha tahu ,Maha Kuasa, aku pasrahkan urusan ini kepadaMu sebab Engkaulah Sang Pencipta dan dalam genggaman tanganMu langit bumi ini berada” jerit hati si bapak dalam doanya. Tiba-tiba…
“Kreek…” si bapak terkejut mendengar suara itu. Tengah malam begini siapa yang membuka pintu. Si bapak bangkit dan menuju arah suara. “Kricik…kricik….kricik…” sekarang berganti suara air gemericik. Perlahan-lahan si bapak mengintip……..ternyata si Somad; putranya; sedang bersih-bersih mengambil air wudlu. Somad sudah bisa berjalan sekarang karena dia sudah bisa menggerakkan dan menegakkan lehernya. Pada pagi harinya Somad keluar menghirup udara segar. Tetangga kanan kiri menyapa Somad dan menanyakan kesehatannya. Somad sangat bersukur dia bisa sembuh dari lumpuhnya. Hampir satu tahun dia terbaring. Setelah sarapan pagi dia menemui bapak dan ibunya.
“Bapak… Ibu…, Somad sekarang sudah sembuh. Apa yang akan kita lakukan untuk membalas kebaikan kanjeng syech ?”
“Sebaiknya kita semua sowan menghadap kanjeng syekh. Disanalah nanti kita tahu apa yang akan kita lakukan untuk membalas budi kanjeng syech. Sekarang kita berkemas-kemas besok kita berangkat menuju kediaman kanjeng syekh”.
Esok harinya mereka berangkat . Selama dalam perjalan Somad teringat bagaimana dia setahun yang lalu melalui jalan ini menuju kediaman kanjeng syech. Dia menyadari bahwa persangkaannya selama ini kepada kanjeng syeh tidak benar hanya saja dia masih bingung dan belum mengerti kenapa kanjeng syech hidup dengan kemewahan. Dia berharap semoga nantinya dia mendapat penjelasan dari apa yang ia alami selama ini. Sampai di depan pintu gerbang seorang santri menghampiri mereka : “ Salam sejahtera, mari silahkan , kanjeng syech sudah menunggu bapak sekalian”. Si bapak tidak heran dengan sambutan ini karena sudah sepuluh kali dia mengalaminya tetapi lain halnya dengan Somad dan ibunya. Mereka terheran-heran seperti bapak Somad pada awalnya. Benar saja begitu mereka masuk dan mendekat, tampak kanjeng syech berdiri di depan pintu menyambut mereka. “Salam sejahtera semuanya, mari silahkan masuk dan beristirahat” sapa kanjeng syech. Ibu si pemuda terkagum-kagum melihat keelokan kediaman kanjeng syech. Ruang tamu itu begitu indah dengan taman di depan rumah nan asri. “Salam sejahtera, kanjeng syech, puji sukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa putra saya sudah sembuh dari lumpuhnya. Atas bantuan kanjeng syech kami sekeluarga mengucapkan banyak terimakasih dan kami tidak tahu dengan apa kami harus membalas kebaikan kanjeng syech yang tidak terhingga ini”
“Wah…bapak ini…. jangan melebih-lebihkan sesuatu yang sudah jadi kewajiban. Hanya itu yang bisa saya lakukan dan sumbangkan kepada bapak. Semua itu bukan milik saya, ini hanyalah titipan Tuhan yang nantinya akan kembali kepadaNya. Oh…ini putra bapak…siapa namanya ?”
“Saya Somad, kanjeng syech”, jawab Somad sambil menunduk. Dia tidak berani memandang kanjeng syech karena rasa malu pada dirinya. Somad merasa bersalah karena dia sudah berprasangka buruk pada kanjeng syech. Hanya saja sampai sekarang dia belum mengerti, belum paham betul bagaimana yang sebenarnya.
“Berapa umurmu ?”
“Saya 19 tahun, kanjeng syech”.
“Apa pekerjaanmu ?”
“Saya belum bekerja, kanjeng syech, mohon petunjuknya”
“Sudilah kiranya kanjeng syech membimbing putra saya” bapak si pemuda menyela.
“Kamu mau jadi santri disini ?” kanjeng syech menawarkan.
“Mau, kanjeng syech, jika kanjeng syech berkenan” jawab si pemuda.
“Jika kamu aku terima jadi santri, aku tugaskan memelihara kuda kamu mau ?”
“Mau, kanjeng syech, jika itu membuat ridlo hati kanjeng syech”, jawab si pemuda mantap. Si bapak heran, kuda yang mana ? bukankah kuda kanjeng syech sudah disembelih semuanya karena hatinya diambil untuk obat anaknya ?
“Bagaimana, bu ?” tanya kanjeng syech kepada ibu si Somad.
“Saya rela, kanjeng syech, semoga nantinya putra saya jadi anak yang soleh” jawab ibu.
“Baiklah kalau begitu mulai sekarang kamu nyantri disini dan kamu aku tugaskan memelihara kuda bersama santri-santri yang lain”
“Terimakasih ,kanjeng syech” jawab si pemuda kegirangan. Hatinya senang sekali karena harapannya menjadi seorang santri kini terwujud. Dia berjanji akan melayani kanjeng syech dengan sebaik-baiknya dan dia yakin pertanyaan yang selama ini mengendap dalam dirinya akan segera terjawab.
“Bapak dan ibu menginaplah disini barang satu atau dua malam baru pulang”
“Terimakasih kanjeng syech, semoga kebaikan kanjeng syech mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Pengasih”
“Aaa…miii….n” gemuruh suara para santri, para tamu dan jama’ah yang hadir mengaminkan doa si bapak.
“Ali, antar Somad ke kamar santri untuk istirahat. Bapak dan ibu silahkan istirahat, anggap ini rumah sendiri dan jangan sungkan-sungkan. Semoga Alloh merahmati kita semuanya”.
“Aaa…miii….n” suara membahana dari para santri, tamu dan jama’ah yang hadir mengaminkan doa kanjeng syech.
Esok harinya bapak dan ibu Somad berpamitan.
“Kami titip putra kami, kanjeng syech, semoga berguna dan bisa berbakti kepada kanjeng syech dengan sebaik-baiknya dan mendapat ilmu yang manfaat”.
“Amin, amin. Jangan lupa doakan si Somad nantinya kerasan disini. Bapak dan ibu hati-hati di jalan, semoga selamat sampai rumah. Jika bapak dan ibu kangen putranya silahkan datang kemari untuk menjenguknya”
“Kanjeng syech, bolehkah kami menemui putra kami sebelum kami pulang ?”
“Oh..boleh,boleh, silahkan. Ali, antar bapak dan ibu ke kamar Somad”. Setelah keduanya bersalaman dengan kanjeng syech, Ali segera mengantar mereka menemui Somad. Ternyata Somad tidak berada di kamar.“Somad di kandang” kata salah satu santri yang ada disitu. Mereka pun segera menuju kandang kuda. Tampak Somad sedang memandikan kuda. Si bapak tercengang karena dia melihat semua kandang sudah berisi kuda lagi, kuda yang sama dengan yang kemarin. Bulunya berwarna keemasan begitu juga buntutnya. Tidak terasa mulutnya komat-kamit : “Maha suci Tuhan, maha suci Tuhan” akalnya sudah tidak lagi mampu untuk memikirkan semua ini. Begitu pula dengan si ibu dia terheran-heran melihat bagusnya kandang dan isinya. Belum pernah dia melihat kuda sebagus itu. Apakah kuda seperti ini yang dikorbankan kanjeng syech untuk Somad ? pikirnya. Jika iya, alangkah besar pengorbanan syech untuk putranya itu.
“Pak…,Bu…” sapa Somad, “sudah mau pulang ?”
“E..e..,i..i..ya, iya , nak. Bapak dan ibu mau pulang. Kamu baik-baik ya disini. Layani kanjeng syekh dengan sebaik-baiknya. Bapak dan ibu yakin kamu akan mendapatkan ilmu yang manfaat disini”.
“Iya, pak. Doakan Somad ya, Bu, Somad bisa jadi santri”
“Iya, nak, pasti ibu doakan. Jaga kesehatanmu” pesan ibu.
Somad mengantar kedua orang tuanya ke pintu gerbang dengan menenteng beberapa bungkusan oleh-oleh yang dititipkan kanjeng syech untuk orang tuanya.
Malam harinya santri berkumpul untuk mendengarkan nasehat dan bimbingan dari kanjeng syech. Pada akhir wejangannya kanjeng syech berkata :
“Tidaklah bijaksana jika menilai hamba Tuhan dari lahirnya karena tampilan lahir hanyalah sebatas penglihatan mata luar saja. Ingatlah firman Tuhan bahwa ’ Dia tidak melihat kepada jasadmu juga tidak melihat kepada bentukmu tetapi Tuhan melihat hatimu’. Sesuaikanlah penglihatan kamu sekalian dengan penglihatan Dzat yang tidak pernah salah yaitu penglihatan Tuhan, dengan demikian kamu tidak akan salah dalam melihat dan menilai seseorang. Tuhan tidak melihat apa yang kamu punya karena semua ini milikNya tetapi Tuhan melihat apa yang kamu beri sebab dengan memberi hatimu merasa tidak memiliki. Sebutan untuk orang kaya dan berada bukan dinilai dari apa yang dia punya melainkan dari apa yang sudah ia beri untuk ditukar dengan Ridlo Tuhannya. Semoga kamu sekalian ; para santri; bisa memahami ini”.Somad mendengarkan dengan seksama, sekarang sudah terjawab apa yang selama ini menjadi ganjalan hatinya. Dia sudah makan sepuluh hati kuda berbulu emas ini sebagai symbol bahwa dia harus merubah hatinya menjadi hati yang mulia seperti emas. Dia bertekad akan belajar sungguh-sungguh, bekerja sungguh-sungguh agar nantinya dia bisa jadi orang kaya berhati emas seperti Kanjeng Syech.