Headlines News :

Latest Post

Tampilkan postingan dengan label cerita legenda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerita legenda. Tampilkan semua postingan

Ki Ageng Pengging

Setelah kehancuran Majapahit pada tahun 1478 masehi,maka berakhir pula kejayaan Majapahit. Berakhirnya masa kejayaan Majapahit ini, bukanlah saat diperintah oleh Prabhu Brawijaya VII seperti yang dibanyak diberitakan selama ini, namun saat di bawah pemerintahan Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas. Sebagai bukti, dibawah inilah nama Raja-Raja yang pernah memerintah Majapahit.
  1. Raden Wijaya atau Bhree Wijaya I atau Prabhu Brawijaya I atau Shrii Kertarajasa Jayawardhana (1292-1309 M) 
  2. Raden Kala Gemet atau Prabhu Jayanegara atau Shrii Jayanegara (1309-1328 M). 
  3. Ratu Ayu Tri Bhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M) 
  4. Prabhu Hayam Wuruk atau Shrii Rajasawardhana (1350-1389 M). 
  5. Prabhu Wikramawardhana (1389-1492 M) Pada masa inilah terjadi Perang Paregreg. Dimana Adipati Bhree Wirabhumi atau Adipati Kebo Marcuet mengadakan pemberontakan ke Majapahit dan berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga. 
  6. Ratu Ayu Suhita atau Dewi Kencana Wungu (1429-1447 M), diperistri oleh Raden Parameshwara atau Raden Damar Wulan atau yang lantas setelah menjadi suami Ratu Ayu Suhita, memegang tampuk pemerintahan dengan gelar Bhree Wijaya II atau Prabhu Brawijaya IIJaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga, penguasa Blambangan. Pengambilan gelar ini demi mengukuhkan kedudukannya sebagai keturunan Raden Wijaya. setelah berhasil mengalahkan 
  7. Prabhu Kertawijaya atau Bhree Wijaya III atau Prabhu Brawijaya III (1447-1451 M) 
  8. Prabhu Rajasawardhana atau Bhree Wijaya IV atau Prabhu Brawijaya IV ( 1451-1453 M) 
  9. Raden Kertabhumi atau Bhree Wijaya V atau Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas (1453-1478 M). Dalam masa pemerintahan beliau, beliau dibantu oleh saudaranya, yaitu Raden Purwawisesha sebagai mahapatih (1456-1466 M) yang lantas digantikan oleh Raden Pandhan Salas atau Bhree Pandhan Salas (1466-1473 M).
Pada masa pemerintahan Raden Kertabhumi inilah, Majapahit diserang oleh pasukan Demak Bintara. Diperingati dengan Surya Sangkala SIRNA ILANG KERTAning BHUMI.
Semenjak kehancurannya, Majapahit kini harus tunduk kepada Demak Bintara. Majapahit menjadi negara kecil, bagian dari Demak Bintara. Tampuk pemerintahan Majapahit dipegang oleh seseorang yang ditunjuk langsung oleh Sultan Demak atau Raden Patah yang kini bergelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boenningrat I.

Dan anda semua pasti akan terkejut bila saya ungkapkan bahwa, pemegang tampuk pemerintahan Majapahit, setelah Prabhu Brawijaya V, adalah MA-HWAN! Seorang berdarah China yang lantas bergelar Prabhu Brawijaya VI. Dia memerintah dibawah kendali Demak Bintara. Fenomena politik inilah yang memicu ketidak puasan dikalangan bangsawan Majapahit. Para bangsawan yang sudah terkoyak moyak harga dirinya setelah penyerangan Demak Bintara, kini harus kembali menelan pil pahit dengan dikukuhkannya Prabhu Brawijaya VI yang nyata-nyata bukan keturunan Makapahit, bahkan berdarah China. Dan ketidak puasan ini meledak juga. Raden Girindrawardhana, bangsawan keturunan Majapahit yang berkedudukan di daerah Keling, Kedhiri, mengadakan pemberontakan. Peperangan kembali berkobar. Darah tertumpah kembali. Dan Majapahit, untuk kedua kalinya, berhasil diluluh lantakkan! Raden Girindrawardhana yang banyak mendapat dukungan dari gerilyawan sisa-sisa lasykar Majapahit lama, berhasil menjebol Majapahit baru boneka Demak Bintara. Prabhu Brawijaya VI atau Ma-Hwan, tewas.

Tahta Majapahit berhasil dikuasai oleh Raden Girindrawardhana. Dia memboyong segala tanda kebesaran Majapahit dari Trowulan ke Keling, Kedhiri. Disana, dia mengukuhkan diri sebagai Prabhu Brawijaya VII dan memaklumatkan bahwa Majapahit yang berkedudukan di Kedhiri sekarang, telah bebas dari dominasi Demak Bintara! Mendengar kabar tersebut, pemerintahan Demak Bintara tidak tinggal diam. Pasukan dalam jumlah besar dikirim ke Kedhiri. Peperangan kembali pecah! Dan lagi, darah membanjiri bumi pertiwi. Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Sunan Kudus ini, mendapat perlawanan dahsyat! Kedhiri, sulit ditaklukkan! Begitu sulitnya menjebol Kedhiri, mengingatkan penyerangan Demak ke Trowulan kala itu. Namun, pelahan, pasukan Kedhiri berhasil ditundukkan. Prabhu Brawijaya VII atau Raden Girindrawardhana gugur dimedan laga.

(Hal inilah yang diekspose besar-besaran oleh kaum Putihan. Sehingga muncul pendapat bahwa Demak bukannya menghancurkan Majapahit, namun menyerang Raden Girindrawardhana yang lebih dahulu menghancurkan Majapahit. Padahal faktanya, baik penyerangan kepada Prabhu Brawijaya V maupun Raden Girindrawardhana, semuanya dilakukan oleh pasukan Demak Bintara : Damar Shashangka).
Majapahit kembali dibawah kendali Demak Bintara. Dan diiangkatlah pejabat baru sebagai Raja bawahan yang memegang tampuk pemerintaan Mahapahit dengan gelar Prabhu Brawijaya VIII. Majapahit semakin suram. Pamornya semakin redup. Masyarakat Jawa sudah tidak lagi memandang Majapahit boneka ini. Dan pada pemerintahan Prabhu Brawijaya IX, Majapahit benar-benar colaps. Pada akhirnya, Majapahit lantas masuk wilayah kekuasaan Kadipaten Terung, Sidoarjo ( +/- 1500 M). Pewaris Tahta Sah Prabhu Brawijaya V atau Raden Kertabhumi mempunyai seorang permaisuri yang berasal dari negeri Champa ( Kamboja Selatan)., bernama Dewi Anarawati. Permaisuri beliau ini beragama Islam. Dia adalah adik ipar Syeh Ibrahim As-Samarqand yang terkenal di Jawa dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. ( makamnya berada di Tuban sekarang : Damar Shashangka). Dewi Anarawati ini adalah bibi dari Sunan Ampel atau Raden Ali Rahmad atau Bong Swie Hoo, pendiri Dewan Wali Sangha. Raden Ali Rahmad adalah putra Syeh Ibrohim Smorokondi. Raden Ali Rahmad juga adalah menantu Adipati Tuban, Adipati Wilwatikta.

Adipati Wilwatikta, mempunyai dua orang putra-putri, yang sulung dinikahi oleh Raden Ali Rahmad atau Sunan Ampel dan kelak terkenal dengan sebutan Nyi Ageng Ampel, sedangkan yang bungsu bernama Arya Teja. Arya Teja menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai Adipati Tuban dengan gelar, Adipati Arya Teja.

Adipati Arya Teja inilah ayahanda Raden Sahid dan Dewi Rasawulan. Kelak, Raden Sahid terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga. Sunan Kalijaga tidak berminat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai seorang Adipati. Tahta Tuban diserahkan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasawulan. Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit,yaitu Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu. Sesungguhnya, keris Kyai Naga Sasra maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi. Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr.Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka.), sangat disegani. Para sisa-sisa bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa.

Sosok Jaka Supa sangat dibutuhkan pihak pemerintahan Demak Bintara. Ditambah kehadiran Sunan Kalijaga, yang juga sangat disegani oleh berbagai kalangan lintas agama di wilayah bekas kerajaan Majapahit, maka seolah-olah, dua orang ini adalah kunci keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara.

Sunan Kalijaga, demi mengingatkan Sultan Demak, memerintahkan Raden Jaka Supa membuat dua buah keris, yaitu Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten. Keduanya harus diserahkan kepada Sultan Demak, sebagai benda simbolik untuk mengingatkan Sultan Demak, bahwa tanpa dukungan sisa-sisa bangsawan Majapahit serta tanpa dipermudah masuknya investor mancanegara ke wilayah Demak Bintara, dapat dipastikan Demak tidak akan berumur lama. Dengan bersatunya Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten tersebut, bisa dipastikan Demak akan berdiri tegak sebagai kerajaan besar pengganti Majapahit! (Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, kedua benda simbolik ini di anggap sangat-sangat keramat oleh masyarakat Jawa hinggai sekarang. Dan timbul kepercayaan, pemerintahan akan kuat jika seorang penguasa memiliki Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten sekaligus. : Damar Shashangka.)

Kembali pada Prabhu Brawijaya V yang menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati. Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang putra-putri. Yang sulung seorang putri ( sampai sekarang saya belum tahu namanya : Damar Shashangka ), dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa wilayah Pengging, daerah sekitar Surakarta sekarang. Yang kedua, Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura. Dan yang ketiga Raden Jaka Gugur.
Kelak Raden Jaka Gugur inilah yang dikenal dengan nama Sunan Lawu, penguasa mistik Gunung Lawu. Keberadaannya di Gunung Lawu, disalah pahami oleh warga sekitar sebagai Prabhu Brawijaya V sendiri. ( Maklum, sosok Raja pada masa itu hanya dikenal nama besarnya semata. Sosok aslinya, bagi masyarakat pedesaan, sama sekali tidak diketahui karena sulit bertemu langsung. Tidak ada media massa pada waktu itu seperti jaman sekarang, sehingga wajah Prabhu Brawijaya V, terbatas hanya kalangan bangsawan saja yang bisa mengenalinya. Oleh karena itu, kehadiran Raden Jaka Gugur di lereng Gunung Lawu, disalah pahami sebagai Prabhu Brawijaya V, bahkan sampai sekarang. : Damar Shashangka ).

Dan Prabhu Brawijaya V, tetap ada di Trowulan hingga beliau wafat. Prabhu Brawijaya V tidak pernah kemana-mana. Semenjak dari Banyuwangi hingga jatuh sakit dan wafat, beliau ada di Trowulan. Sunan Kalijaga lah yang terus mendampingi beliau hingga kewafatan beliau.

Dari pernikahan Adipati Handayaningrat IV dengan putri sulung Prabhu Brawijaya V, lahirlah dua orang putra. Pertama Raden Kebo Kanigara dan yang kedua Raden Kebo Kenanga.

Raden Kebo Kanigara lahir pada tahun 1472 Masehi. Menyusul setahun kemudian, Raden Kebo Kenanga lahir ( tahun 1473 M ). Jadi sewaktu Majapahit dihancurkan oleh Demak Bintara pada tahun 1478 Masehi, Raden Kebo Kanigara masih berusia enam tahun, dan Raden Kebo Kenanga masih berusia lima tahun.

Menginjak usia dua puluh tahun, Raden Kebo Kanigara pergi meninggalkan Pengging. Beliau memutuskan menjadi seorang Vanaprastha atau pertapa dalam usia muda. Beliau melakukan pertapaan di daerah lereng Gunung Merapi. Tempat dimana beliau pernah bertapa, sekarang terkenal dengan sebutan Desa Turgo, yang berasal dari gabungan dua suku kata AnggenTUR RaGA yang artinya MENGGEMBLENG DIRI. Petilasan bekas beliau bertapa, kini berubah menjadi makam yang banyak diziarahi oleh masyarakat Jawa. Padahal, Raden Kebo Kanigara beragama Shiva Buddha, dan apabila wafat, tidak mungkin dikebumikan, namun di kremasi atau di Aben.

Sejujurnya, jenasah Raden Kebo Kanigara hilang raib karena kekuatan tapa brata-nya yang sangat keras. Dan tempat yang dikenal sebagai makam Raden Kebo Kanigara sekarang, sebenarnya hanyalah salah satu bekas tempat beliau bersemadi.

Putra bungsu Adipati Handayaningrat IV, yaitu Raden Kebo Kenanga, dalam usia dua puluh tahun, setahun semenjak kepergian kakaknya, harus kehilangan ramandanya. Adipati Handayaningrat IV wafat. Dan seharusnya, yang berhak menggantikan kedudukan beliau adalah Raden Kebo Kanigara. Karena sang sulung telah pergi bertapa, maka si bungsu, Raden Keno Kenanga terpaksa menggantikannya. Dan Raden Kebo Kenanga lantas dikenal dengan gelar KI AGENG PENGGING.

Dalam usia relatif muda, Ki Ageng Pengging sangat terkenal kedalaman spiritualitasnya. Dalam garis keturunannya, sebenarnya mengalir darah pewaris sah tahta Majapahit. Karena nenek beliau, yaitu Dewi Anarawati, telah diangkat sebagai permaisuri. Sehingga jelas disini, manakala Prabhu Brawijaya V kelak lengser keprabhon atau wafat, yang berhak menggantikan seharusnya adalah putri sulung beliau yang dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV. Otomatis, apabila putri sulung istri Adipati Handayaningrat IV ini kelak lengser keprabhon atau wafat, maka yang berhak menggantikannya adalah putranya, yaitu Raden Kebo Kanigara. Karena seperti telah diceritakan diatas, Raden Kebo Kanigara tidak berminat kepada tahta, maka Raden Keno Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang berhak menggantikannya. Jika ditilik dari sini, sesungguhnya pewaris tahta Majapahit seharusnya Ki Ageng Pengging, bukan Raden Patah.

Seluruh masyarakat Majapahit tahu akan hal ini. Tahu siapa yang seharusnya berhak memegang tahta. Sehingga diam-diam, pengaruh keturunan Pengging masih terasa sangat besar di wilayah Demak Bintara. Bagi pemerintahan Demak, keturunan Pengging adalah bahaya laten! Praktis pemerintah Demak Bintara secara diam-diam memasang pasukan mata-mata khusus di Pengging. Gerak-gerik Ki Ageng Pengging, tak pernah lepas dari pengamatan Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha. Sesungguhnya jika Ki Ageng Pengging mau, dia bisa melakukan konsolidasi kekuatan sisa-sisa Majapahit. Tapi, seperti sifat kakaknya, Ki Ageng Pengging sama sekali tidak mempunyai ambisi politik seperti itu. Malahan beliau lebih suka mendalami spiritualitas. Para prajurid Pengging sendiri sangat merasakan akan hal itu. Kegiatan pelatihan militer, dirasa jauh berkurang semenjak Ki Ageng Pengging menggantikan ayahandanya. Malahan, tempat-tempat suci lebih bergairah dan hidup semenjak beliau berkuasa.

Ki Ageng Pengging tenggelam dalam spiritualitas. Setiap waktunya senantiasa beliau manfaatkan untuk peningkatan Kesadaran Atma. Pengging sangat damai. Penuh nuansa religius.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Manakala Ki Ageng Pengging berkenalan dengan seorang ulama Islam yang dikenal berseberangan dengan Dewan Wali Sangha yaitu Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, Pengging mulai memanas.

Walaupun masih belia, kedalaman spiritualitas Ki Ageng Pengging tidak bisa diragukan lagi. Pencapaian spiritual-nya, sampai pada kondisi MATI SAJERONING URIP, URIP SAJERONING PATI ( MATI DIDALAM HIDUP, HIDUP DIDALAM KEMATIAN). Beliau mampu dalam beberapa hari, bermeditasi tanpa bernafas. Raga beliau mampu menyerap Prana ( oksigen ) melalui seluruh pori-pori tubuh tanpa menggunakan pergerakan paru-paru.
Bila tidak jeli, mereka yang melihat kondisi Ki Ageng Pengging sewaktu bermeditasi, pasti akan menyangka beliau meninggal. Namun bagi yang benar-benar jeli, mereka akan tahu, jantung beliau masih tetap berdetak, sangat-sangat halus. Dan darah beliau masih tetap mengalir, walau dalam percepatan yang sangat-sangat halus.

……Ndan yatika sinangguh mamyaken praana sangdhila jati ngarannya, yeku puujaajaati ngarannya, sembahyang alit, yapwan mangkana tiksna deningasamadhi, wyakta hilang ikang waayu ganal, mati lina ri sangkanya, apan tan cinetana dening aatmaa, nahan maarga kunyci rahasya ngarannya. ( Tattwa Jnyaana : 62 )
“…Itulah yang disebut memuja Praana sangdhila jaati, yaitu Sejatinya Puja, sembahyangnya Suksma. Bila sudah demikian samadhi-nya sangat-sangat tajam, benar-benar hilangnya nafas yang kasar, mati lenyap keasalnya. Kesadaran suksma telah melebur ke Kesadaran Atma. Inilah kunci kesempurnaan. ( Tattwa Jnyaana : 62)
Ki Ageng Pengging telah mencapai tahap peleburan ini. Sesuai dengan yang diuraikan dalam Rontal Tattwa Jnyaana. Bila beliau mau, beliau bisa meninggalkan badan kasarnya, mati, sesuai dengan keinginannya sendiri.

Begitu beliau diangkat sebagai penguasa Pengging pengganti ayahandanya, dalam usia belia, beliau menikah. Seorang gadis dari daerah Tingkir, masih adik kandung Ki Ageng Tingkir, beliau persunting.

Pengging benar-benar damai. Jauh dari hiruk pikuk perpolitikan, Jauh dari pertikaian-pertikaian. Sunan Kalijaga pun, sering berkunjung ke Pengging bersama beberapa santri beliau.

Dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pengging senantiasa mendapat petuah-petuah yang sangat berharga. Walaupun Sunan Kalijaga beragama Islam dan Ki Ageng Pengging beragama Shiva Buddha, kedekatan hubungan mereka sudah tidak bisa digambarkan lagi. Secara khusus, Ki Ageng Pengging menyediakan musholla di kompleks Dalem Agung beliau. Ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat beliau yang beragama Islam. Dari sahabat-sahabat Islam beliau inilah, Ki Ageng Pengging tahu akan sosok Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Sosok ulama yang berseberangan dengan Dewan Wali Sangha.
Beberapakali dalam meditasinya, beliau mencoba menghubungi Syeh Lemah Abang. Dan Ki Ageng Pengging tersenyum puas manakala salam beliau senantiasa dijawab oleh Syeh Lemah Abang dengan senyuman yang luar biasa damainya.

Ki Ageng Pengging tahu, Syeh Lemah Abang bukan manusia sembarangan. Beberapakali pula, mereka bertemu didalam alam meditasi. Ki Ageng Pengging mencium kaki Syeh Lemah Abang dengan penuh hormat. Dan Syeh Lemah Abang senantiasa mengusap-usap kepala Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih. Sunan Kalijaga tahu akan semua itu. Dan beliau tersenyum bangga setiap kali dalam taffakur-nya, melihat Syeh Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging senantiasa bertemu, walau dalam alam lain. Walau tidak dialam nyata.

Dan manakala, sosok Syeh Lemah Abang mendadak berkunjung ke Pengging, betapa bahagianya Ki Ageng Pengging. Walau belum pernah bertemu secara fisik, Ki Ageng Pengging dan Syeh Lemah Abang, sudah sedemikian dekatnya. Begitu Syeh Lemah Abang hadir, Ki Ageng Pengging langsung bersujud didepan beliau. Mencium kaki beliau. Penuh hormat dan sangat-sangat bahagia. Pernah selama tiga hari tiga malam, keduanya meluangkan waktu untuk berdiskusi tentang intisari spiritualitas. Tidak hanya sekedar berdiskusi, keduanyapun masuk kekedalaman batin masing-masing. Dan disana, Syeh Lemah Abang, bersorak gembira begitu melihat Ki Ageng Pengging, dibawah awan-awan mind yang tenang, tengah ada dibawah beliau, tidak terlampau jauh. Dan disana, Ki Ageng Pengging mencakupkan kedua tangannya didepan dada, menyembah, sembari memandang Syeh Lemah Abang dengan senyum kedamaian.

Karena seringnya berkunjung ke Pengging, Syeh Lemah Abang akhirnya dipertemukan dengan sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging. Beberapa bangsawan muda keturunan Majapahit yang masing-masing juga memiliki wilayah kekuasaan. Mereka antara lain, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Ketiganya bahkan lantas tertarik memeluk Islam tanpa paksaan. Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, kelak terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang. Namun diam-diam, mata-mata Demak Bintara mengetahui semua itu. Laporan segera masuk ke hadapan Sultan Demak. Dan Sultan Demak meneruskan informasi itu ke Dewan Wali Sangha.

Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Dewan Wali Sangha. Dan Dewan Wali memerintahkan Sultan Demak agar semakin menungkatkan kegiatan mata-mata di wilayah Pengging. Sultan Demak merespon perintah tersebut, Jumlah pasukan mata-mata semakin ditambah di wilayah Pengging. Demak semakin waspada. Karena bila Pengging bergerak, dapat dipastikan, dukungan dari berbagai daerah akan mudah diraih. Apalagi ditambah sosok Syeh Lemah Abang dan Sunan Kalijaga disana, Pengging akan berubah menjadi kekuatan yang sangat menakutkan. Dan hal ini, adalah ancaman serius bagi keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara. Padahal, ketakutan Demak Bintara hanyalah ketakutan semu. Karena di Pengging, tidak ada pergerakan apapun. Ki Ageng Pengging tidak mempunyai rencana apapun untuk berbuat makar. Demak Bintara, hanya ketakutan sendiri.

Sunan Kalijaga membaca gelagat tersebut. Beliau memperingatkan Ki Ageng Pengging untuk waspada. Namun, Ki Ageng Pengging bagaimamapun juga masih berusia belia. Beliau kadang masih kurang perhitungan. Beliau sangat mencintai spiritualitas. Dan kecintaannya ini, membuat beliau tanpa perhitungan yang matang, menawarkan wilayah Pengging untuk dipakai sebagai tempat kepindahan Pesantren Krendhasawa milik Syeh Lemah Abang. Syeh Lemah Abang memang mempunyai rencana untuk memindahkan lokasi pesantrennya yang ada di Cirebon. Hal ini berkaitan dengan situasi politik Cirebon yang semakin memanas akibat terus-terusan menjalankan agresi militer ke Pajajaran. Cirebon sudah tidak kondusif lagi bagi peningkatan Kesadaran. Sudah sangat-sangat berubah. Sudah tidak sama lagi dengan Cirebon dimasa Syeh Dzatul Kahfi masih hidup.

Namun, Sunan Kalijaga melarang Syeh Lemah Abang menerima tawaran itu. Karena bila Syeh Lemah Abang menerimanya, pemerintah Demak Bintara akan menuduh beliau bersekongkol dengan Ki Ageng Pengging hendak mengadakan gerakan subversif. Syeh Lemah Abang memang tidak begitu memahami peta perpolitikan. Dan Sunan Kalijaga yang lebih paham. Oleh karenanya, Syeh Lemah Abang menolak tawaran Ki Ageng Pengging. Beliau memutuskan untuk tetap bertahan di Cirebon.

Dan, kabar bahwasanya Ki Ageng Pengging menawarkan wilayah Pengging sebagai tempat kepindahan pesantren Krendhasawa, diartikan lain oleh Pemerintahan Demak. Sultan Demak yang sudah terlanjur ketakutan, menyimpulkan bahwa memang tengah terjadi gerakan rahasia antara Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang.
Dan Dewan Walu Sangha-pun bertindak. Sunan Giri Kedhaton, mengeluarkan fatwa bahwa Syeh Lemah Abang adalah musuh kekhilafahan Islam di Jawa, dan tugas Sultan Demak dan Sultan Cirebon ( Sunan Gunung Jati ) untuk menangkap Syeh Lemah Abang. ( Cerita selengkapnya, baca catatan saya SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR ATAU SYEH SITI JENAR : Damar Shashangka ).

Terdengarlah kabar, Syeh Lemah Abang dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah Demak Bintara dengan tuduhan MENGAJARKAN AJARAN SESAT dan HENDAK MENGADAKAN MAKAR! Tak urung, Lontang Asmara, Sunan Panggung dan murid-murid Syeh Lemah Abang yang lain, ikut dijadikan sasaran pemerintah.
Kabar ini sampai juga ke Pengging. Ki Ageng Pengging berkabung. Begitu juga Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh. Untung, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, lepas dari daftar buruan pemerintah Demak. Tidak seperti Lontang Asmara dan Sunan Panggung.

Ki Ageng Pengging benar-benar merasa kehilangan. Dan beliau semakin menyadari, bagaimana posisinya di mata Sultan Demak. Dirinya dipandang sebagai duri dalam daging. Musuh dalam selimut. Tak urung, setelah Syeh Lemah Abang pasti akan tiba giliran beliau menjadi target untuk disingkirkan. Ki Ageng Pengging telah siap untuk itu. Siap menunggu giliran untuk disingkirkan. Bukan untuk melakukan perlawanan bersenjata, namun siap menerima ajal jika memang Sultan Demak menghendakinya. Ki Ageng Pengging sangat merindui sosok Syeh Lemah Abang. Apabila Syeh Lemah Abang pergi dari dunia maya ini, maka Ki Ageng Pengging berniat untuk mengikutinya. Apalah arti dunia bagi Ki Ageng Pengging. Dunia sama sekali sudah tidak menarik minat beliau.

Beberapa bulan setelah wafatnya Syeh Lemah Abang, Ki Ageng Pengging mengirimkan surat kepada Sultan Demak. Isi surat tersebut sangat mengejutkan. Ki Ageng Pengging befmaksud mengakhiri pemerintahan Pengging. Dan beliau meminta kepada Sultan Demak agar memasukkan wilayah Pengging ke kadipaten terdekat, sesuai kebijaksanaan Sultan Demak. Bahkan, Ki Ageng Pengging meminta agar Sultan Demak melepas segala jabatan politik beliau. Surat ini menggemparkan Demak Bintara. Begitu menerima surat tersebut, Sultan Demak mengadakan sidang mendadak dengan para petinggi Kesultanan. Sidang berjalan a lot. Dan hasil keputusan sidang, menyetujui permintaan Ki Ageng Pengging, walaupun sikap waspada tetap harus dijaga demi menghadapi maksud tersembunyi dari permintaan tersebut.

Keesokan harinya, Sultan Demak memerintahkan Patih Wanasalam, Patih Agung Kesultanan Demak Bintara, untuk berangkat menuju Pengging, menemui Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam ditugaskan untuk membacakan surat keputusan Sultan Demak dihadapan Ki Ageng Pengging sekaligus memenuhi keinginan Ki Ageng Pengging, mengadakan pelepasan jabatan. Disamping itu pula, Ki Wanasalam mendapat pesan khusus agar terus mencari informasi secara diam-diam tentang maksud sesungguhnya dari keinginan Ki Ageng Pengging. Rombongan Patih Agung Demak Bintara ini, sampai juga di wilayah Pengging. Kedatangan rombongan pasukan Kesultanan yang serba mendadak ini, menggemparkan Pengging. Para Prajurid Pengging, tanpa di komando, segera mempersiapkan diri untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Pengging mendadak tegang.

Rombongan dari Demak ini disambut oleh Ki Ageng Pengging. Kedatangannya yang mendadak, tanpa pemberitahuan, memang disengaja agar bisa melihat kondisi Pengging yang sesungguhnya. Seluruh pasukan Demak diberi tempat istirahat tersendiri. Ki Patih Wanasalam, diberikan tempat khusus. Perjalanan yang agak jauh, membuat Sang Patih kecapaian. Setelah disambut oleh Ki Ageng Pengging, Ki Patih Wanasalam, diberikan waktu untuk beristirahat sejenak.

Manakala dirasa sudah pulih tenaganya, Ki Wanasalam mengutus seorang prajurid agar menghadap Ki Ageng Pengging. Ki Ageng diminta bersiap sedia karena Ki Wanasalam hendak menyampaikan amanat Sultan Demak. Dan prajurid yang diutus, kembali dengan menyampaikan pesan dari Ki Ageng agar Ki Patih berkenan menuju Bale Pisowanan.
Ki Wanasalam, diiringi beberapa pengawal khusus, berangkat terlebih dahulu menuju Bale Pisowanan. Setelah Ki Patih sudah tiba disana, baru Ki Ageng Pengging menyusul. Hal ini adalah etika kerajaan Jawa, dimana seorang pejabat besar, harus terlebih dahulu ada di Bale Pisowanan, baru pejabat dibawahnya datang menghadap.

Setelah keduanya berada di Bale Pisowanan, Ki Ageng Pengging menyatakan kesiapannya mendengarkan amanat Sultan Demak Bintara. Ki Wanasalam segera menjelaskan, bahwa surat Ki Ageng telah diterima oleh Sultan Demak. Dan Sultan Demak telah mengadakan sidang khusus. Hasil keputusan sidang, telah tertulis didalam gulungan Surat Keputusan Sultan yang kini dipegang oleh Ki Wanasalam. Sebelum dibacakan, Ki Wanasalam menanyakan kesungguhan isi surat yang dikirimkan Ki Ageng Pengging. Lantas rencana apa yang hendak dilakukan Ki Ageng apabila keinginannya dikabulkan oleh Sultan Demak ?
Ki Ageng menghaturkan sembah sebelum menjawab, lantas beliau menuturkan bahwasanya apa yang telah beliau tulis dalam surat yang telah dikirimkan ke hadapan Sultan Demak memang benar-benar telah menjadi niatan dan kebulatan tekad beliau. Manakala keinginannya yang tertulis didalam surat tersebut dikabulkan, maka beliau hanya meminta agar pajak wilayah Pengging tidak dinaikkan serta memberikan tanah kepada Ki Ageng Pengging cukup beberapa jung ( hektar ) saja, sekedar sebagai tempat tinggal dan lahan bersawah.

Ki Wanasalam belum puas, dia terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh selidik. Tentang hubungannya dengan Sunan Kalijaga, tentang nasib para prajurid Pengging kelak dikemudian hari, tentang jumlah perenjataan Pengging, tentang perekonomian Pengging dan tentang hubungan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang dan para murid-muridnya. Ki Wanasalam sengaja ingin mendengar langsung jawaban dari Ki Ageng Pengging, demi untuk mencari-cari hal-hal yang janggal dari kata-kata beliau.

Namun, tidak satupun jawaban yang diberikan oleh Ki Ageng Pengging nampak ada kejanggalan disana. Ki Wanasalam tetap belum sepenuhnya percaya, dan pada akhirnya, Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan simbolik. Pertanyaan yang sudah dipesankan oleh Sultan Demak. Pertanyaannya adalah sebagai berikut :

“Mana yang dipilih, ATAS atau BAWAH. KOSONG atau ISI?”

Ki Ageng Pengging tersenyum. Sejenak beliau terdiam. Lantas memberikan jawaban :
“Manakah yang hendak saya pilih ? Tidak ada. Sebab baik ATAS, BAWAH, KOSONG maupun ISI. Semuanya adalah milik saya.”

Ki Wanasalam terkejut mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. Sekali lagi Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan serupa. Dan kembali Ki Ageng Pengging memberikan jawaban yang sama, dan beliau tambahi :

“Janganlah salah mengerti. AKU ini adalah segalanya. AKU ada dimana-mana. AKU telah melampaui segalanya. Jadi, manalagi yang bisa AKU pilih ? Karena semuanya adalah AKU.”

Ki Wanasalam tersenyum dan berkata :

“Tuluskah jawaban Ki Ageng ? Tidak adakah maksud lain ?”

Ki Ageng Pengging tersenyum. Dia tidak menjawab lagi. Jawaban Ki Ageng Pengging sangatlah tulus. Namun Ki Wanasalam tetap tidak bisa menangkap ketulusan itu. Dia masih curiga. Curiga jikalau jawaban itu bernilai ambigu. Tidak murni spiritual, namun tersirat juga maksud Ki Ageng Pengging mempunyai rencana merebut tahta Demak Bintara. Pikiran Ki Wanasalam yang sudah terpola dengan kecurigaan, tidak bisa melihat ketulusan kata-kata Ki Ageng Pengging.

Melihat orang yang pikirannya seliar ini, maka percuma Ki Ageng Pengging mengulangi kata-katanya. Beliau lantas memilih diam dan tersenyum. Senyum geli seseorang yang melihat keserakahan tampak didepan matanya. Keserakahan manusia yang terobsesi keduniawian. Dan lagi lagi, senyum ini diartikan lain oleh pikiran Ki Wanasalam. Pikiran yang sudah penuh dengan setan-setan liar.

Jika Ki Wanasalam sadar, dia seharusnya malu. Malu kepada sosok pemuda yang umurnya terpaut jauh dengannya, namun batinnya lebih tulus daripada batinnya sendiri.
Dan pada akhirnya, Ki Wanasalam menyampaikan amanat Sultan Demak. Dia mengeluarkan surat keputusan Sultan Demak. Sembari berdiri, dia membacakan surat keputusan tersebut.

Surat tersebut berisi, mulai semenjak hari yang tertanda dalam surat keputusan Sultan Demak, Ki Ageng Pengging dilepas dari jabatannya sebagai Adipati Pengging. Dan, Pengging bukan lagi wilayah tersendiri. Pengging akan dimasukkan ke wilayah terdekat. Untuk sementara, menunggu keputusan lebih lanjut, Ki Ageng Pengging harus tetap memimpin Pengging dan tetap menjaga keamanan Pengging. Gemparlah seluruh prajurid Pengging mendengar surat keputusan Sultan Demak tersebut. Sedang, Ki Ageng Pengging malah tersenyum puas. Karena dengan lepasnya jabatan sebagai Adipati dari pundaknya, maka setidaknya, rasa ketidak terimaan beliau akan tahta yang direbut Raden Patah, yang masih tersisa sedikit direlung hatinya, bisa dimatikan ! Namun, tidak begitu bagi para prajurid Pengging. Banyak yang menahan amarah ketidak terimaan. Selesai membacakan surat keputusan Sultan Demak, Ki Patih Wanasalam, menggulung surat tersebut, menyimpannya kembali dan duduk. 
Lantas Ki Patih berkata :

“Mulai hari ditetapkannya surat keputusan ini, ananda Ki Ageng Pengging sudah bukan lagi seorang Adipati. Dan atas perintah Kangjeng Sultan Demak, ananda harus menghadap ke Demak demi menunjukkan kesetiaan ananda.”

Ki Ageng menjawab :

“Ki Patih, apa perlunya hamba menghadap ke Demak ? Toh sekarang saya bukan siapa-siapa lagi. Sudahlah, saya sekarang hanyalah orang Sudra, wong cilik. Kangjeng Sultan Demak seyogyanya jangan lagi mencurigai hamba.”

Ki Patih berkata tegas :

“Ini adalah perintah seorang Sultan. Dan beliau memberi waktu bagi ananda tiga tahun kedepan.”

Dan, upacara pelepasan jabatan-pun segera dilakukan. Setelah upacara usai, Ki Wanasalam kembali ke tempat istirahatnya. Dan Ki Ageng Pengging, kembali ke Dalem Agung.

Berita dilepasnya jabatan Adipati dari pundak Ki Ageng Pengging, segera menyebar ke seluruh penjuru Pengging. Menyebar dari mulut ke mulut. Ketidak puasan pun terdengar. Banyak yang tidak bisa menerima akan hal tersebut. 
Keesokan harinya, kembali Ki Wanasalam bertemu Ki Ageng Pengging untuk berpamitan.
Hari itu, Pengging gempar. Para Lurah Prajurid Pengging memohon menghadap kepada Ki Ageng Pengging demi untuk menanyakan maksud keputusan tersebut. Dan kepada para Lurah Prajurid Pengging, Ki Ageng mengiyakan keputusan beliau tersebut dan seluruh masyarakat Pengging diminta menerima kenyataan ini. Bagaikan menelan pil pahit para Lurah Prajurid mendengarnya. Ki Ageng Pengging lantas memberikan kepada mereka, untuk bergabung menjadi prajurid Kadipaten yang bakal dipasrahi wilayah Pengging kelak atau melepaskan jabatan sebagai prajurid dan bertani. Para Lurah Prajurid segera mengumpulkan prajurid Pengging. Kepada mereka, para Lurah Prajurid menawarkan pilihan dari Ki Ageng Pengging. Dan sungguh tidak disangka, seluruh prajurid menyatakan hendak meletakkan senjata dan memilih menjadi petani biasa, mengikuti junjungan mereka, Ki Ageng Pengging.

Dan, di Demak, kabar dilepasnya jabatan Ki Ageng Pengging sebagai Adipati pun merebak pula. Ki Wanasalam sudah menyampaikan hasil dia diutus ke Pengging. Sultan Demak sedikit berlega hati. Namun manakala dia mendengar bahwasanya Ki Ageng Pengging tampak enggan untuk menghadap ke Demak, kecurigaannya kembali muncul.
Tinggal menunggu waktu. Jika sampai tiga tahun mendatang Ki Ageng Pengging tetap tidak menghadap ke Demak, maka tidak ada jalan lain, cucu Prabhu Brawijaya V itu, harus disingkirkan seperti halnya Syeh Lemah Abang.

Keputusan resmi dari pemerintahan Demak Bintara mengenai status wilayah Pengging tidak juga kunjung turun. Ki Ageng Pengging enggan mempertanyakan hal tersebut. Walaupun sesungguhnya, beliau sudah resmi tidak menjabat sebagai seorang Adipati, namun pada kenyataannya, beliaulah yang tetap harus mengelola Pengging dan menjaga kawasan tersebut agar senantiasa kondusif. Tentu saja, statusnya yang bukan Adipati, mempersulit bagi beliau untuk mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan baru dalam urusan ketata negaraan. Pengging ibarat wilayah tanpa penguasa. Pengging stagnan dalam segala bidang. Hanya penarikan upeti dan penyaluran ke pemerintah pusat saja yang terus berjalan. Selain itu, Pengging sudah tidak berarti apa-apa lagi.

Hampir semua para tamu yang masih terjaga, melihat cahaya itu. Yang tertidur cepat-cepat dibangunkan teman-teman mereka. Kejadian yang langka ini segera menyita perhatian semua yang tengah bersuka cita menyambut kelahiran Ki Mas Karebet. Semua tamu-pun sibuk memperkirakan, cahaya apa yang barusan terlihat. Sinarnya terang sedikit kebiru-biruan. Kepercayaan masyarakat Jawa menyebut cahaya itu ANDARU KILAT, atau cukup disebut NDARU. Suatu cahaya yang membawa ‘Wahyu Keprabhon’ atau tanda bahwa dimana kediaman orang yang kejatuhan ANDARU KILAT, sudah bisa dipastikan, kelak akan menjadi Penguasa Agung. Menjadi seorang Raja Besar!
Dalam kemiliteran, Pengging sama sekali sudah lumpuh. Pengging adalah wilayah terbuka tanpa perlindungan. Untung, Pengging tetap terkendali.

Kehidupan para penduduk Pengging tetap bersahaja. Para bekas prajurid Pengging yang kini turun ke sawah dan tidak lagi mendapatkan gaji resmi, masih tetap siap sedia mengangkat senjata jika Ki Ageng memerintahkan. Pengging bagai wilayah tak bertuan.
Ki Ageng Tingkir, yang mendengar kabar tersebut, bertandang ke Pengging. Beliau menanyakan maksud keputusan Ki Ageng Pengging, adik iparnya. Dan Ki Ageng Pengging memberikan jawaban yang sejujurnya, bahwasanya ia sudah tidak mau lagi terlibat dengan urusan tetek bengek politik. Beliau lilo legowo, menerima, untuk sekedar menjadi wong cilik, asal hidup lebih tenang dan jauh dari keserakahan duniawi.

Namun, Ki Ageng Tingkir mengingatkan. Pada kenyataannya, kondisi yang dialami Ki Ageng Pengging sekarang jauh lebih sulit. Jelas, beliau bukan lagi Adipati. Namun tugas-tugas seorang Adipati masih harus beliau jalankan. Tanpa hak kewenangan mengeluarkan kebijaksanaan. Tanpa hak mempunyai kekuatan perlindungan wilayah. Tanpa hak gaji penuh dari hasil pajak. Sesungguhnya, Ki Ageng Pengging, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan untuk lepas dari kegiatan perpolitikan. Pihak Demak rupa-rupanya sengaja membuat status Pengging menggantung seperti itu. Dan apakah kondisi seperti ini yang diinginkan ?

Ki Ageng Pengging terdiam. Dan Ki Ageng Tingkir menyarankan, apabila memang sudah mantap dengan keputusannya, seyogyanya, segera meminta kepada Sultan Demak untuk memberikan keputusan pasti mengenai Pengging. Dan itu berarti, Ki Ageng harus melayangkan surat ke pemerintah pusat. Atau kalau perlu, menghadap langsung Sultan Demak.

Dan Ki Ageng Pengging tampak enggan. Melihat keengganan di wajah adik iparnya, Ki Ageng Tingkir mengingatkan sekali lagi dengan nada agak keras :

“Jika memang dhimas masih menginginkan tahta, jangan setengah-setengah lagi. Ingat, kakang siap dibelakang dhimas”

Dan Ki Ageng Tingkir mohon diri.

Dan itulah terakhir kali Ki Ageng Pengging melihat kakak iparnya. Dua bulan kemudian, Ki Ageng Tingkir wafat. Ki Ageng Tingkir sudah memeluk Islam. Manakala jenazah hendak dimandikan, Ki Ageng Pengging berbisik ditelinga kanan jenazah kakak iparnya :

“Kakang Tingkir, antinen sedhela maneh. Ingsun bakal nusul bebarengan nyabrang segara rahmat.”

(Kakang Tingkir, tunggulah sebentar lagi. Aku akan menyusulmu untuk bersama-sama mengarungi lautan Kasih.)

Kelahiran Ki Mas Karebet.

Istri Ki Ageng Pengging, yang sudah mengandung beberapa waktu lalu, sudah saatnya melahirkan. Kelahiran putra pertama Ki Ageng Pengging ini disambut gemuruh suka cita rakyat Pengging. Upacara kelahiran-pun digelar sangat meriah. Beberapa Pandhita Shiva Buddha datang tanpa diundang demi untuk memberikan doa-doa keselamatan. Hadir pula Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Mereka yang beragama Shiva Buddha dan Islam, bercampur, bersuka ria menyambut kelahiran putra Ki Ageng.
Pertunjukan Wayang Beber ( wayang yang diceritakan dengan cara membentangkan gambar. Beber artinya Bentang. Wayang Beber artinya Wayang yang dibentangkan : Damar Shashangka. ) digelar hingga tujuh malam.

Ki Ageng Pengging, memberikan nama Ki Mas Karebet kepada putranya. Karebet adalah nama lain dari Wayang Beber. Wayang Karebet sama artinya dengan Wayang Beber. ( Kelak, Ki Mas Karebet terkenal dengan nama Jaka Tingkir. Setelah berhasil menjadi Sultan Pajang, lantas bergelar Sultan Adiwijaya : Damar Shashangka. )

Pada malam ke tujuh, menjelang dini hari, manakala pertunjukan Wayang hamper usai, para tamu dikejutkan dengan jatuhnya seberkas cahaya dari langit menuju Dalem Agung. Cahaya yang sangat jelas itu meluncur dari atas langit, bergerak cepat, mengarah atap Dalem Agung dimana Ki Mas Karebet ada didalam sana. Dan Cahaya itu lenyap tepat setelah menyetuh atap. Para tamu geger. Para Pandhita segera memerintahkan untuk segera merakit sesajen sebagai sarana pelaksanaan sembahyang syukur . Hyang Widdhi Wasa, telah memberikan kepercayaan besar kepada keturunan Ki Ageng Pengging kelak, untuk menjadi Raja Tanah Jawa. Menjelang pagi hari, begitu pertunjukan Wayang Beber usai, upacara persembahyangan pun digelar! Mantram-mantram Weda terlantun syahdu pagi-pagi buta. Semua tamu yang beragama Shiva Buddha, ikut serta melaksanakan persembahyangan. Dupa mengepul. Merebak mewangi kesegenap penjuru. Suara genta Sang Pandhita berdenting-denting mengiringi ucaran-ucaran mantra.

Duta Demak Bintara.

Tiga tahun sudah berlalu. Dan tiga tahun sudah Ki Ageng Pengging harus mengelola Pengging tanpa status yang jelas. Mas Karebet, tumbuh menjadi bayi yang sehat dan montog. Kulitnya yang putih bersih, tubuhnya yang mungil dan tawanya yang menggemaskan, sangat-sangat menghibur Ki Ageng Pengging beserta istri beliau. Kehidupan Ki Ageng Pengging benar-benar bahagia. Hyang Widdhi melimpahkan kedamaian cinta kasih dalam keluarga beliau. Namun, lain lagi situasi di Demak Bintara. Tenggang waktu yang diberikan Sultan Demak kepada Ki Ageng Pengging, telah sampai kepada batasnya. Sultan Demak merasa perlu untuk mengambil tindakan tegas. Ki Ageng Pengging, telah dianggap ‘mbalelo’ atau membangkang perintah Sultan. Setelah menggelar siding dengan para pembesar Kesultanan. Sultan Demak segera mengirim utusan ke Giri Kedhaton, meminta restu Sunan Giri, pemimpin Dewan Wali Sangha, untuk memberi wewenang mengambil keputusan tegas kepada Ki Ageng Pengging. Dan, Dewan Wali merestuinya.

Pada hari yang dipilih, Sultan Demak mengutus Senapati Agung Demak Bintara, Sayyid Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus untuk menemui Ki Ageng Pengging. Perintah yang diberikan sangatlah tegas, yaitu memerintahkan Ki Ageng Pengging untuk menghadap ke Demak Bintara. Apabila tetap bersikukuh dengan keengganannya, maka Senapati Demak diberikan wewenang penuh untuk menyingkirkan Ki Ageng Pengging, yang sudah dianggap sebagai pembangkang. Diiringi tujuh ratus prajurid pilihan Demak Bintara dengan persenjataan lengkap siap tempur, berangkatlah Sunan Kudus ke Pengging. Tidak diceritakan dalam perjalanan, Sunan Kudus beserta prajurid pilihan Demak Bintara, akhirnya sampai diwilayah Pengging. Malam telah menjelang. Hal ini memang sudah direncanakan oleh Sunan Kudus, yaitu tiba di Pengging tepat malam hari. Setelah beristirahat sejenak, Sunan Kudus memerintahkan pasukan membagi empat kelompok. Masing-masing ditempatkan di keempat penjuru arah, mengepung Pengging! Seluruh prajurid segera bergerak menempati pos masing-masing. Pengging, dalam sekejap telah terkepung dari semua arah.

Namun, gerakan pasukan Demak ini diam-diam diketahui oleh beberapa masyarakat Pengging mantan prajurid. Secepatnya mereka menghubungi mantan Lurah Prajurid Pengging, melaporkan gerak pasukan tak dikenal yang terlihat telah mengepung wilayah Pengging! Mantan Lurah Pengging segera menghadap ke Dalem Agung. Malam itu, Ki Ageng Pengging mendapat laporan dari mantan Lurah Prajurid Pengging, bahwasanya, wilayah Pengging, telah dikepung dari empat penjuru oleh sepasukan tak dikenal! Dan mantan Lurah Prajurid memperkirakan, mereka adalah pasukan dari Demak Bintara. Mantan Lurah Prajurid memohon kepada Ki Ageng untuk memerintahkan sesuatu kepada mereka. Dan Ki Ageng memerintahkan agar tetap tenang. Beliau tidak mau ada pertumpahan darah. Yang diincar pasukan Demak adalah dirinya. Maka, Ki Ageng meyakinkan mereka, beliau akan menyelesaikan permasalahan ini secara damai. Namun, tidak ada salahnya para mantan prajurid Pengging disiagakan malam ini juga.

Mantan Lurah Pengging, mendengar jawaban Ki Ageng Pengging, segera bergegas mohon undur. Dengan menggunakan sandi suara burung malam tiruan, suara sandi prajurid Pengging dulu, mantan Lurah Pengging, memerintahkan beberapa orang yang kebetulan bersamanya untuk memberi peringatan tanda bahaya kepada segenap mantan prajurid yang kini tengah tertidur lelap dikediaman masing-masing. Dari rumah kerumah, begitu mendengar bunyi sandi suara burung malam tiruan, para bekas prajurid Pengging terjaga. Kalaupun ada yg tidak terjaga saking lelapnya tertidur, istri maupun keluarga yang lain segera membangunkan mereka! Para mantan prajurid ini sudah terbiasa mendengar isyarat suara burung malam tiruan tersebut. Yaitu suara yang dibuat oleh beberapa prajurid untuk memperingatkan agar seluruh prajurid waspada dan siaga. Disana-sini, diseluruh Pengging, para mantan prajurid seketika terbangunkan. Masing-masing segera mengenakan pakaian tempur dan mengambil senjata masing-masing yang sudah hampir tiga tahun tidak pernah mereka pergunakan lagi.

Kini, tinggal menunggu suara tersebut terdengar lagi. Jika kembali terdengar, maka pertanda, seluruh prajurid harus menempati pos mereka dahulu. Pos masing-masing. Namun, bunyi yang dinanti-nantikan, tidak juga kunjung terdengar. Para mantan prajurid Pengging, yang sudah siap sedia dirumah masing-masing, terjaga semalaman suntuk.

(Inilah kejadian sesungguhnya yang terjadi waktu itu. Dalam Babad Tanah Jawa, hanya diceritakan, begitu Sunan Kudus dan bala tentara Demak tiba dipinggiran wilayah Pengging, mereka serta merta membunyikan gong Kyai Sima. Sima berarti Harimau. Dan bunyi gong tersebut menggema kesegenap wilayah Pengging pada malam hari itu juga, sehingga seluruh masyarakat Pengging tidak bisa tidur semalam suntuk karena ketakutan. Padahal yang dimaksud, bahwasanya kedatangan Sunan Kudus beserta pasukan Demak diwilayah Pengging, bagaikan seekor Harimau yang tengah mengincar mangsanya, yaitu Ki Ageng Pengging. Dan kedatangannya dimalam hari, sudah diketahui oleh para prajurid Pengging. Babad Tanah Jawa sendiri, ternyata juga mencoba merendahkan Pengging dengan cerita bernuansa mistis. : Damar Shashangka) 
Dan, Sunan Kudus yang berpengalaman, juga telah menyadari bahwa kehadirannya beserta tentara Demak telah diketahui masyarakat Pengging. Seluruh pasukan Demak, melalui kurir-kurir khusus yang diutus dari pos ke pos lain, diperintahkan untuk siap tempur! Namun, dilarang menyerang dahulu apabila tidak diserang.

Seluruh Lurah Prajurid pemimpin pos, baik yang ada diutara, timur, selatan dan barat, setelah menerima pesan kurir, segera memerintahkan seluruh pasukan untuk siap tempur!! Busur dan anak panah telah terpasang! Senjata telah terhunus! Tinggal menunggu komando selanjutnya. Di Pihak Pengging, melihat gelagat pasukan asing yang dicurigai berasal dari Demak Bintara, ternyata juga mengambil sikap serupa! Para Lurah Prajurid Pengging, terus mengamati seluruh pasukan asing yang mengepung wilayah Pengging ini. Mereka memutuskan, tidak akan menyerang apabila mereka tidak diserang! Dan bunyi sandi suara burung malam tiruan, tidak juga segera terdengar lagi. Kedua pihak, siap ditempat masing-masing. Tidak ada yang bergerak mendahului. Menanti perkembangan selanjutnya! Baik di pihak Demak maupun di pihak Pengging, semalam itu, suasana sangat mencekam.

Menjelang pagi, Para Lurah Prajurid Pengging menemui Ki Ageng Pengging. Mereka meminta petunjuk selanjutnya. Dan Ki Ageng Pengging, mengutus seorang Lurah Prajurid beserta beberapa prajurid pilihan untuk menemui pemimpin pasukan yang mengepung wilayah beliau semenjak semalaman. Seorang Lurah Prajurid Pengging, diiringi beberapa prajurid pilih tanding, segera menuju pos pasukan Demak terdekat. Mereka menemui Lurah Prajurid Demak yang kebetulan bertugas memimpin pos utara dan menyatakan ingin bertemu pemimpin pasukan Demak atas permintaan Ki Ageng Pengging. Lurah Pasukan Demak segera mengirim kurir ketempat mana Sunan Kudus berdiam diri. Sunan Kudus mengijinkan, dan Lurah Prajurid Pengging dengan pasukannya, diiringi beberapa pasukan Demak, segera menuju ke tempat Sunan Kudus. Lurah Prajurid Pengging, sekarang semakin yakin, bahwa pasukan yang tengah mengepung wilayah Pengging adalah benar-benar dari Demak Bintara! Setelah bertemu muka dengan Sunan Kudus, Lurah Prajurid Pengging segera menanyakan maksud kedatangan Sunan Kudus diwilayah Pengging. Dan terang-terangan Sunan Kudus menjawab, dia diperintahkan oleh Sultan Demak untuk membawa Ki Ageng Pengging menghadap ke Demak!

Lurah Prajurid Pengging sedikit mengungkapkan ketidak senangannya dengan cara kedatangan pasukan Demak yang mengepung Pengging seperti itu. Seolah-olah, Pengging adalah wilayah pembangkang, pemberontak dan siap untuk dilumatkan!
Dan Sunan Kudus menjawab :
Kalian hanya rakyat kecil. Ini urusan orang besar. Sudah jangan ikut campur. Antarkan aku menemui Ki Ageng Pengging!
Walau dengan hati panas, Lurah Prajurid Pengging segera mengantarkan Sunan Kudus menemui Ki Ageng Pengging. Pagi itu, Ki Ageng Pengging baru usai sembahyang. Masih tampak bunga segar terselip ditelinga kanannya. Lurah Prajurid Pengging yang diutus menemui pasukan Demak, menghadap. Dia melaporkan bahwa Sunan Kudus, Senapati Agung Demak Bintara, datang untuk bertemu dengan Ki Ageng Pengging pribadi.

Ki Ageng Pengging mempersilakan Senapati Agung Demak Bintara itu menemui beliau di Dalem Agung. Sunan Kudus, diiringi beberapa prajurid Demak segera menuju Dalem Agung. Lantas, setelah dipersilakan masuk oleh Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus-pun masuk ke bilik dalam. Prajurid pengiring dari Demak, menunggu diluar. Ki Ageng Pengging, memerintahkan pelayan untuk mempersiapkan hidangan bagi Sunan Kudus dan beberapa prajurid Demak yang tengah berjaga-jaga diluar. Didalam bilik Dalem Agung, Sunan Kudus kini duduk bersila, berhadap-hadapan dengan Ki Ageng Pengging. Setelah berbasa-basi sejenak, Ki Ageng Pengging segera menanyakan maksud kedatangan Sunan Kudus beserta pasukan Demak. Sunan Kudus menegaskan, bahwasanya kedatangannya mengemban perintah Sultan Demak untuk membawa Ki Ageng Pengging menghadap ke Demak Bintara sesuai dengan tenggang waktu yang pernah diberikan oleh Sultan Demak melalui Ki Patih Wanasalam, tiga tahun yang lalu. Dan Sunan Kudus, tanpa basa-basi lagi menunjukkan surat perintah Sultan kehadapan Ki Ageng Pengging langsung!

Ki Ageng Pengging tersenyum. Beliau kembali menyatakan bahwa, sudah tidak ada perlunya beliau menghadap ke Demak. Karena semenjak tiga tahun lalu, beliau bukan siapa-siapa lagi. Beliau hanya sekedar orang desa, yang tengah menjalani kehidupan bersahaja, tidak ada kaitan sama sekali dengan perpolitikan Negara. Beliau hanyalah seorang pertapa biasa. Mengapakah Sultan Demak sangat-sangat berkepentingan dengan orang seperti dirinya? Seorang pertapa desa yang tidak ada keistimewaannya apapun.
Sunan Kudus meragukan kata-kata Ki Ageng Pengging. Sunan Kudus meminta bukti kalau memang Ki Ageng Pengging memang seorang pertapa biasa. Dan Sunan Kudus menantang berdebat tentang Ilmu Sejati dengan Ki Ageng Pengging.

Ki Ageng Pengging menerima tantangan tersebut.

Dan terjadilah Tanya jawab tentang Ilmu Sejati. Sunan Kudus melempar pertanyaan dan Ki Ageng Pengging menjawabnya. Dan jawaban-jawaban Ki Ageng Pengging, beberapakali sempat membuat Sunan Kudus terperangah.

Pada suatu kesempatan, Sunan Kudus melemparkan pertanyaan simbolik sebagai berikut :

Kalamun Ingsun kapanggih kalawan kekasihingwang,
Dadi Kawula pan mami,
Kalamun Ingsun kapisah kalawan kekasih mami,
Sun dadi Ratu,
Ratu Ratuning sabumi,
Ratu Angratoni Jagad.

(Manakala Ingsun ( Aku ) bertemu dengan kekasih-Ku,
Ingsun ( Aku ) menjadi Kawula ( Hamba ),
Manakala Ingsun ( Aku ) terpisah dengan kekasih-Ku,
Ingsun ( Aku ) menjadi Raja,
Raja Diraja seluruh bumi,
Raja Yang Merajai Jagad Raya )

Siapakah Ingsun ( Aku ) dan siapakah kekasih-Ku ?

Ki Ageng Pengging tersenyum dan menjawab :

Ingsun ya Ingsun,
Datan ana roro telu,
Kasebut Hyang Paramashiwah, Hyang Sadashiwah lan Hyang Atma,
Telu-telune jatine Tunggal.

(Ingsun ( Aku ) adalah Ingsun ( Aku ),
Tiada lagi yang kedua maupun ketiga,
Disebut juga Hyang Paramashiva, Hyang Sadashiva dan Hyang Atma,
Ketiga-tiganya sesungguhnya adalah Satu)

Kasebut ugi Allah, Rasul lan Mukhammad,
Telu-telune Tunggal uga.

(Disebut juga Allah, Rasul dan Mukhammad,
Ketiga-tiganya sesungguhnya adalah Satu juga)

Kang ingaranan kekasihingwang,
Ya jisim ya suksma,
Yen Ingsun kapanggih kalawan jisim lan suksma,
Ingsun dadya Kawula,
Yen Ingsun kapisah kalawan jisim lan suksma,
Ingsun Pan dadya Ratu,
Ratu Ratuning Jagad,
Ya Brahman Ya Allah,
Tan liyan saking punika.

(Yang disebut kekasih-Ku,
Adalah Jasad dan Suksma,
Manakala Ingsun ( Aku ) bertemu dengan Jasad dan Suksma,
Ingsun ( Aku ) menjadi Kawula ( Hamba ),
Manakala Ingsun ( Aku ) terpisah dengan Jasad dan Suksma,
Ingsun ( Aku ) menjadi Raja,
Raja Diraja Semesta,
Ya Brahman Ya Allah,
Tiada lain dari itu!)

Sunan Kudus tersenyum mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. Dan perdebatan semakin panas!

Sunan Kudus bertanya.

“Ana Curiga kalawan Warangka. Yen mung katon Warangka, aneng ngendi Curiganira?”
(Ada Keris dan Warangka. Manakala hanya terlihat Warangka, dimanakah Kerisnya ?)

Ki Ageng Pengging menjawab,

“Amanjing Warangka. Manunggal anyawiji!”

(Masuk kedalam Warangka. Manunggal menjadi satu!)

Sunan Kudus tersenyum, lantas bertanya lagi.

“Yen mung katon Curiga, aneng ngendi Warangkaneki?”

(Manakala hanya terlihat Keris, dimanakah Warangkanya? )

Ki Ageng Pengging menjawab.

“Amanjing Curiga. Manunggal anyawiji!”

(Masuk ke dalam Keris. Manunggal menjadi satu ! )

Kemudian Sunan Kudus bertanya.

“Yen musna ilang lelorone, dumunung ing ngendi?”

(Manakala hilang musna keduanya, berada dimanakah?)

Ki Ageng Pengging menjawab.

“Dumunung aneng Urip!”

(Berada didalam Hidup!)

Sunan Kudus tertawa. Lantas dia bertanya lagi..

“Ana ing ngendi dununging Urip?”

(Dimanakah tempat kediaman Hidup?)

Ki Ageng pun menjawab.

“Ana Ing Galihing Kangkung,

Ana Ing Gigiring Punglu,

Ana Ing Susuhing Angin,

Ana Ing Wekasaning Langit.

(Berada di inti tumbuhan Kangkung,

Berada di sudut Pelor,

Berada di Kediaman Angin,

Berada di akhir Langit. )

(Tumbuhan Kangkung berlobang dibagian tengahnya, lantas dimanakah intinya tumbuhan kangkung? Pelor atau mimis jaman dulu, berbentuk bulat, lantas dimanakah sudutnya? Angin senantiasa bergerak, lantas dimanakah kediamannya ? Langit tanpa batasan, lantas dimanakah akhir langit? Inti Kangkung, Sudut Pelor, Kediaman Angin dan Akhir langit, disitulah tempat kedudukan Hidup berada.)

Kembali Sunan Kudus tersenyum, dan Sunan Kudus belum puas. Kembali dia melempar pertanyaan. “Yen ilang Alip, lebur marang Lam Awal lan Lam Akhir. Ilang Lam Awal lan Lam Akhir, lebur marang Ha’. Yen lebur Ha’ dumunung aneng ngendi?”
(Jika hilang huruf Alif, maka lebur kedalam Lam Awwal dan Lam Akhir. Jika hilang Lam Awwal dan Lam Akhir, lebur kedalam Ha’. Jika lebur Ha’, berada dimanakah ? )
Ki Ageng menjawab.

“URIP!”
(Hidup!)
Sunan Kudus menyela.
“ALIP Jisimingsun!”
(ALIP Jasad-Ku! )
Ki Ageng menyela juga.
“ANG Raganingsun!”
(ANG Raga-Ku! )
Sunan Kudus menyela lagi.
“LAM AWAL lan LAM AKHIR Napsuningsun!”
(LAM AWWAL dan LAM AKHIR Nafs-Ku! )
Ki Ageng menyela juga.
“UNG Suksmaningsun!”
(UNG Suksma-Ku ! )
Sunan Kudus menimpali lagi.
“HU Ruhingsun !”
(HU Roh-Ku ! )
Ki Ageng menimpali juga.
“MANG Atmaningsun!”
(MANG Atma-Ku ! )
Sunan Kudus.
“ALLAH Asmaningsun!”
(ALLAH Nama-Ku ! )
Ki Ageng Pengging.
“HONG Asmaningwang!”
(HONG Nama-Ku ! )
Sunan Kudus.
“ALIP, LAM AWAL, LAM AKHIR, HU…………ALLAH!”
Ki Ageng Pengging.
“ANG, UNG, MANG………….HONG!”

ANG,UNG,MANG, HONG (AM,UM,MAM,AUM)
Sunan Kudus diam. Lantas menantang secara halus.
“Yen tebu weruh legine, yen endhog weruh dadare!”
(Apabila Tebu nyata manisnya, apabila telur nyata isinya!”
(Ungkapan ini adalah ungkapan khas Jawa, yang maksudnya meminta bukti nyata dari semua yang telah diucapkan : Damar Shashangka )
Ki Ageng tersenyum dan berkata : “ Sumangga ing karsa..” ( Silakan..)
Ki Ageng Pengging lantas bersendekap dan meminta Sunan Kudus memperhatikan titik diantara kedua alis mata beliau. Lantas, Ki Ageng memejamkan mata.
Sunan Kudus awas, dia lekat memperhatikan titik diantara kedua alis mata Ki Ageng Pengging. Suasana mendadak berubah, ruangan dimana Sunan Kudus berada, terasa hampa, senyap dan seolah tanpa suara sama sekali. Beberapa detik kemudian, Sunan Kudus mendadak tersentak manakala dia melihat cahaya terang nan lembut memancar dari titik diantara kedua mata Ki Ageng Pengging!
Cahaya yang lembut itu menerobos kesadaran Sunan Kudus. Dan disana, ditengah hempasan cahaya tersebut, Sunan Kudus melihat dirinya berada disana. Sejenak kemudian berubah menjadi wujud Ki Ageng Pengging, lantas berubah lagi menjadi wujudnya!
Sunan Kudus menutup mata, namun penampakan itu menembus kelopak matanya yang terpejam. Sunan Kudus lantas berkata.
“Aku percaya nakmas Pengging…Sudah cukup!”
Ki Ageng Pengging tersenyum, dan cahaya lembut yang memancar dari titik ditengah kedua alis matanya tersebut, mendadak sirna tanpa bekas.
Sunan Kudus membuka matanya dan menatap Ki Ageng Pengging tajam, sembari berkata.
“Kabarnya, nakmas Pengging mampu MATI SAJERONING URIP. URIP SAJERONING PATI ?”
Ki Ageng Pengging menjawab.
“Kangjeng Sunan, saya tahu, Kangjeng Sultan Demak menganggap saya sebagai ‘klilip’ (Penghalang) beliau. Tidak usah berbasa-basi lagi. Saya siap mati sekarang. Saya bisa mengakhiri kehidupanku saat ini juga. Tapi, kalau saya melakukannya, sama saja dengan bunuh diri. Bunuh diri dalam keyakinan Shiwa maupun Islam, adalah hal yang tercela. Untuk itu, jadilah perantara kematianku!”
Sunan Kudus terdiam.
“Cabutlah keris Kangjeng,” lanjut Ki Ageng Pengging, “tusukkan siku kananku ini. Disaat ujung keris Kangjeng menancap disikuku ini, saat itulah, aku akan melepaskan suksma dan Atmaku dari jasadku. Silakan!” Sunan Kudus segera mencabut kerisnya. Sedangkan Ki Ageng Pengging sejenak bersendekap memejamkan mata. Disusul, beliau angkat siku kanannya kedepan. Sunan Kudus menusukkan kerisnya kesiku Ki Ageng Pengging. Dan disaat itulah, Ki Ageng Penggin melepaskan suksma dan Atmanya!

Tubuh Ki Ageng Pengging rebah ke kanan. Sunan Kudus memeriksa detak jantung Ki Ageng Pengging, dan Sunan Kudus yang sudah berpengalaman yakin, bahwa Ki Ageng Pengging telah wafat. Sejenak beliau membenahi jasad Ki Ageng, lantas Sunan Kudus keluar dari bilik Dalam Agung. Sesampainya diluar, Sunan Kudus segera memerintahkan prajurid Demak berkemas. Sunan Kudus dan para prajurid Demak, tanpa banyak berkata-kata, segera meninggalkan Dalem Ki Ageng Pengging.
Didalam bilik Dalem Agung, tepat pada saat itu, pelayan yang hendak menyediakan hidangan mohon masuk. Tapi tidak ada jawaban. Bergegas dia lari memanggil Nyi Ageng Pengging. Istri Ki Ageng Pengging berlari tergopoh-gopoh ke Dalem Agung, memancing perhatian beberapa prajurid Pengging. Karena tidak ada jawaban juga saat Nyi Ageng Pengging mohon masuk, maka segera saja beliau menerobos ke dalam. Dan terkejutlah Nyi Ageng Pengging melihat Ki Ageng Pengging telah terbujur kaku menjadi mayat!
Nyi Ageng Pengging jatuh pingsan. Beberapa prajurid Pengging tanpa dikomando segera berhamburan menaiki kuda masing-masing, menyusul rombongan Sunan Kudus.
Para Lurah Prajurid Pengging menyusul kemudian. Bendhe Beri ( Gong kecil yang dibunyikan untuk mengumpulkan para prajurid : Damar Shashangka ), suaranya riuh rendah bercampur dengan pukulan kentongan bertalu-talu. Masyarakat Pengging yang sudah siap sedia sejak semalam, baik yang sudah ada disekitar Dalem Ki Ageng Pengging maupun yang masih ada dirumah masing-masing, segera menaiki kuda masing-masing sembari membawa persenjataan perang lengkap!
Di pihak pasukan Demak, mendapati Bendhe Beri dan Kentongan berbunyi bertalu-talu, segera mempersiapkan diri. Walau belum tahu pasti apa yang terjadi, mereka telah siap sedia jika prajurid Pengging menyerang!

Rombongan Sunan Kudus tersusul. Rombongan kecil Senopati Demak itu segera di kepung prajurid Pengging! Prajurid Pengging telah siap tempur! Senjata telah terhunus nyalang! Dada para prajurid Pengging bergemuruh mendidih!
Sunan Kudus memerintahkan seorang prajurid Demak mengibarkan bendera merah! Tanda bagi seluruh pasukan Demak yang ada disudut-sudut Pengging untuk siap tempur! Suasana tegang!

Bendera merah berkelebat-kelebat, disusul dari kejauhan, empat orang prajurid Demak mendadak muncul sembari memacu kuda dengan mengibarkan bendera serupa. Keempatnya meneruskan perintah Sunan Kudus yang tengah terkepung kepada para pasukan yang siap sedia disudut-sudut Pengging!
Isyarat itu terlihat oleh para pemimpin pasukan Demak, baik yang ada diutara, timur, selatan dan barat! Serta merta, seluruh pasukan Demak keluar dari tempat persembunyiannya. Bergemuruh suaranya! Diiringi pekikan-pekikan nama Tuhan! Seperti kebiasaan mereka!

Para prajurid Pengging yang mengepung Sunan Kudus, hanya melihat sepasukan dari dua arah, namun mereka mendengar suara pekikan-pekikan pasukan lain yang tak terlihat berada diseberang wilayah mereka. Mereka menyadari, posisi mereka kini terkepung! Wilayah Pengging benar-benar terkepung!!
“Heh kalian rakyat Pengging!! Kaliah hanya rakyat biasa! Ini urusan orang besar! Kembalilah pulang ke rumah masing-masing!!” Teriak Sunan Kudus!
Seorang Lurah Prajurid Pengging maju beberapa langkah dengan kudanya.
“Bagi kami lebih baik mati bersama junjungan kami!”
Sunan Kudus menjawab.
“Ingat posisi kalian! Kalian sudah terkepung! Dan ingat pula akan anak istri kalian! Jika pasukan Demak menyerang, seluruh wilayah ini akan dibakar! Kalian boleh berani menumpahkan darah kalian! Tapi apakah kalian juga akan tega melihat anak istri kalian ikut menjadi korban !?”
Nyali prajurid Pengging menciut begitu mendengar gertakan Sunan Kudus! Seketika mereka teringat akan anak istrinya yang kini juga tengah terkepung dan terancam! Seluruh pasukan Pengging menjadi gamang! Sunan Kudus melihat itu semua, lantas Sunan Kudus berkata lagi.
Sarungkan senjata kalian! Urusan kami hanya dengan Ki Ageng Pengging! Uruslah jenazah junjungan kalian! Kangjeng Sultan Demak, akan memberikan pengampunan bagi kalian semua!
Kepanikan melanda prajurid Pengging. Bayangan anak dan istri mereka membuat keberanian mereka menciut! Dan, Lurah Prajurid Pengging yang paling senior segera memerintahkan seluruh prajurid Pengging menyarungkan senjata. Disusul, Lurah Prajurid Pengging memerintahkan memberikan jalan kepada rombongan Sunan Kudus yang terkepung.

Sunan Kudus segera memerintahkan pasukan bergerak kedepan! Bendera putih kini dikibarkan! Disusul beberapa prajurid dari kejauhan kembali meneruskan pesan itu sembari membawa bendera putih juga! Dan pemimpin pasukan Demak yang telah bersiap-siap diposisi masing-masing, begitu melihat bendera merah berganti bendera putih, segera memerintahkan pasukan masing-masing untuk menyarungkan senjata!
Pekik nama Tuhan berkumandang berkali-kali! Pasukan Demak merasa telah memenangkan pertempuran atas berkat Tuhan! Dipihak lain, prajurid Pengging masih menyimpan bara amarah! Seandainya mereka berhadap-hadapan digaris depan seperti saat peperangan Majapahit dan Demak dulu, pasti mereka tak segan-segan menumpahkan darah! Terdengar teriakan Lurah Prajurid Pengging memerintahkan seluruh prajurid kembali ke Pengging. Duka menyelimuti Pengging. Jenasah Ki Ageng Pengging segera disucikan. Upacara Sraddha tergelar. Para Pandhita Shiwa Buddha berdatangan. Pengging berkabung! Para sisa bangsawan Majapahit, mendengar kabar wafatnya Ki Ageng Pengging, segera menuju Pengging. Upacara pembakaran mayat-pun dilaksanakan.

Sebulan setelah wafatnya Ki Ageng Pengging, Nyi Ageng Pengging yang jatuh sakit, menyusul. Beliau wafat! Kembali Pengging berduka. Mendung menyelimuti Pengging.
Mas Karebet, menjadi yatim piatu. Dan Nyi Ageng Tingkir, janda Ki Ageng Tingkir, membawa Mas Karebet kecil ke Tingkir. Mas Karebet diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir. Mas Karebet lantas dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Kelak dikemudian hari, Mas Karebet atau Jaka Tingkir, berhasil mendirikan Kesultanan Pajang dan menjadi Raja Tanah Jawa. Dan beliau bergelar Sultan Hadiwijaya.

Ki Ageng Suryomentaram

Pada tahun 1892, tepatnya pada tanggal 20 Mei tahun tersebut, seorang jabang bayi terlahir sebagai anak ke-55 dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII, sultan yang bertahta di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Jabang bayi tersebut diberi nama BRM (Bendara Raden Mas) Kudiarmadji. Ibundanya bernama BRA (Bendara Raden Ayu) Retnomandoyo, putri Patih Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat.
Demikianlah, BRM Kudiarmadji mengawali lelakon hidupnya di dalam kraton sebagai salah seorang anak Sri Sultan yang jumlah akhirnya mencapai 79 putera-puteri.
Seperti saudara-saudaranya yang lain, Bendara Raden Mas Kudiarmadji bersama-sama belajar di Sekolah Srimanganti di dalam lingkungan kraton. Tingkat pendidikan sekolah ini kurang lebih sama dengan sekolah dasar sekarang. Selepas dari Srimanganti, dilanjutkan dengan kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Arab. Setelah selesai kursus, bekerja di gubernuran selama 2 tahun lebih.
BRM Kudiarmadji mempunyai kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Pendidikan agama Islam dan mengaji didapat dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Bendara Raden Mas Kudiarmadji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram.
Tahun demi tahun berlalu, pena kehidupan mulai menuliskan kisahnya. Sedikit demi sedikit Pangeran Suryomentaram mulai merasakan sesuatu yang kurang dalam hatiya. Setiap waktu ia hanya bertemu dengan yang disembah, yang diperintah, yang dimarahi, yang dimintai. Dia tidak puas karena merasa belum pernah bertemu orang. Yang ditemuinya hanya sembah, perintah, marah, minta, tetapi tidak pernah bertemu orang. Ia merasa masygul dan kecewa sekalipun ia adalah seorang pangeran yang kaya dan berkuasa.
KABUR
Dalam kegelisahannya, pada suatu ketika Pangeran Suryomentaram merasa menemukan jawaban bahwa yang menyebabkan ia tidak pernah bertemu orang, adalah karena hidupnya terkurung dalam lingkungan kraton, tidak mengetahui keadaan di luar. Hidupnya menjadi sangat tertekan, ia merasa tidak betah lagi tinggal dalam lingkungan kraton. Penderitaannya semakin mendalam dengan kejadian-kejadian berturutan yang menderanya, yaitu:

Patih Danurejo VI, kakek yang memanjakannya, diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian meninggal dunia.
Ibunya dicerai oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan dikeluarkan dari kraton, kemudian diserahkan kepada dirinya.
Istri yang dicintainya meninggal dunia dan meninggalkan putra yang baru berusia 40 hari.
Rasa tidak puas dan tidak betah makin menjadi-jadi sampai pada puncaknya, ia mengajukan permohonan kepada ayahanda, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan. Pada kesempatan lain ia mengajukan permohonan untuk naik haji ke Mekah, namun ini pun tidak dikabulkan. Karena sudah tidak tahan lagi, diam-diam ia meninggalkan kraton dan pergi ke Cilacap menjadi pedagang kain batik dan setagen (ikat pinggang). Di sana ia mengganti namanya menjadi Notodongso.
Ketika berita perginya Pangeran Suryomentaram ini didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII, maka Sultan memerintahkan KRT Wiryodirjo (Bupati Kota) dan R.L. Mangkudigdoyo, untuk mencari Pangeran Suryomentaram dan memanggil kembali ke Yogyakarta. Setelah mencari-cari sekian lama, akhirnya ia ditemukan di Kroya (Banyumas) sedang memborong mengerjakan sumur.
PULANG
Pangeran Suryomentaram kembali ke Yogyakarta meskipun sudah terlanjur membeli tanah. Mulai lagi kehidupan yang membosankan, setiap saat ia selalu mencari-cari penyebab kekecewaan batinnya. Ketika ia mengira bahwa selain kedudukan sebagai pangeran, penyebab rasa kecewa dan tidak puas itu adalah harta benda, maka seluruh isi rumah dilelang. Mobil dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada sopirnya, kuda dijual dan hasil penjualannya diberikan kepada gamelnya (perawat kuda), pakaian-pakaiannya dibagi-bagikan kepada para pembantunya.
Upayanya itu ternyata tidak juga menghasilkan jawaban atas kegelisahannya, ia tetap merasa tidak puas, ia merindukan dapat bertemu orang. Hari-hari selanjutnya diisi dengan keluyuran, bertirakat ke tempat-tempat yang dianggap keramat seperti Luar Batang, Lawet, Guwa Langse, Guwa Cermin, Kadilangu dan lain-lain. Namun rasa tidak puas itu tidak hilang juga. Ia makin rajin mengerjakan shalat dan mengaji, tiap ada guru atau kiai yang terkenal pandai, didatangi untuk belajar ilmunya. Tetap saja rasa tidak puas itu menggerogoti batinnya. Kemudian dipelajarinya agama Kristen dan theosofi, ini pun tidak dapat menghilangkan rasa tidak puasnya.
BEBAS
Pada tahun 1921 ketika Pangeran Suryomentaram berusia 29 tahun, Sri Sultan Hamengku Buwono VII mangkat. Dia ikut mengantarkan jenazah ayahandanya ke makam Imogiri dengan mengenakan pakaian yang lain daripada yang lain. Para Pangeran mengenakan pakaian kebesaran kepangeranan, para abdi dalem mengenakan pakaian kebesarannya sesuai dengan pangkatnya, Pangeran Suryomentaram memikul jenazah sampai ke makam Imogiri sambil mengenakan pakaian kebesarannya sendiri yaitu ikat kepala corak Begelen, kain juga corak Begelen, jas tutup berwarna putih yang punggungnya ditambal dengan kain bekas berwarna biru sambil mengempit payung Cina.
Dalam perjalanan pulang ia berhenti di Pos Barongan membeli nasi pecel yang dipincuk dengan daun pisang, dimakannya sambil duduk di lantai disertai minum segelas cao. Para pangeran, pembesar, maupun abdi dalem yang lewat tidak berani mendekat karena takut atau malu, mereka mengira Pangeran Suryomentaram telah menderita sakit jiwa, namun ada pula yang menganggapnya seorang wali.
Setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai raja, Pangeran Suryomentaram sekali lagi mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran, dan kali ini dikabulkan.
Pemerintah Hindia Belanda memberikan uang pensiun sebesar f 333,50 per bulan, tetapi ditolaknya dengan alasan ia tidak merasa berjasa kepada pemerintah Hindia Belanda dan tidak mau terikat pada pemerintah Hindia Belanda. Kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memberikan uang f 75 per bulan hanya sebagai tanda masih keluarga kraton. Pemberian ini diterimanya dengan senang hati.
Setelah berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran ia merasa lebih bebas, tidak terikat lagi. Namun segera ia menyadari bahwa ia masih tetap merasa tidak puas, ia masih belum juga bertemu orang.
Suryomentaram yang bukan pangeran lagi itu kemudian membeli sebidang tanah di desa Bringin, sebuah desa kecil di sebelah utara Salatiga. Di sana ia tinggal dan hidup sebagai petani. Sejak itu ia lebih dikenal dengan nama Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin. Banyak orang yang menganggap ia seorang dukun, dan banyak pula yang datang berdukun.
PERJUANGAN MORAL
Meskipun Ki Gede Suryomentaram sudah tinggal di Bringin, tetapi ia masih sering ke Yogya. Di Yogya ia masih mempunyai rumah.
Waktu itu Perang Dunia I baru selesai. Ki Gede Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara beserta beberapa orang mengadakan sarasehan setiap malam Selasa Kliwon dan dikenal dengan nama Sarasehan Selasa Kliwon. Yang hadir dalam Sarasehan Selasa Kliwon itu ada 9 orang, yaitu:
  1. Ki Gede Suryomentaram
  2. Ki Hadjar Dewantara,
  3. Ki Sutopo Wonoboyo,
  4. Ki Pronowidigdo,
  5. Ki Prawirowiworo,
  6. BRM Subono (adik Ki Gede Suryomentaram),
  7. Ki Suryodirjo,
  8. Ki Sutatmo, dan
  9. Ki Suryoputro.
Masalah yang dibicarakan dalam sarasehan itu adalah keadaan sosial-politik di Indonesia. Kala itu sebagai akibat dari Perang Dunia I yang baru saja selesai, negara-negara Eropa, baik yang kalah perang maupun yang menang perang, termasuk Negeri Belanda, mengalami krisis ekonomi dan militer. Saat-saat seperti itu dirasa merupakan saat yang sangat baik bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan Belanda.
Pada awalnya muncul gagasan untuk mengadakan gerakan fisik melawan Belanda, tetapi setelah dibahas dengan seksama dalam sarasehan, disimpulkan bahwa hal itu belum mungkin dilaksanakan karena ternyata Belanda masih cukup kuat, sedangkan kita sendiri tidak mempunyai kekuatan. Kalau kita bergerak tentu akan segera dapat ditumpas.
Sekalipun gagasan perlawanan fisik tersebut tidak dapat terwujud, namun semangat perlawanan dan keinginan merdeka tetap menggelora. Dalam sarasehan bersama setiap Selasa Kliwon itu akhirnya disepakati untuk membuat suatu gerakan moral dengan tujuan memberikan landasan dan menanamkan semangat kebangsaan pada para pemuda melalui suatu pendidikan kebangsaan. Pada tahun 1922 didirikanlah pendidikan kebangsaan dengan nama Taman Siswa. Ki Hadjar Dewantara dipilih menjadi pimpinannya, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik orang-orang tua.
Dalam Sarasehan Selasa Kliwon inilah, sebutan Ki Gede Suryomentaram dirubah oleh Ki Hadjar Dewantara menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
PENCERAHAN
Setelah menduda lebih kurang 10 tahun, pada tahun 1925 Ki Ageng kawin lagi, kemudian beserta keluarga pindah ke Bringin. Rumahnya yang di Yogya digunakan untuk asrama dan sekolah Taman Siswa.
Pada suatu malam di tahun 1927, Ki Ageng membangunkan isterinya, Nyi Ageng Suryomentaram, yang sedang lelap tidur, dan dengan serta merta ia berkata, “Bu, sudah ketemu yang kucari. Aku tidak bisa mati!” Sebelum Nyi Ageng sempat bertanya, Ki Ageng melanjutkan, “Ternyata yang merasa belum pernah bertemu orang, yang merasa kecewa dan tidak puas selama ini, adalah orang juga, wujudnya adalah si Suryomentaram. Diperintah kecewa, dimarahi kecewa, disembah kecewa, dimintai berkah kecewa, dianggap dukun kecewa, dianggap sakit ingatan kecewa, jadi pangeran kecewa, menjadi pedagang kecewa, menjadi petani kecewa, itulah orang yang namanya Suryomentaram, tukang kecewa, tukang tidak puas, tukang tidak kerasan, tukang bingung. Sekarang sudah ketahuan. Aku sudah dapat dan selalu bertemu orang, namanya adalah si Suryomentaram, lalu mau apa lagi? Sekarang tinggal diawasi dan dijajagi.“
Sejak itu Ki Ageng kerjanya keluyuran, tetapi bukan untuk bertirakat seperti dulu, melainkan untuk menjajagi rasanya sendiri. Ia mendatangi teman-temannya untuk mengutarakan hasilnya bertemu orang – bertemu diri sendiri. Mereka pun kemudian juga merasa bertemu orang – bertemu diri sendiri masing-masing.
Setiap kali bertemu orang (diri sendiri) timbul rasa senang. Rasa senang tersebut dinamakan “rasa bahagia”, bahagia yang bebas tidak tergantung pada tempat, waktu, dan keadaan.
Pada tahun 1928 semua hasil “mengawasi dan menjajagi rasa diri sendiri” itu ditulis dalam bentuk tembang (puisi), kemudian dijadikan buku dengan judul “Uran-uran Beja”.
Kisah-kisah tentang laku Ki Ageng yang menjajagi rasa diri sendiri tersebut ada banyak sekali, di antaranya sebagai berikut.
Suatu hari Ki Ageng akan pergi ke Parang Tritis yang terletak di pantai selatan Yogyakarta. Sesampainya di Kali Opak perjalanannya terhalang banjir besar. Para tukang perahu sudah memperingatkan Ki Ageng agar tidak menyeberang, tetapi karena merasa pandai berenang, Ki Ageng nekad menceburkan diri ke dalam sungai. Akhirnya ia megap-megap hampir tenggelam dan kemudian ditolong oleh para tukang perahu.
Setelah pulang ia berkata kepada Ki Prawirowiworo sebagai berikut, “Aku mendapat pengalaman. Pada waktu aku akan terjun ke dalam sungai, tidak ada rasa takut sama sekali. Sampai gelagapan pun rasa takut itu tetap tidak ada. Bahkan aku dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap hampir tenggelam.” Ki Prawirowiworo menjawab, “Tidak takut apa-apa itu memang benar, sebab Ki Ageng adalah orang yang putus asa. Orang yang putus asa itu biasanya nekad ingin mati saja.” Ki Ageng menjawab, “Kau benar. Rupanya si Suryomentaram yang putus asa karena ditinggal mati kakek yang menyayanginya, dan istri yang dicintainya, nekad ingin bunuh diri. Tetapi pada pengalaman ini ada yang baik sekali, pada waktu kejadian tenggelam megap-megap, ada rasa yang tidak ikut megap-megap, tetapi malah dapat melihat si Suryomentaram yang megap-megap gelagapan itu.”
PEMBENTUKAN P-E-T-A ( Baca pula kesaksian-kesaksian )
Belanda mencurigai gerak-gerik Ki Ageng. Maka setiap ia mengadakan ceramah ataupun pertemuan-pertemuan selalu ada PID (Politzeke Inlichtingen Dienst) atau reserse yang ikut hadir. Sekitar tahun 1926, ketika aksi bangsa kita menentang bangsa Belanda semakin marak, banyak perintis kemerdekaan yang ditangkap dan dibuang ke Digul dengan tuduhan sebagai agen atau anggota komunis. Suatu ketika Ki Ageng bepergian dari Bringin ke Yogya, sesampainya di desa Gondangwinangun ia ditahan oleh polisi kemudian dibawa ke Yogya dan dimasukkan ke dalam sel tahanan. Setelah ditanggung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, Ki Ageng kemudian dibebaskan.
Pada pertemuan-pertemuan “Manggala Tiga Belas” persoalan-persoalan yang dibicarakan berkisar pada bagaimana cara menolak peperangan bila Indonesia menjadi gelanggang perang antara Belanda dan Jepang. Ki Ageng mengemukakan bahwa bangsa Indonesia dalam peperangan itu mempunyai tiga pilihan, ialah:

Membela majikan lama yaitu Belanda.
Ganti majikan baru yaitu Jepang.
Menjadi majikan sendiri yaitu merdeka.
Perang itu sendiri bukanlah persoalan kita melainkan persoalan pihak Belanda dan Jepang. Permasalahan kita ialah, kita ini tinggal di negeri sendiri, tetapi negeri kita ini dipakai untuk gelanggang perang. Kalau kita mau pergi, mau pergi ke mana?. Kalau kita tinggalkan tentu akan diambil oleh orang lain.
Pertemuan “Manggala Tiga Belas” yang pertama diadakan di pendapa Taman Siswa, dan yang kedua diadakan di rumah Pangeran Suryodiningrat. Pertemuan tersebut baru sempat diadakan dua kali ketika Jepang sudah keburu mendarat di Jawa.
Pada waktu pendudukan Jepang, Ki Ageng berusaha keras untuk membentuk tentara, karena ia berkeyakinan bahwa tentara adalah tulang punggung negara. Hal ini dikemukakan Ki Ageng dalam pertemuannya dengan Empat Serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, Kiai Haji Mas Mansoer, Ki Hadjar Dewantara).
Ki Ageng juga menyusun suatu tulisan tentang dasar-dasar ketentaraan yang diberinya nama “Jimat Perang”, yaitu pandai perang dan berani mati dalam perang. Jimat Perang ini diceramahkan oleh Ki Ageng ke mana-mana. Pada suatu kesempatan bertemu Bung Karno, Ki Ageng memberikan Jimat Perang ini, yang kemudian dipopulerkan oleh Bung Karno dalam pidato-pidatonya di radio. Maka Jimat Perang ini segera tersebar luas di kalangan masyarakat sehingga membangkitkan semangat berani mati dan berani perang.
Dalam usaha mewujudkan gagasannya, Ki Ageng mengajukan permohonan kepada gubernur Yogya yang pada waktu itu dijabat oleh Kolonel Yamauchi, untuk membentuk tentara sukarela, akan tetapi permohonan tersebut ditolak. Kemudian seorang anggota dinas rahasia Jepang yang bernama Asano menyanggupi akan membawa permohonan itu langsung ke Tokyo.
Untuk membuat surat permohonan tersebut Ki Ageng membentuk panitia 9 yang disebut “Manggala Sembilan”, masing-masing adalah:
  1. Ki Suwarjono 
  2. Ki Sakirdanarli
  3. Ki Atmosutidjo
  4. Ki Pronowidigdo
  5. Ki Prawirowiworo
  6. Ki Darmosugito
  7. Ki Asrar
  8. Ki Atmokusumo
  9. Ki Ageng Suryomentaram
Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang di atas, surat tersebut diserahkan kepada Asano yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo. Permohonan ini tidak diketahui oleh pemerintah Jepang di Indonesia. Tidak lama kemudian diterima berita bahwa permohonan tersebut dikabulkan. Maka pemerintah Jepang yang ada di Indonesia terkejut, tetapi karena itu adalah izin langsung dari Tokyo maka Tentara Sukarela tetap harus dibentuk.
Kemudian Ki Ageng mengadakan pendaftaran. Maka berduyun-duyunlah yang mendaftarkan diri. Akhirnya pendaftaran diambil alih oleh pemerintah dan nama Tentara Sukarela diubah menjadi Tentara Pembela Tanah Air, disingkat PETA. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, tentara PETA inilah yang merupakan modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan selanjutnya menjadi inti Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pada waktu perang kemerdekaan, Ki Ageng memimpin pasukan gerilya yang disebut Pasukan Jelata, daerah operasinya di sekitar Wonosegoro. Setelah ibu kota RI Yogyakarta diduduki Belanda, Ki Ageng bersama keluarga meninggalkan kota, mengungsi ke daerah Gunung Kidul. Di tempat pengungsian ini Ki Ageng masih selalu berhubungan dengan tentara gerilya.
PENUTUP
Setelah penyerahan kedaulatan, Ki Ageng mulai lagi mengadakan ceramah-ceramah Kawruh Beja (Kawruh Jiwa) ke mana-mana, ikut aktif mengisi kemerdekaan dengan pembangunan jiwa berupa ceramah-ceramah pembangunan jiwa warga negara. Pada tahun 1957 pernah diundang oleh Bung Karno ke Istana Merdeka untuk dimintai wawasan tentang berbagai macam masalah negara. Ki Ageng tetap mengenakan pakaian yang biasa dipakainya sehari-hari.
Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng menyelidiki alam kejiwaan dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan.
Pada suatu hari ketika sedang mengadakan ceramah di desa Sajen, di daerah Salatiga, Ki Ageng jatuh sakit dan dibawa pulang ke Yogya, dirawat di rumah sakit. Sewaktu di rumah sakit itu, Ki Ageng masih sempat menemukan kawruh yaitu bahwa “puncak belajar kawruh jiwa ialah mengetahui gagasannya sendiri”.
Ki Ageng dirawat di rumah sakit selama beberapa waktu, namun karena sakitnya tidak kunjung berkurang, kemudian ia dibawa pulang ke rumah. Sakitnya makin lama makin parah, dan pada hari Minggu Pon tanggal 18 Maret 1962 jam 16.45, dalam usia 70 tahun, Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22 Yogyakarta dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah selatan kota Yogyakarta.
Ki Ageng Suryomentaram meninggalkan seorang istri, dua orang putra, dan empat orang putri. Seorang putra telah meninggal. Mereka adalah:
  1. RMF Pannie 
  2. RM Jegot (meninggal)
  3. RM Grangsang
  4. RA Japrut
  5. RA Dlureg
  6. RA Gresa
  7. RA Semplah
Ki Ageng Suryomentaram juga meninggalkan warisan yang sangat berharga yaitu KAWRUH PANGAWIKAN PRIBADI atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan KAWRUH JIWA bagi kita semua yang bersedia melepaskan segala atribut keangkuhan kita, bagi kita yang bersedia menjadi manusia sederhana dan rendah hati, yang mendambakan masyarakat Indonesia damai sejahtera.
 
DMCA.com
*Layanan ini disediakan oleh PT Globalj4v4 Sdn. | Halaman Awal ini juga disediakan oleh PT Globalj4v4 Sdn. | Semua layanan lain yang tidak memiliki tanda “*” akan menuju ke situs web pihak ketiga, yang kontennya mungkin tidak sesuai dengan undang-undang di wilayah Anda. Anda, bukan PT Globalj4v4 Sdn, bertanggung jawab penuh atas akses ke dan penggunaan situs web pihak ketiga.
Hak Cipta © 2020 PT Globalj4v4 Sdn (Co. Reg. BlogID. 2825584887500486077). Hak Cipta dilindungi Undang-Undang.
Kampus Wong Sinting | Globalj4v4 | Globalw4r3 | Google